26.6 C
Jember
Wednesday, 31 May 2023

Awalnya Bergantian dengan Bapak, Kini Sudah Punya Sendiri

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Senyum pemuda yang mengenakan jaket merah dan topi hitam itu tiba-tiba mengembang. Dia bersama seorang pria paruh baya yang berjalan persis di sampingnya. Sesekali ia meringis yang disambut tawa kecil lelaki tua itu. Ayah dan anak tersebut baru saja keluar dari Kantor Pemkab Jember. Keduanya bergerak menuju becak yang terparkir tak jauh dari alun-alun.

Dari jalannya, remaja itu tampak berbeda dengan orang pada umumnya. Langkahnya gontai. Lambaian tangannya juga kaku. Bahkan untuk menggerakkan kepala dari kiri ke kanan atau sebaliknya, seperti butuh tenaga ekstra. Saat Jawa Pos Radar Jember mengajaknya berkenalan, pria bernama Maslikun itu menjawab dengan nada terbata-bata. “Mas…li…li…kun,” katanya, menyebutkan nama.

Maslikun adalah penyandang disabilitas tunadaksa. Bagian tubuhnya lengkap, tapi otot motoriknya lambat dan seperti kaku. Walau punya keterbatasan sulit bergerak, siapa sangka Maslikun bekerja sebagai tukang becak. Dengan sigap, dia naik di belakang kemudi becak milik bapaknya yang baru saja diperbaiki oleh pemerintah kabupaten. Tanpa bantuan dan pertolongan, dirinya berhasil naik. Caranya, badan ditengkurapkan terlebih dahulu, baru dia berhasil duduk di kursi kemudi becak dengan sempurna.

Mobile_AP_Rectangle 2

Bersama moda transportasi becak, Maslikun ingin membuktikan bahwa orang-orang yang punya keterbatasan juga bisa mandiri dan menghasilkan duit sendiri. Dia lantas mempraktikkan bagaimana cara mengemudikan kendaraan roda tiga itu. Diawalinya dengan kayuhan kaki kanan dan disambut hentakan kaki kiri, becak itu melaju menyusuri Jalan Sudarman, depan Pemkab Jember.

Sementara itu, di kursi penumpang, duduk seorang pria tua. Dia adalah Poniran, ayah Maslikun. Menurut Poniran, anaknya tersebut mewarisi pekerjaannya sebagai tukang becak. Bahkan, putranya itu telah memiliki becak sendiri yang digunakan untuk mencari rezeki. Biasanya, Maslikun mangkal di kawasan rest area Desa Jubung, Sukorambi.

“Kalau saya kerja sebagai tukang becak sudah sejak 1990 lalu. Awalnya, hanya sewa per hari Rp 25. Tiga tahun kemudian, 1993, saya baru memiliki becak sendiri,” ungkap Poniran.

Walau berasal dari keluarga pas-pasan, Poniran tidak mengeluh dan selalu bersyukur dengan apa yang diperolehnya. Sebab, lelaki itu merasa pekerjaannya adalah halal dan bermartabat, karena tidak meminta-minta. Ajaran untuk tidak gampang mengeluh, mencari uang yang halal, dan tidak meminta-minta ini juga ditularkan ke anak sulungnya tersebut.

Berkat doktrinnya itu, sekitar dua tahun lalu putra pertamanya itu minta diajari cara mengemudikan becak. “Hanya sekali saja saya ajari. Tiba-tiba sudah bisa dan tahu caranya mengayuh becak sendiri,” tambahnya.

Pria 65 tahun asal Jubung, Sukorambi, ini mengaku, tidak ada pikiran bahwa anaknya yang penyandang disabilitas itu mau jadi tukang becak. “Karena sudah bisa, pamit ingin cari uang jadi tukang becak,” jelasnya.

Sejak Maslikun mampu mencari penumpang sendiri, Poniran membagi waktu kerjanya. Sebab, saat itu, becak yang dimiliki cuma satu unit. “Kalau siang dipakai anak, kalau malam giliran saya yang cari penumpang,” tuturnya.

Saat bercerita itu, Poniran tampak tersenyum. Ada aura bangga dan bahagia dari wajahnya. Sebab, berkat keuletan anaknya tersebut, saat ini dirinya telah memiliki dua buah becak. Mereka tak perlu bergantian lagi untuk mencari rezeki. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Maslikun.

Kepada Jawa Pos Radar Jember, Maslikun mengaku, awalnya dia ragu untuk menggantikan posisi orang tuanya sebagai tukang becak lantaran kondisi fisiknya yang tak sempurna. “Kalau dipikirkan saja, tidak tahu bisa jadi tukang becak atau tidak. Akhirnya dilakukan saja, tidak usah dipikir,” tuturnya dengan terbata-bata.

Sebagai tukang becak, dia mengalami suka dan duka. Mulai dari kepanasan, kehujanan, hingga ban kempis. Namun, kondisi itu tak membuatnya menyerah. Di tengah keterbatasan yang dimiliki, Maslikun tetap semangat mencari penghasilan sendiri. Terlebih, setelah armada becaknya diperbarui oleh Pemkab Jember, dirinya kian semangat bekerja.

Selama ini, Maslikun hanya beroperasi di sekitar Sukorambi saja. Dirinya mengaku tak mencari penumpang dengan rute jauh hingga ke kota. Alasannya bukan karena tak berani, melainkan menjaga keselamatan penumpang. Sebab, dia tahu diri dengan kondisi fisiknya tersebut. “Semoga dengan becak yang telah diperbaiki ini, rezeki saya semakin lancar,” harapnya.

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Senyum pemuda yang mengenakan jaket merah dan topi hitam itu tiba-tiba mengembang. Dia bersama seorang pria paruh baya yang berjalan persis di sampingnya. Sesekali ia meringis yang disambut tawa kecil lelaki tua itu. Ayah dan anak tersebut baru saja keluar dari Kantor Pemkab Jember. Keduanya bergerak menuju becak yang terparkir tak jauh dari alun-alun.

Dari jalannya, remaja itu tampak berbeda dengan orang pada umumnya. Langkahnya gontai. Lambaian tangannya juga kaku. Bahkan untuk menggerakkan kepala dari kiri ke kanan atau sebaliknya, seperti butuh tenaga ekstra. Saat Jawa Pos Radar Jember mengajaknya berkenalan, pria bernama Maslikun itu menjawab dengan nada terbata-bata. “Mas…li…li…kun,” katanya, menyebutkan nama.

Maslikun adalah penyandang disabilitas tunadaksa. Bagian tubuhnya lengkap, tapi otot motoriknya lambat dan seperti kaku. Walau punya keterbatasan sulit bergerak, siapa sangka Maslikun bekerja sebagai tukang becak. Dengan sigap, dia naik di belakang kemudi becak milik bapaknya yang baru saja diperbaiki oleh pemerintah kabupaten. Tanpa bantuan dan pertolongan, dirinya berhasil naik. Caranya, badan ditengkurapkan terlebih dahulu, baru dia berhasil duduk di kursi kemudi becak dengan sempurna.

Bersama moda transportasi becak, Maslikun ingin membuktikan bahwa orang-orang yang punya keterbatasan juga bisa mandiri dan menghasilkan duit sendiri. Dia lantas mempraktikkan bagaimana cara mengemudikan kendaraan roda tiga itu. Diawalinya dengan kayuhan kaki kanan dan disambut hentakan kaki kiri, becak itu melaju menyusuri Jalan Sudarman, depan Pemkab Jember.

Sementara itu, di kursi penumpang, duduk seorang pria tua. Dia adalah Poniran, ayah Maslikun. Menurut Poniran, anaknya tersebut mewarisi pekerjaannya sebagai tukang becak. Bahkan, putranya itu telah memiliki becak sendiri yang digunakan untuk mencari rezeki. Biasanya, Maslikun mangkal di kawasan rest area Desa Jubung, Sukorambi.

“Kalau saya kerja sebagai tukang becak sudah sejak 1990 lalu. Awalnya, hanya sewa per hari Rp 25. Tiga tahun kemudian, 1993, saya baru memiliki becak sendiri,” ungkap Poniran.

Walau berasal dari keluarga pas-pasan, Poniran tidak mengeluh dan selalu bersyukur dengan apa yang diperolehnya. Sebab, lelaki itu merasa pekerjaannya adalah halal dan bermartabat, karena tidak meminta-minta. Ajaran untuk tidak gampang mengeluh, mencari uang yang halal, dan tidak meminta-minta ini juga ditularkan ke anak sulungnya tersebut.

Berkat doktrinnya itu, sekitar dua tahun lalu putra pertamanya itu minta diajari cara mengemudikan becak. “Hanya sekali saja saya ajari. Tiba-tiba sudah bisa dan tahu caranya mengayuh becak sendiri,” tambahnya.

Pria 65 tahun asal Jubung, Sukorambi, ini mengaku, tidak ada pikiran bahwa anaknya yang penyandang disabilitas itu mau jadi tukang becak. “Karena sudah bisa, pamit ingin cari uang jadi tukang becak,” jelasnya.

Sejak Maslikun mampu mencari penumpang sendiri, Poniran membagi waktu kerjanya. Sebab, saat itu, becak yang dimiliki cuma satu unit. “Kalau siang dipakai anak, kalau malam giliran saya yang cari penumpang,” tuturnya.

Saat bercerita itu, Poniran tampak tersenyum. Ada aura bangga dan bahagia dari wajahnya. Sebab, berkat keuletan anaknya tersebut, saat ini dirinya telah memiliki dua buah becak. Mereka tak perlu bergantian lagi untuk mencari rezeki. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Maslikun.

Kepada Jawa Pos Radar Jember, Maslikun mengaku, awalnya dia ragu untuk menggantikan posisi orang tuanya sebagai tukang becak lantaran kondisi fisiknya yang tak sempurna. “Kalau dipikirkan saja, tidak tahu bisa jadi tukang becak atau tidak. Akhirnya dilakukan saja, tidak usah dipikir,” tuturnya dengan terbata-bata.

Sebagai tukang becak, dia mengalami suka dan duka. Mulai dari kepanasan, kehujanan, hingga ban kempis. Namun, kondisi itu tak membuatnya menyerah. Di tengah keterbatasan yang dimiliki, Maslikun tetap semangat mencari penghasilan sendiri. Terlebih, setelah armada becaknya diperbarui oleh Pemkab Jember, dirinya kian semangat bekerja.

Selama ini, Maslikun hanya beroperasi di sekitar Sukorambi saja. Dirinya mengaku tak mencari penumpang dengan rute jauh hingga ke kota. Alasannya bukan karena tak berani, melainkan menjaga keselamatan penumpang. Sebab, dia tahu diri dengan kondisi fisiknya tersebut. “Semoga dengan becak yang telah diperbaiki ini, rezeki saya semakin lancar,” harapnya.

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Senyum pemuda yang mengenakan jaket merah dan topi hitam itu tiba-tiba mengembang. Dia bersama seorang pria paruh baya yang berjalan persis di sampingnya. Sesekali ia meringis yang disambut tawa kecil lelaki tua itu. Ayah dan anak tersebut baru saja keluar dari Kantor Pemkab Jember. Keduanya bergerak menuju becak yang terparkir tak jauh dari alun-alun.

Dari jalannya, remaja itu tampak berbeda dengan orang pada umumnya. Langkahnya gontai. Lambaian tangannya juga kaku. Bahkan untuk menggerakkan kepala dari kiri ke kanan atau sebaliknya, seperti butuh tenaga ekstra. Saat Jawa Pos Radar Jember mengajaknya berkenalan, pria bernama Maslikun itu menjawab dengan nada terbata-bata. “Mas…li…li…kun,” katanya, menyebutkan nama.

Maslikun adalah penyandang disabilitas tunadaksa. Bagian tubuhnya lengkap, tapi otot motoriknya lambat dan seperti kaku. Walau punya keterbatasan sulit bergerak, siapa sangka Maslikun bekerja sebagai tukang becak. Dengan sigap, dia naik di belakang kemudi becak milik bapaknya yang baru saja diperbaiki oleh pemerintah kabupaten. Tanpa bantuan dan pertolongan, dirinya berhasil naik. Caranya, badan ditengkurapkan terlebih dahulu, baru dia berhasil duduk di kursi kemudi becak dengan sempurna.

Bersama moda transportasi becak, Maslikun ingin membuktikan bahwa orang-orang yang punya keterbatasan juga bisa mandiri dan menghasilkan duit sendiri. Dia lantas mempraktikkan bagaimana cara mengemudikan kendaraan roda tiga itu. Diawalinya dengan kayuhan kaki kanan dan disambut hentakan kaki kiri, becak itu melaju menyusuri Jalan Sudarman, depan Pemkab Jember.

Sementara itu, di kursi penumpang, duduk seorang pria tua. Dia adalah Poniran, ayah Maslikun. Menurut Poniran, anaknya tersebut mewarisi pekerjaannya sebagai tukang becak. Bahkan, putranya itu telah memiliki becak sendiri yang digunakan untuk mencari rezeki. Biasanya, Maslikun mangkal di kawasan rest area Desa Jubung, Sukorambi.

“Kalau saya kerja sebagai tukang becak sudah sejak 1990 lalu. Awalnya, hanya sewa per hari Rp 25. Tiga tahun kemudian, 1993, saya baru memiliki becak sendiri,” ungkap Poniran.

Walau berasal dari keluarga pas-pasan, Poniran tidak mengeluh dan selalu bersyukur dengan apa yang diperolehnya. Sebab, lelaki itu merasa pekerjaannya adalah halal dan bermartabat, karena tidak meminta-minta. Ajaran untuk tidak gampang mengeluh, mencari uang yang halal, dan tidak meminta-minta ini juga ditularkan ke anak sulungnya tersebut.

Berkat doktrinnya itu, sekitar dua tahun lalu putra pertamanya itu minta diajari cara mengemudikan becak. “Hanya sekali saja saya ajari. Tiba-tiba sudah bisa dan tahu caranya mengayuh becak sendiri,” tambahnya.

Pria 65 tahun asal Jubung, Sukorambi, ini mengaku, tidak ada pikiran bahwa anaknya yang penyandang disabilitas itu mau jadi tukang becak. “Karena sudah bisa, pamit ingin cari uang jadi tukang becak,” jelasnya.

Sejak Maslikun mampu mencari penumpang sendiri, Poniran membagi waktu kerjanya. Sebab, saat itu, becak yang dimiliki cuma satu unit. “Kalau siang dipakai anak, kalau malam giliran saya yang cari penumpang,” tuturnya.

Saat bercerita itu, Poniran tampak tersenyum. Ada aura bangga dan bahagia dari wajahnya. Sebab, berkat keuletan anaknya tersebut, saat ini dirinya telah memiliki dua buah becak. Mereka tak perlu bergantian lagi untuk mencari rezeki. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Maslikun.

Kepada Jawa Pos Radar Jember, Maslikun mengaku, awalnya dia ragu untuk menggantikan posisi orang tuanya sebagai tukang becak lantaran kondisi fisiknya yang tak sempurna. “Kalau dipikirkan saja, tidak tahu bisa jadi tukang becak atau tidak. Akhirnya dilakukan saja, tidak usah dipikir,” tuturnya dengan terbata-bata.

Sebagai tukang becak, dia mengalami suka dan duka. Mulai dari kepanasan, kehujanan, hingga ban kempis. Namun, kondisi itu tak membuatnya menyerah. Di tengah keterbatasan yang dimiliki, Maslikun tetap semangat mencari penghasilan sendiri. Terlebih, setelah armada becaknya diperbarui oleh Pemkab Jember, dirinya kian semangat bekerja.

Selama ini, Maslikun hanya beroperasi di sekitar Sukorambi saja. Dirinya mengaku tak mencari penumpang dengan rute jauh hingga ke kota. Alasannya bukan karena tak berani, melainkan menjaga keselamatan penumpang. Sebab, dia tahu diri dengan kondisi fisiknya tersebut. “Semoga dengan becak yang telah diperbaiki ini, rezeki saya semakin lancar,” harapnya.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca