CUMEDAK, RADARJEMBER.ID – LAHAN perkebunan milik PTP seluas enam hektare di Desa Rowosari, Kecamatan Sumberjambe, terlihat cukup subur. Berbagai tanaman keras seperti kopi, alpukat, dan durian banyak tumbuh di sana. Selain itu, terdapat tanaman obat seperti jahe merah serta beberapa jenis tanaman empon-empon lainnya.
Untuk bisa sampai ke tempat yang lebih dikenal dengan nama Kutiran ini tidaklah mudah. Selain kondisi jalan cukup licin selepas turun hujan, jalan tersebut juga cukup sempit. Lebarnya tidak lebih dari 1,5 meter saja, sehingga hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Di kawasan inilah setiap pagi sejumlah pria dewasa bekerja. Baru menjelang sore mereka bertandang balik ke perkampungan.
Ada sekitaran enam orang yang mengelola serta merawat kebun dan tanaman kopi itu. Pada bulan-bulan ini, biji yang menjadi bahan dasar minuman hitam pekat tersebut siap untuk dipetik dan dipasarkan. Buahnya begitu lebat. Menandakan jika tanamannya sehat dan terawat. Namun siapa sangka, para pekerja kebun itu merupakan para mantan napi. Mereka pernah mencicipi hidup di balik jeruji besi karena tersandung kasus hukum. Bahkan, ada di antara mantan napi tersebut yang pernah bolak-balik menjalani hukuman di penjara yang berbeda-beda.
Sebagai penghuni lapas, kebebasan mereka sempat terampas. Aktivitas terbatas dan tak bisa berkumpul bersama sanak keluarga. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bergabung dengan Padepokan Semar Mesem di Desa Cumedak, Kecamatan Sumberjambe, yang diasuh oleh KH Nisful Laila.
Rata-rata, mantan napi yang mondok di padepokan ini mengaku kapok dan bertekad mengubah diri. Mereka sudah ogah kembali ke penjara dan sepakat tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Mereka juga sudah bosan berurusan dengan polisi. Serta mengubur masa lalu yang kelam dalam-dalam. Kini, para mantan napi itu lebih memilih menekuni profesi berkebun, pertukangan, perikanan, dan peternakan. Hal itu didapatkan setelah bekas napi itu masuk sebagai anggota padepokan.
Jawa Pos Radar Jember sempat terkecoh saat bertandang ke padepokan tersebut. Sepintas tempat itu mirip sanggar kesenian karena di dinding bangunan bekas gudang koperasi itu terpampang lukisan punakawan, tokoh pewayangan seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. “Silakan masuk. Selamat datang di Padepokan Semar Mesem. Di sini tempat lulusan alun-alun berkumpul. Penjara itu, di mana pun di Indonesia, kan terletak di dekat alun-alun. Jadi, kami lebih suka mengistilahkan lulusan alun-alun,” ungkap Sum Hari, ketua padepokan itu memulai percakapan.
Hari lantas menceritakan, ia dari rumah berangkat pagi hari pukul 07.00 menaiki motor trail ke areal kebun kopi Kuntiran. Hari memang tidak ikut cawe-cawe langsung di kebun itu. Pria tersebut sekadar mengawasi anggota padepokan yang tengah bekerja di sana. “Di sini anggota padepokan belajar berkebun. Setiap hari mereka diupah Rp 60 ribu oleh padepokan. Saya diberi kepercayaan oleh Pak Kiai Nisful untuk mengelola padepokan ini, termasuk urusan kebun. Serta diberi kewenangan untuk mengupah pekerja lulusan alun-alun ini,” terang Sum Hari.
Juharianto, pekerja kebun Kuntiran, mengatakan, meski upah di kebun tidak terlalu besar dan cukup untuk sekadar memenuhi kebutuhan keluarga, namun ia merasa lebih tenang menjalani hidup seperti itu ketimbang saat terjerumus kembali dan mendekam di sel penjara lagi. “Lebih enak berkebun ketimbang menjalankan aksi kriminal. Hidup tidak tenang dan selalu diuber-uber polisi. Alhamdulillah, kini aku benar-benar bertaubat. Lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengikuti pengajian seminggu sekali di padepokan ini,” ujarnya.
Kembali menjadi masyarakat biasa memang menjadi keinginan kuat mereka, para mantan napi yang tergabung di padepokan itu. Bahkan, seiring perjalanan waktu, padepokan tersebut menjadi laboratorium wirausaha. Kini, padepokan itu juga telah dilengkapi dengan mesin penggilingan kopi. Warga sekitar pun mulai memanfaatkan jasa usaha tersebut.
Tak hanya itu, di dalam ruangan padepokan, Hari juga mencoba mengembangkan bisnis lain. Pria humoris ini mencoba peruntungan dengan jual beli motor bekas. Tentu saja, motor tersebut dilengkapi surat resmi kendaraan, bukan hasil kejahatan.
Jumlah anggota padepokan ini terus bertambah dan mencapai 110 orang. Sebagian besar telah berkeluarga, serta berkeinginan kembali menjalani hidup bermasyarakat dengan normal. Mereka tidak saja dari Kecamatan Sumberjambe, namun ada pula dari kecamatan lain seperti Ledokombo dan Sukowono.
Ketika napi tersebut bergabung di Padepokan Semar Mesem ini, mereka ingin mengubur masa lalu. Tidak memiliki niatan kembali berulah dan benar-benar bertaubat. Apalagi di tempat itu alumni lapas ini setiap hari Senin Legi mengikuti kegiatan keagamaan yang dipimpin langsung oleh Kiai Nisful Laila. “Alhamdulillah mereka bisa berubah dari semula tidak melaksanakan salat lima waktu, kini mulai rajin beribadah. Dari tidak bisa mengaji, sekarang sudah bisa. Mereka benar-benar mengaku jera dan tidak ingin lagi tidur di hotel prodeo karena membuat keluarga mereka bersedih,” kata Nisful.
Tenaga pengajar di SMP Negeri 1 Sumberjambe serta Pengasuh Pondok Peantren Asy Syifa itu menambahkan, selain mengikuti kegiatan kerohanian di Padepokan Semar Mesem, mantan napi ini juga diajarkan untuk berkebun sebagai bekal ketrampilan mencari rezeki halal. Hasil dari aktivitas berkebun itu dinikmati bersama. Mereka terlihat antusias ketika turun ke kebun milik PTP itu. Dan satu sama lain terlihat seperti saudara.
Maksum, pengurus Padepokan Semar Mesem, menerangkan, awal tempat tersebut berdiri karena ada desakan kuat dari mantan orang hukuman itu untuk menemui Kiai Nisful. Orang itu berencana berhenti melakukan perbuatan melawan hukum. Rupanya, niatan ini disambut baik oleh Kiai Nisful. Kemudian, dia membangunkan sebuah padepokan yang hingga kini digunakan oleh bekas warga binaan itu. “Usai menimba ilmu di padepokan, mereka ini diharapkan bisa mandiri dengan usaha di bidang perkebunan. Apalagi sektor tanaman perkebunan ini ke depan memiliki prospek cerah. Karena itu, hal ini adalah peluang yang bisa dimanfaatkan,” pungkas Maksum.
Reporter : Winardyasto
Fotografer : Winardyasto
Editor : Mahrus Sholih