21.8 C
Jember
Friday, 9 June 2023

Dispensasi Kawin Diperketat, Nikah Siri Bisa Meningkat

Dilema Kebijakan Menurunkan Perkawinan Anak

Mobile_AP_Rectangle 1

SUMBERSARI, Radar Jember – Baru-baru ini, Jember sudah sah memiliki Perda Kabupaten Layak Anak (KLA). Upaya untuk menjadi KLA juga terus digencarkan oleh pemkab melalui OPD terkait. Di sisi lain, angka perkawinan anak masih terbilang tinggi. Jumlah dispensasi kawin (diska) yang diputus Pengadilan Agama sejak 2020 hingga 2022 angkanya masih ribuan. Padahal, hal itu salah satu bagian dalam indikator KLA.

BACA JUGA : Dua Atlet Jember Peraih Medali di SEA Games 2023

Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Jember, Dhian Wahana Putra, menuturkan, penyebutan KLA dari indikator pendidikan salah satunya adalah tuntas wajib belajar 12 tahun. “Jika sebelum usia 19 tahun mereka (anak, Red) sudah menikah dan tidak bisa melanjutkan pendidikan, maka gagal disebut sebagai KLA,” terangnya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Kebijakan ada tidaknya diska, kata dia, menjadi dilema tersendiri. Menurutnya, jika ingin ideal untuk menurunkan angka perkawinan anak, maka PA tidak boleh mengeluarkan diska. “Tetapi, kalau PA tidak mengeluarkan diska, justru angka nikah siri bahkan angka hubungan seks di luar nikah menjadi tinggi. Maka kembalikan saja pada peran pendidikan dalam mengurangi angka pernikahan anak,” papar Ketua Pusat Studi Peradaban Islam Unmuh Jember itu.

Dari kacamata pendidikan, tambahnya, memaksimalkan fungsi edukasi dalam keluarga menjadi hal utama yang perlu dilakukan. Orang tua memberikan pendidikan pada anak. Terutama mengenai akhlak berhubungan dengan lawan jenisnya. Dalam ranah pendidikan formal, pencegahan bisa dilakukan melalui pengintegrasian dengan kurikulum tersembunyi atau hidden curriculum di semua mata pelajaran. “Semua guru mata pelajaran memiliki kewajiban yang sama untuk menyisipkan dalam proses belajar mengajar di kelas tentang dampak atau bahaya perkawinan anak,” jelas Dhian.

Penegakan kurikulum itu, lanjutnya, sebaiknya dikuatkan dengan kebijakan kepala dan atau wakil sekolah. Pihak sekolah mulai dari tingkat dasar hingga menengah atas beriringan melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan edukasi perkawinan anak. Selain menyasar siswa, juga orang tua. Misalnya saja edukasi berupa pelatihan parenting, workshop, maupun seminar.

- Advertisement -

SUMBERSARI, Radar Jember – Baru-baru ini, Jember sudah sah memiliki Perda Kabupaten Layak Anak (KLA). Upaya untuk menjadi KLA juga terus digencarkan oleh pemkab melalui OPD terkait. Di sisi lain, angka perkawinan anak masih terbilang tinggi. Jumlah dispensasi kawin (diska) yang diputus Pengadilan Agama sejak 2020 hingga 2022 angkanya masih ribuan. Padahal, hal itu salah satu bagian dalam indikator KLA.

BACA JUGA : Dua Atlet Jember Peraih Medali di SEA Games 2023

Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Jember, Dhian Wahana Putra, menuturkan, penyebutan KLA dari indikator pendidikan salah satunya adalah tuntas wajib belajar 12 tahun. “Jika sebelum usia 19 tahun mereka (anak, Red) sudah menikah dan tidak bisa melanjutkan pendidikan, maka gagal disebut sebagai KLA,” terangnya.

Kebijakan ada tidaknya diska, kata dia, menjadi dilema tersendiri. Menurutnya, jika ingin ideal untuk menurunkan angka perkawinan anak, maka PA tidak boleh mengeluarkan diska. “Tetapi, kalau PA tidak mengeluarkan diska, justru angka nikah siri bahkan angka hubungan seks di luar nikah menjadi tinggi. Maka kembalikan saja pada peran pendidikan dalam mengurangi angka pernikahan anak,” papar Ketua Pusat Studi Peradaban Islam Unmuh Jember itu.

Dari kacamata pendidikan, tambahnya, memaksimalkan fungsi edukasi dalam keluarga menjadi hal utama yang perlu dilakukan. Orang tua memberikan pendidikan pada anak. Terutama mengenai akhlak berhubungan dengan lawan jenisnya. Dalam ranah pendidikan formal, pencegahan bisa dilakukan melalui pengintegrasian dengan kurikulum tersembunyi atau hidden curriculum di semua mata pelajaran. “Semua guru mata pelajaran memiliki kewajiban yang sama untuk menyisipkan dalam proses belajar mengajar di kelas tentang dampak atau bahaya perkawinan anak,” jelas Dhian.

Penegakan kurikulum itu, lanjutnya, sebaiknya dikuatkan dengan kebijakan kepala dan atau wakil sekolah. Pihak sekolah mulai dari tingkat dasar hingga menengah atas beriringan melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan edukasi perkawinan anak. Selain menyasar siswa, juga orang tua. Misalnya saja edukasi berupa pelatihan parenting, workshop, maupun seminar.

SUMBERSARI, Radar Jember – Baru-baru ini, Jember sudah sah memiliki Perda Kabupaten Layak Anak (KLA). Upaya untuk menjadi KLA juga terus digencarkan oleh pemkab melalui OPD terkait. Di sisi lain, angka perkawinan anak masih terbilang tinggi. Jumlah dispensasi kawin (diska) yang diputus Pengadilan Agama sejak 2020 hingga 2022 angkanya masih ribuan. Padahal, hal itu salah satu bagian dalam indikator KLA.

BACA JUGA : Dua Atlet Jember Peraih Medali di SEA Games 2023

Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Jember, Dhian Wahana Putra, menuturkan, penyebutan KLA dari indikator pendidikan salah satunya adalah tuntas wajib belajar 12 tahun. “Jika sebelum usia 19 tahun mereka (anak, Red) sudah menikah dan tidak bisa melanjutkan pendidikan, maka gagal disebut sebagai KLA,” terangnya.

Kebijakan ada tidaknya diska, kata dia, menjadi dilema tersendiri. Menurutnya, jika ingin ideal untuk menurunkan angka perkawinan anak, maka PA tidak boleh mengeluarkan diska. “Tetapi, kalau PA tidak mengeluarkan diska, justru angka nikah siri bahkan angka hubungan seks di luar nikah menjadi tinggi. Maka kembalikan saja pada peran pendidikan dalam mengurangi angka pernikahan anak,” papar Ketua Pusat Studi Peradaban Islam Unmuh Jember itu.

Dari kacamata pendidikan, tambahnya, memaksimalkan fungsi edukasi dalam keluarga menjadi hal utama yang perlu dilakukan. Orang tua memberikan pendidikan pada anak. Terutama mengenai akhlak berhubungan dengan lawan jenisnya. Dalam ranah pendidikan formal, pencegahan bisa dilakukan melalui pengintegrasian dengan kurikulum tersembunyi atau hidden curriculum di semua mata pelajaran. “Semua guru mata pelajaran memiliki kewajiban yang sama untuk menyisipkan dalam proses belajar mengajar di kelas tentang dampak atau bahaya perkawinan anak,” jelas Dhian.

Penegakan kurikulum itu, lanjutnya, sebaiknya dikuatkan dengan kebijakan kepala dan atau wakil sekolah. Pihak sekolah mulai dari tingkat dasar hingga menengah atas beriringan melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan edukasi perkawinan anak. Selain menyasar siswa, juga orang tua. Misalnya saja edukasi berupa pelatihan parenting, workshop, maupun seminar.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca