29.5 C
Jember
Tuesday, 28 March 2023

Eks Napiter, Tebarkan Paham Moderasi Beragama

Mobile_AP_Rectangle 1

SUMBERSARI, Radar Jember – Irfan Suhardianto, seorang eks napiter menceritkan pengalamannya saat menjadi seorang yang pernah bergelut bersama kelompok Ansarud Daulah. Sebuah kelompok kajian yang mengklaim kelompok dirinya sebagai kelompok Muslim yang berjihad.

Irfan mengatakan, dulu, dirinya termotivasi mengikuti kajian kelompok tersebut karena semangat mencari hidayah. Baginya, sebagai umat Islam mencari hidayah adalah kewajiban umat Islam karena berkenaan dengan ajaran agama Islam.

Salah satu doktrin yang paling teringat di dalam kepala Irfan adalah doktrin tentang fikih jihad. Dimana, salah satu kelompok memahami bahwa Islam hanya bisa ditegakkan melalu gerakan Jihad. Pemahaman tentang Jihad inilah, yang dikuatkan dengan ayat-ayat, di mana seseorang yang memutuskan perkara tanpa hukum Tuhan, didoktrin kafir.

Mobile_AP_Rectangle 2

Dirinya menyadari doktrin ini ternyata mencoba untuk memusuhi pemerintah yang membuat hukum, serta para pendukung pemerintah yang melegitimasi semua hukum-hukum yang diciptakan oleh pemerintah dan antek-anteknya. Saat itu, salah satu organisasi sasaran Irfan dan kelompoknya adalah aparat kepolisian.

“Sebab, aparat kepolisian dinilai sebagai salah satu pasak pemerintah yang memiliki kekuatan dalam menjalankan kepentingan pemerintah,” ungkap Irfan saat menjadi pembicara dalam kegiatan Sarasehan Bareng (Sabar) yang digelar oleh Cangkir Opini di kedai Nong, Kelurahan/Kecamatan Sumbersari.

Sebagai mantan napiter , Irfan jelas menyesali kekeliruannya dalam menyebarkan paham radikal. Ia mengakui, dirinya sudah termasuk dalam kelompok terorisme yang menentang ciri khas Islam yang sebenarnya. Menurutnya, Islam yang harus dipahami adalah islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam, manusia, dan makhluk Tuhan. “Tauhid yang kita pahami jangan sampai pemahaman yang kita anut adalah pemahaman tauhid yang mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda dengan kita,” ujarnya.

Intinya, Islam mengajarkan umatnya untuk mengajak manusia untuk terus berbuat kebaikan tanpa memandang perbedaan. Meski demikian, umat Islam tetap harus memperdalam pengetahuannya tentang agamanya, namun harus dengan tutor yang memiliki sanad yang jelas. “Bahkan, kalau ada orang yang melakukan kesalahan, maka kita sebagai umat Islam yang paham agama, tak perlu mengkafirkan mereka, karena itu bukan tugas kita,” sebut lelaki asal Probolinggo ini.

Dalam kegiatan yang sama, Dhian Wahana Putra, Kepala Pusat Studi Peradaban Islam Universitas Muhammadiyah Jember menanggapi, untuk memahami konsep Islam Moderat, maka perlu mengerti tentang konsep ta’budi dan ta’kuli. Yakni konsep ibadah yang tidak boleh dipertentangkan seperti ibadah mahdoh, dan konsep ibadah yang membuka ruang bagi manusia untuk beribadah dengan kreatfitas mereka, misalnya menutup aurat. “Menutup aurat itu wajib, tapi urusan menutup aurat dengan apa itu sebebas yang bersangkutan,” tutur Dhian.

Dalam kajian perspektif kebudayaan, sebagaimana yang dikatakan oleh Rosnida Sari, Tokoh The Center of Human Right, Multiculturalism, and Migration, faktor utama munculnya gerakan radikalisme berbasis agama adalah munculnya kebencian-kebencian yang terawat di tengah umat beragama. Faktor ini yang menyebabkan Islam menjadi agama yang dibenci karena banyaknya penganut Islam yang dicap negatif oleh penganut agama lain.

Apalagi, menurutnya, banyak kesan yang muncul di media bahwa umat Islam itu adalah penganut agama yang suka marah-marah, kejam dan tidak manusiawi.
“Padahal umat Islam tidak seperti itu, bahkan salah satu keutamaan ajaran Islam adalah menghormati orang lain tanpa melihat latar belakang budaya dan agama orang tersebut,” sebutnya.

Namun yang perlu diketahui, lanjut Rosnida, ada faktor lain yang turut mempengaruhi munculnya gerakan radikalisme. Ya, salah satunya faktor ekonomi yang lemah, membuat orang sangat mudah terpengaruh dengan paham radikal yang menjanjikan materi. Kemudian, kurangnya pengetahuan dan sikap tidak kritis terhadap berbagai macam informasi. Hal ini membuat jug orang mudah terjerumus ke dalam gerakan radikalisme. “Faktor ketiga, haus akan ajaran agama, sehingga setiap informasi yang keagamaan yang didapat diterima tanpa pemikiran yang kritis,” tutupnya.(del/nur)

- Advertisement -

SUMBERSARI, Radar Jember – Irfan Suhardianto, seorang eks napiter menceritkan pengalamannya saat menjadi seorang yang pernah bergelut bersama kelompok Ansarud Daulah. Sebuah kelompok kajian yang mengklaim kelompok dirinya sebagai kelompok Muslim yang berjihad.

Irfan mengatakan, dulu, dirinya termotivasi mengikuti kajian kelompok tersebut karena semangat mencari hidayah. Baginya, sebagai umat Islam mencari hidayah adalah kewajiban umat Islam karena berkenaan dengan ajaran agama Islam.

Salah satu doktrin yang paling teringat di dalam kepala Irfan adalah doktrin tentang fikih jihad. Dimana, salah satu kelompok memahami bahwa Islam hanya bisa ditegakkan melalu gerakan Jihad. Pemahaman tentang Jihad inilah, yang dikuatkan dengan ayat-ayat, di mana seseorang yang memutuskan perkara tanpa hukum Tuhan, didoktrin kafir.

Dirinya menyadari doktrin ini ternyata mencoba untuk memusuhi pemerintah yang membuat hukum, serta para pendukung pemerintah yang melegitimasi semua hukum-hukum yang diciptakan oleh pemerintah dan antek-anteknya. Saat itu, salah satu organisasi sasaran Irfan dan kelompoknya adalah aparat kepolisian.

“Sebab, aparat kepolisian dinilai sebagai salah satu pasak pemerintah yang memiliki kekuatan dalam menjalankan kepentingan pemerintah,” ungkap Irfan saat menjadi pembicara dalam kegiatan Sarasehan Bareng (Sabar) yang digelar oleh Cangkir Opini di kedai Nong, Kelurahan/Kecamatan Sumbersari.

Sebagai mantan napiter , Irfan jelas menyesali kekeliruannya dalam menyebarkan paham radikal. Ia mengakui, dirinya sudah termasuk dalam kelompok terorisme yang menentang ciri khas Islam yang sebenarnya. Menurutnya, Islam yang harus dipahami adalah islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam, manusia, dan makhluk Tuhan. “Tauhid yang kita pahami jangan sampai pemahaman yang kita anut adalah pemahaman tauhid yang mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda dengan kita,” ujarnya.

Intinya, Islam mengajarkan umatnya untuk mengajak manusia untuk terus berbuat kebaikan tanpa memandang perbedaan. Meski demikian, umat Islam tetap harus memperdalam pengetahuannya tentang agamanya, namun harus dengan tutor yang memiliki sanad yang jelas. “Bahkan, kalau ada orang yang melakukan kesalahan, maka kita sebagai umat Islam yang paham agama, tak perlu mengkafirkan mereka, karena itu bukan tugas kita,” sebut lelaki asal Probolinggo ini.

Dalam kegiatan yang sama, Dhian Wahana Putra, Kepala Pusat Studi Peradaban Islam Universitas Muhammadiyah Jember menanggapi, untuk memahami konsep Islam Moderat, maka perlu mengerti tentang konsep ta’budi dan ta’kuli. Yakni konsep ibadah yang tidak boleh dipertentangkan seperti ibadah mahdoh, dan konsep ibadah yang membuka ruang bagi manusia untuk beribadah dengan kreatfitas mereka, misalnya menutup aurat. “Menutup aurat itu wajib, tapi urusan menutup aurat dengan apa itu sebebas yang bersangkutan,” tutur Dhian.

Dalam kajian perspektif kebudayaan, sebagaimana yang dikatakan oleh Rosnida Sari, Tokoh The Center of Human Right, Multiculturalism, and Migration, faktor utama munculnya gerakan radikalisme berbasis agama adalah munculnya kebencian-kebencian yang terawat di tengah umat beragama. Faktor ini yang menyebabkan Islam menjadi agama yang dibenci karena banyaknya penganut Islam yang dicap negatif oleh penganut agama lain.

Apalagi, menurutnya, banyak kesan yang muncul di media bahwa umat Islam itu adalah penganut agama yang suka marah-marah, kejam dan tidak manusiawi.
“Padahal umat Islam tidak seperti itu, bahkan salah satu keutamaan ajaran Islam adalah menghormati orang lain tanpa melihat latar belakang budaya dan agama orang tersebut,” sebutnya.

Namun yang perlu diketahui, lanjut Rosnida, ada faktor lain yang turut mempengaruhi munculnya gerakan radikalisme. Ya, salah satunya faktor ekonomi yang lemah, membuat orang sangat mudah terpengaruh dengan paham radikal yang menjanjikan materi. Kemudian, kurangnya pengetahuan dan sikap tidak kritis terhadap berbagai macam informasi. Hal ini membuat jug orang mudah terjerumus ke dalam gerakan radikalisme. “Faktor ketiga, haus akan ajaran agama, sehingga setiap informasi yang keagamaan yang didapat diterima tanpa pemikiran yang kritis,” tutupnya.(del/nur)

SUMBERSARI, Radar Jember – Irfan Suhardianto, seorang eks napiter menceritkan pengalamannya saat menjadi seorang yang pernah bergelut bersama kelompok Ansarud Daulah. Sebuah kelompok kajian yang mengklaim kelompok dirinya sebagai kelompok Muslim yang berjihad.

Irfan mengatakan, dulu, dirinya termotivasi mengikuti kajian kelompok tersebut karena semangat mencari hidayah. Baginya, sebagai umat Islam mencari hidayah adalah kewajiban umat Islam karena berkenaan dengan ajaran agama Islam.

Salah satu doktrin yang paling teringat di dalam kepala Irfan adalah doktrin tentang fikih jihad. Dimana, salah satu kelompok memahami bahwa Islam hanya bisa ditegakkan melalu gerakan Jihad. Pemahaman tentang Jihad inilah, yang dikuatkan dengan ayat-ayat, di mana seseorang yang memutuskan perkara tanpa hukum Tuhan, didoktrin kafir.

Dirinya menyadari doktrin ini ternyata mencoba untuk memusuhi pemerintah yang membuat hukum, serta para pendukung pemerintah yang melegitimasi semua hukum-hukum yang diciptakan oleh pemerintah dan antek-anteknya. Saat itu, salah satu organisasi sasaran Irfan dan kelompoknya adalah aparat kepolisian.

“Sebab, aparat kepolisian dinilai sebagai salah satu pasak pemerintah yang memiliki kekuatan dalam menjalankan kepentingan pemerintah,” ungkap Irfan saat menjadi pembicara dalam kegiatan Sarasehan Bareng (Sabar) yang digelar oleh Cangkir Opini di kedai Nong, Kelurahan/Kecamatan Sumbersari.

Sebagai mantan napiter , Irfan jelas menyesali kekeliruannya dalam menyebarkan paham radikal. Ia mengakui, dirinya sudah termasuk dalam kelompok terorisme yang menentang ciri khas Islam yang sebenarnya. Menurutnya, Islam yang harus dipahami adalah islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam, manusia, dan makhluk Tuhan. “Tauhid yang kita pahami jangan sampai pemahaman yang kita anut adalah pemahaman tauhid yang mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda dengan kita,” ujarnya.

Intinya, Islam mengajarkan umatnya untuk mengajak manusia untuk terus berbuat kebaikan tanpa memandang perbedaan. Meski demikian, umat Islam tetap harus memperdalam pengetahuannya tentang agamanya, namun harus dengan tutor yang memiliki sanad yang jelas. “Bahkan, kalau ada orang yang melakukan kesalahan, maka kita sebagai umat Islam yang paham agama, tak perlu mengkafirkan mereka, karena itu bukan tugas kita,” sebut lelaki asal Probolinggo ini.

Dalam kegiatan yang sama, Dhian Wahana Putra, Kepala Pusat Studi Peradaban Islam Universitas Muhammadiyah Jember menanggapi, untuk memahami konsep Islam Moderat, maka perlu mengerti tentang konsep ta’budi dan ta’kuli. Yakni konsep ibadah yang tidak boleh dipertentangkan seperti ibadah mahdoh, dan konsep ibadah yang membuka ruang bagi manusia untuk beribadah dengan kreatfitas mereka, misalnya menutup aurat. “Menutup aurat itu wajib, tapi urusan menutup aurat dengan apa itu sebebas yang bersangkutan,” tutur Dhian.

Dalam kajian perspektif kebudayaan, sebagaimana yang dikatakan oleh Rosnida Sari, Tokoh The Center of Human Right, Multiculturalism, and Migration, faktor utama munculnya gerakan radikalisme berbasis agama adalah munculnya kebencian-kebencian yang terawat di tengah umat beragama. Faktor ini yang menyebabkan Islam menjadi agama yang dibenci karena banyaknya penganut Islam yang dicap negatif oleh penganut agama lain.

Apalagi, menurutnya, banyak kesan yang muncul di media bahwa umat Islam itu adalah penganut agama yang suka marah-marah, kejam dan tidak manusiawi.
“Padahal umat Islam tidak seperti itu, bahkan salah satu keutamaan ajaran Islam adalah menghormati orang lain tanpa melihat latar belakang budaya dan agama orang tersebut,” sebutnya.

Namun yang perlu diketahui, lanjut Rosnida, ada faktor lain yang turut mempengaruhi munculnya gerakan radikalisme. Ya, salah satunya faktor ekonomi yang lemah, membuat orang sangat mudah terpengaruh dengan paham radikal yang menjanjikan materi. Kemudian, kurangnya pengetahuan dan sikap tidak kritis terhadap berbagai macam informasi. Hal ini membuat jug orang mudah terjerumus ke dalam gerakan radikalisme. “Faktor ketiga, haus akan ajaran agama, sehingga setiap informasi yang keagamaan yang didapat diterima tanpa pemikiran yang kritis,” tutupnya.(del/nur)

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca