23.5 C
Jember
Tuesday, 21 March 2023

Eksploitasi Gumuk di Mayang untuk Proyek Infrastruktur

Mobile_AP_Rectangle 1

TEGALWARU, Radar Jember – Dua alat berat terparkir di areal pertambangan pasir dan batu (sirtu) di Desa Tegalwaru, Kecamatan Mayang, kemarin (21/2). Dua ekskavator itu sepertinya telah beberapa hari tak digunakan. Lumpur kering tampak melekat di trackhoes atau roda rantai backhoe. Di sekelilingnya, ada tumpukan sirtu yang berada di areal gumuk seluas lebih satu hektare.

Gumuk yang awalnya menjulang tinggi itu, kini telah terpangkas. Dikepras oleh alat berat dan bahkan nyaris habis. Tak jauh dari lokasi gumuk yang ditambang, ada pabrik pengolah batu. Pabrik ini disebut menerima material batu yang diolah menjadi campuran aspal dan dikirim ke perusahaan Asphalt Mixing Plant (AMP) di kecamatan lain di Jember. “Lebih seminggu penambangan di gumuk libur. Alat beratnya rusak,” kata Pak Nanda, warga setempat.

Sebelumnya, setiap hari ada saja truk pengangkut material tambang yang lewat depan warungnya. Dia mengaku tidak tahu persis berapa armada per harinya. Namun, karena jalan menuju tambang cukup sempit dan tak bisa dipakai berpapasan, maka setiap ada dua truk yang akan berpapasan biasanya berhenti dulu di depan kedainya. “Saya tidak tahu material tambang gumuk itu untuk apa, tapi kalau pabrik pengolah batu itu katanya untuk campuran aspal,” ujarnya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Pria yang telah memiliki cucu ini menuturkan, warga setempat juga tidak tahu persis siapa pemilik tambang dan perusahaan pengolah batu yang berada di kampungnya. Hanya saja, berdasarkan pembicaraan warga, pemiliknya bukan warga desa setempat, melainkan orang kota. “Kapan hari ada sedan warna putih yang lewat sini. Kata orang-orang itu pemiliknya,” tutur dia.

Aktivitas penambangan sirtu dengan mengeksploitasi gumuk ini, seperti menjelaskan isu yang sedang berkembang tentang proyek infrastruktur di Jember. Pembangunan yang dijalankan bakal menjadikan gumuk sebagai “tumbal”. Sebagaimana diketahui, saat ini Pemkab Jember tengah mengebut perbaikan jalan sepanjang 1.080 kilometer. Proyek yang ditargetkan tuntas pada Mei tersebut, campuran aspalnya dikabarkan hasil dari eksploitasi gumuk.

Pola percepatan pembangunan semacam ini mendapat sorotan akademisi Universitas Jember (Unej). Khoiron, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unej yang konsentrasi pada lingkungan, menyatakan, sebuah pembangunan memang sulit menghindari kerusakan lingkungan. Namun, dia menggaris bawahi, pemerintah bisa meminimalisasi dampak kerusakan lingkungan tersebut. “Dalam sebuah pembangunan, memakai sumber daya alam termasuk mengeruk gumuk untuk mengambil materialnya, tentu tidak bisa dinafikkan. Tapi setidaknya, dampak kerusakan lingkungan bisa diminimkan,” ujarnya.

Menurutnya, penambangan sirtu masuk dalam galian C. Dan tidak semua galian C harus diambil dari gumuk. Masih ada alternatif lain yang bisa dilirik untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. “Pasir itu bisa diambil di sungai. Namun, proses penambangannya memang lebih susah daripada gumuk,” tuturnya.

Meski demikian, pengoptimalan pasir sungai untuk proyek infrastruktur daerah, tetap perlu izin. Sebab, belakangan banyak pertambangan galian C di Jember yang tidak mengantongi izin. Terlebih saat ini, pengurusan izin tersebut tidak lagi di kabupaten atau provinsi, melainkan di pemerintah pusat.

Dia pun menyarankan, pemerintah bisa memetakan bagaimana potensi dan dampak kerusakan lingkungan bila dilakukan penambangan galian C di suatu tempat. “Harus ada standar yang dikeluarkan. Seharusnya begitu. Sehingga penambangan bisa lebih selektif,” terangnya.

Khoiron menambahkan, alasan mengapa gumuk menjadi incaran penambang sirtu, selain proses pengambilan lebih mudah, juga karena kepemilikan gumuk adalah pribadi. Sehingga, pemilik merasa gumuk adalah haknya untuk dijadikan apa saja. Termasuk apakah ditambang atau tidak. “Walau gumuk itu pribadi, namanya tambang harus tetap berizin,” kata pria asal Lamongan ini. Sebab, ada dampak lingkungan dengan aktivitas pertambangan. Salah satu contoh adalah warga sekitar tambang yang merasakan lalu lalang kendaraan berat, hingga kerusakan jalan.

Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jember Sutarman menjelaskan, meski pertambangan diperbolehkan selama mengantongi izin, namun pada pelaksanaannya tetap tidak boleh merusak lingkungan. Bahkan, setelah proses pertambangan itu selesai, perusahaan wajib melakukan reklamasi di bekas galian. “Namun dalam kasus di Kecamatan Mayang ini, kami harus memastikan dulu apakah pertambangan tersebut mengantongi izin atau tidak,” paparnya.

Sebagai tindak lanjut, pihaknya akan berkoordinasi dengan Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) terlebih dahulu. Setelah memastikan perizinannya, langkah berikutnya adalah apakah ada dampak terhadap kerusakan lingkungan. Misalnya, jika gumuk dikepras apakah berpotensi menyebabkan banjir atau berkurangnya sumber mata air atau tidak. Kalau memang memberi dampak negatif, pihaknya akan berkirim surat ke pemilik pertambangan untuk melakukan klarifikasi. 

 

 

Jurnalis : Dwi Siswanto, Mahrus Sholih
Fotografer : Dwi Siswanto
Redaktur : Nur Hariri

- Advertisement -

TEGALWARU, Radar Jember – Dua alat berat terparkir di areal pertambangan pasir dan batu (sirtu) di Desa Tegalwaru, Kecamatan Mayang, kemarin (21/2). Dua ekskavator itu sepertinya telah beberapa hari tak digunakan. Lumpur kering tampak melekat di trackhoes atau roda rantai backhoe. Di sekelilingnya, ada tumpukan sirtu yang berada di areal gumuk seluas lebih satu hektare.

Gumuk yang awalnya menjulang tinggi itu, kini telah terpangkas. Dikepras oleh alat berat dan bahkan nyaris habis. Tak jauh dari lokasi gumuk yang ditambang, ada pabrik pengolah batu. Pabrik ini disebut menerima material batu yang diolah menjadi campuran aspal dan dikirim ke perusahaan Asphalt Mixing Plant (AMP) di kecamatan lain di Jember. “Lebih seminggu penambangan di gumuk libur. Alat beratnya rusak,” kata Pak Nanda, warga setempat.

Sebelumnya, setiap hari ada saja truk pengangkut material tambang yang lewat depan warungnya. Dia mengaku tidak tahu persis berapa armada per harinya. Namun, karena jalan menuju tambang cukup sempit dan tak bisa dipakai berpapasan, maka setiap ada dua truk yang akan berpapasan biasanya berhenti dulu di depan kedainya. “Saya tidak tahu material tambang gumuk itu untuk apa, tapi kalau pabrik pengolah batu itu katanya untuk campuran aspal,” ujarnya.

Pria yang telah memiliki cucu ini menuturkan, warga setempat juga tidak tahu persis siapa pemilik tambang dan perusahaan pengolah batu yang berada di kampungnya. Hanya saja, berdasarkan pembicaraan warga, pemiliknya bukan warga desa setempat, melainkan orang kota. “Kapan hari ada sedan warna putih yang lewat sini. Kata orang-orang itu pemiliknya,” tutur dia.

Aktivitas penambangan sirtu dengan mengeksploitasi gumuk ini, seperti menjelaskan isu yang sedang berkembang tentang proyek infrastruktur di Jember. Pembangunan yang dijalankan bakal menjadikan gumuk sebagai “tumbal”. Sebagaimana diketahui, saat ini Pemkab Jember tengah mengebut perbaikan jalan sepanjang 1.080 kilometer. Proyek yang ditargetkan tuntas pada Mei tersebut, campuran aspalnya dikabarkan hasil dari eksploitasi gumuk.

Pola percepatan pembangunan semacam ini mendapat sorotan akademisi Universitas Jember (Unej). Khoiron, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unej yang konsentrasi pada lingkungan, menyatakan, sebuah pembangunan memang sulit menghindari kerusakan lingkungan. Namun, dia menggaris bawahi, pemerintah bisa meminimalisasi dampak kerusakan lingkungan tersebut. “Dalam sebuah pembangunan, memakai sumber daya alam termasuk mengeruk gumuk untuk mengambil materialnya, tentu tidak bisa dinafikkan. Tapi setidaknya, dampak kerusakan lingkungan bisa diminimkan,” ujarnya.

Menurutnya, penambangan sirtu masuk dalam galian C. Dan tidak semua galian C harus diambil dari gumuk. Masih ada alternatif lain yang bisa dilirik untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. “Pasir itu bisa diambil di sungai. Namun, proses penambangannya memang lebih susah daripada gumuk,” tuturnya.

Meski demikian, pengoptimalan pasir sungai untuk proyek infrastruktur daerah, tetap perlu izin. Sebab, belakangan banyak pertambangan galian C di Jember yang tidak mengantongi izin. Terlebih saat ini, pengurusan izin tersebut tidak lagi di kabupaten atau provinsi, melainkan di pemerintah pusat.

Dia pun menyarankan, pemerintah bisa memetakan bagaimana potensi dan dampak kerusakan lingkungan bila dilakukan penambangan galian C di suatu tempat. “Harus ada standar yang dikeluarkan. Seharusnya begitu. Sehingga penambangan bisa lebih selektif,” terangnya.

Khoiron menambahkan, alasan mengapa gumuk menjadi incaran penambang sirtu, selain proses pengambilan lebih mudah, juga karena kepemilikan gumuk adalah pribadi. Sehingga, pemilik merasa gumuk adalah haknya untuk dijadikan apa saja. Termasuk apakah ditambang atau tidak. “Walau gumuk itu pribadi, namanya tambang harus tetap berizin,” kata pria asal Lamongan ini. Sebab, ada dampak lingkungan dengan aktivitas pertambangan. Salah satu contoh adalah warga sekitar tambang yang merasakan lalu lalang kendaraan berat, hingga kerusakan jalan.

Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jember Sutarman menjelaskan, meski pertambangan diperbolehkan selama mengantongi izin, namun pada pelaksanaannya tetap tidak boleh merusak lingkungan. Bahkan, setelah proses pertambangan itu selesai, perusahaan wajib melakukan reklamasi di bekas galian. “Namun dalam kasus di Kecamatan Mayang ini, kami harus memastikan dulu apakah pertambangan tersebut mengantongi izin atau tidak,” paparnya.

Sebagai tindak lanjut, pihaknya akan berkoordinasi dengan Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) terlebih dahulu. Setelah memastikan perizinannya, langkah berikutnya adalah apakah ada dampak terhadap kerusakan lingkungan. Misalnya, jika gumuk dikepras apakah berpotensi menyebabkan banjir atau berkurangnya sumber mata air atau tidak. Kalau memang memberi dampak negatif, pihaknya akan berkirim surat ke pemilik pertambangan untuk melakukan klarifikasi. 

 

 

Jurnalis : Dwi Siswanto, Mahrus Sholih
Fotografer : Dwi Siswanto
Redaktur : Nur Hariri

TEGALWARU, Radar Jember – Dua alat berat terparkir di areal pertambangan pasir dan batu (sirtu) di Desa Tegalwaru, Kecamatan Mayang, kemarin (21/2). Dua ekskavator itu sepertinya telah beberapa hari tak digunakan. Lumpur kering tampak melekat di trackhoes atau roda rantai backhoe. Di sekelilingnya, ada tumpukan sirtu yang berada di areal gumuk seluas lebih satu hektare.

Gumuk yang awalnya menjulang tinggi itu, kini telah terpangkas. Dikepras oleh alat berat dan bahkan nyaris habis. Tak jauh dari lokasi gumuk yang ditambang, ada pabrik pengolah batu. Pabrik ini disebut menerima material batu yang diolah menjadi campuran aspal dan dikirim ke perusahaan Asphalt Mixing Plant (AMP) di kecamatan lain di Jember. “Lebih seminggu penambangan di gumuk libur. Alat beratnya rusak,” kata Pak Nanda, warga setempat.

Sebelumnya, setiap hari ada saja truk pengangkut material tambang yang lewat depan warungnya. Dia mengaku tidak tahu persis berapa armada per harinya. Namun, karena jalan menuju tambang cukup sempit dan tak bisa dipakai berpapasan, maka setiap ada dua truk yang akan berpapasan biasanya berhenti dulu di depan kedainya. “Saya tidak tahu material tambang gumuk itu untuk apa, tapi kalau pabrik pengolah batu itu katanya untuk campuran aspal,” ujarnya.

Pria yang telah memiliki cucu ini menuturkan, warga setempat juga tidak tahu persis siapa pemilik tambang dan perusahaan pengolah batu yang berada di kampungnya. Hanya saja, berdasarkan pembicaraan warga, pemiliknya bukan warga desa setempat, melainkan orang kota. “Kapan hari ada sedan warna putih yang lewat sini. Kata orang-orang itu pemiliknya,” tutur dia.

Aktivitas penambangan sirtu dengan mengeksploitasi gumuk ini, seperti menjelaskan isu yang sedang berkembang tentang proyek infrastruktur di Jember. Pembangunan yang dijalankan bakal menjadikan gumuk sebagai “tumbal”. Sebagaimana diketahui, saat ini Pemkab Jember tengah mengebut perbaikan jalan sepanjang 1.080 kilometer. Proyek yang ditargetkan tuntas pada Mei tersebut, campuran aspalnya dikabarkan hasil dari eksploitasi gumuk.

Pola percepatan pembangunan semacam ini mendapat sorotan akademisi Universitas Jember (Unej). Khoiron, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unej yang konsentrasi pada lingkungan, menyatakan, sebuah pembangunan memang sulit menghindari kerusakan lingkungan. Namun, dia menggaris bawahi, pemerintah bisa meminimalisasi dampak kerusakan lingkungan tersebut. “Dalam sebuah pembangunan, memakai sumber daya alam termasuk mengeruk gumuk untuk mengambil materialnya, tentu tidak bisa dinafikkan. Tapi setidaknya, dampak kerusakan lingkungan bisa diminimkan,” ujarnya.

Menurutnya, penambangan sirtu masuk dalam galian C. Dan tidak semua galian C harus diambil dari gumuk. Masih ada alternatif lain yang bisa dilirik untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. “Pasir itu bisa diambil di sungai. Namun, proses penambangannya memang lebih susah daripada gumuk,” tuturnya.

Meski demikian, pengoptimalan pasir sungai untuk proyek infrastruktur daerah, tetap perlu izin. Sebab, belakangan banyak pertambangan galian C di Jember yang tidak mengantongi izin. Terlebih saat ini, pengurusan izin tersebut tidak lagi di kabupaten atau provinsi, melainkan di pemerintah pusat.

Dia pun menyarankan, pemerintah bisa memetakan bagaimana potensi dan dampak kerusakan lingkungan bila dilakukan penambangan galian C di suatu tempat. “Harus ada standar yang dikeluarkan. Seharusnya begitu. Sehingga penambangan bisa lebih selektif,” terangnya.

Khoiron menambahkan, alasan mengapa gumuk menjadi incaran penambang sirtu, selain proses pengambilan lebih mudah, juga karena kepemilikan gumuk adalah pribadi. Sehingga, pemilik merasa gumuk adalah haknya untuk dijadikan apa saja. Termasuk apakah ditambang atau tidak. “Walau gumuk itu pribadi, namanya tambang harus tetap berizin,” kata pria asal Lamongan ini. Sebab, ada dampak lingkungan dengan aktivitas pertambangan. Salah satu contoh adalah warga sekitar tambang yang merasakan lalu lalang kendaraan berat, hingga kerusakan jalan.

Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jember Sutarman menjelaskan, meski pertambangan diperbolehkan selama mengantongi izin, namun pada pelaksanaannya tetap tidak boleh merusak lingkungan. Bahkan, setelah proses pertambangan itu selesai, perusahaan wajib melakukan reklamasi di bekas galian. “Namun dalam kasus di Kecamatan Mayang ini, kami harus memastikan dulu apakah pertambangan tersebut mengantongi izin atau tidak,” paparnya.

Sebagai tindak lanjut, pihaknya akan berkoordinasi dengan Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) terlebih dahulu. Setelah memastikan perizinannya, langkah berikutnya adalah apakah ada dampak terhadap kerusakan lingkungan. Misalnya, jika gumuk dikepras apakah berpotensi menyebabkan banjir atau berkurangnya sumber mata air atau tidak. Kalau memang memberi dampak negatif, pihaknya akan berkirim surat ke pemilik pertambangan untuk melakukan klarifikasi. 

 

 

Jurnalis : Dwi Siswanto, Mahrus Sholih
Fotografer : Dwi Siswanto
Redaktur : Nur Hariri

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca