JEMBER, RADARJEMBER.ID – Pengamat isu inklusi Universitas PGRI Argopuro Jember Asorul Mais menganggap, tantangan penyandang disabilitas untuk menjadi abdi negara tak hanya karena perkara sosialisasi dan pelayanan administrasi yang belum optimal. Tapi, juga hambatan mendapatkan hak pendidikan yang setara.
Dosen yang akrab disapa Mais itu mencontohkan kisah salah satu tunadaksa yang mengalami penolakan kuliah di Jurusan Biologi Murni, Universitas Jember. Tepatnya sekitar 2003 lalu, karib perempuannya, Lutfi Prihatiningtyas, semasa SMA ingin kuliah biologi murni di Universitas Jember.
Lutfi mendaftar melalui seleksi setara dengan ujian masuk (UM) Universitas Jember. Ia lolos seleksi. Namun, saat mengurus administrasi ia disarankan agar pindah jurusan ekonomi. Musababnya, pihak universitas menganggap ia tak bisa menjalani aktivitas perkuliahan karena 90 persen kuliah dilakukan di luar ruangan atau praktik. Mais menilai, hal tersebut bentuk persepsi nondisabilitas terhadap disabilitas yang parsial. “Cuma alasan tidak bisa diterimanya di jurusan biologi murni karena isu disabilitas tidak bisa dibenarkan,” ungkap Wakil Rektor 1 Universitas PGRI Argopuro itu.
Fenomena penolakan seperti yang dialami Lutfi masih kerap dirasakan penyandang disabilitas lainnya hingga kini. Faktor ini pula yang menyebabkan mayoritas difabel menempuh kuliah pada jurusan pendidikan. Setidaknya lebih dari tiga kampus di Jember yang belum bisa menerima penyandang disabilitas karena keterbatasan akses.
Pakar hak asasi manusia (HAM) Universitas Jember, Al Khanif, menilai, dalam hal ini ada dua indikasi penyebab tidak diperhatikannya para penyandang disabilitas pada rekrutmen CPNS dan PPPK. Pertama, pemerintah tidak paham pelaksanaan kebijakan afirmatif. Sebab, jika pemerintah ingin memperkuat kebijakan afirmatif, seharusnya formasi yang diberikan kepada penyandang disabilitas lebih pada frontliner atau tenaga administrasi.
Ia juga menilai, semua formasi yang tersedia saat ini sangat teknis. Ia memprediksi SDM disabilitas untuk memenuhi formasi itu di Jember tidak ada. Seharusnya, dia menegaskan, pemerintah daerah melakukan pendataan terlebih dahulu meliputi jumlah penyandang disabilitas, ketersediaan kualifikasi, lalu mengajukan formasi. Dengan demikian, usulan formasi tidak berakhir percuma. “Formasi-formasi kuliah di bidang itu belum mengakomodasi. Ini kok bisa ada formasi CPNS dengan formasi itu, ya, konyol,” kata Khanif, yang merupakan dosen di Fakultas Hukum Universitas Jember.
Indikasi kedua, menurut Khanif, usulan kuota CPNS hanya untuk formalitas. Jika alokasi kuota tersebut hanya formalitas, maka penyandang disabilitas akan menerima kerugian ganda. Kerugian pada saat pembentukan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, karena mereka ditempatkan sebagai objek, namun realisasinya tidak ada.
Khanif condong pada indikasi kedua ini. Sebab, usulan 13 formasi yang bertentangan dengan kapasitas difabel itu, disebutnya sengaja dibikin pemerintah daerah untuk formalitas saja. Alasannya agar kebijakannya tidak dianggap bertentangan dengan Perda Nomor 7 Tahun 2016. Jika pemerintah serius, setidaknya pemkab telah mengantongi data klasifikasi pendidikan akhir penyandang disabilitas di Jember. “Ini kan nyaris pemerintah daerah tidak mau tahu data disabilitas seperti apa, yang penting buka formasi di bidang ini,” paparnya.
Dengan demikian, Khanif berpendapat, predikat Kota Ramah HAM yang telah disandang Jember sejak 2018 lalu menjadi fiktif adanya, karena faktanya hal itu tidak terealisasi. Predikat Jember Kota Ramah HAM disebutnya juga jauh dari standar perlindungan HAM. “Tidak bisa dijadikan dasar. Karena Kota Ramah HAM yang dinilai realitasnya, bukan laporannya,” tegas Khanif.
Reporter : Dian Cahyani
Fotografer : Dian Cahyani
Editor : Mahrus Sholih