JEMBER, RADARJEMBER.ID – Masa sekolah daring yang dilakukan anak-anak di sekolah dasar sampai menengah membuat waktu mereka menjadi lebih lama menggunakan gawai. Di satu sisi, hal itu menguntungkan, karena mereka bisa lebih mudah mengakses materi, konten, ataupun metode pembelajaran yang variatif, cepat, dan mudah. Namun, di balik kemudahan itu, juga ada risiko. Salah satunya potensi mereka mengakses konten dewasa hingga yang berbau pornografi.
Kepala Jurusan Teknologi Informasi Politeknik Negeri Jember (Polije) Hendra Yufit Riskiawan menjelaskan, kemajuan teknologi hari ini memang membawa dua fungsi sekaligus. Bisa ke arah positif, atau sebaliknya. Terlebih, tiadanya batasan penggunaan kelompok usia, membuat siapa pun bebas mengakses. Bahkan anak-anak yang baru belajar memegang gawai sekalipun, mereka sudah piawai mengoperasikannya.
Dari situ kemudian memunculkan potensi dan kecenderungan yang mengarahkan mereka mengakses konten-konten dewasa sampai ke pornografi. “Beberapa aplikasi atau media sosial memang menerapkan pembatasan usia. Tapi tidak semua. Dan itu pun sangat mudah diakali (dimanipulasi, Red),” ucapnya.
Keberadaan konten-konten dewasa berbau pornografi seakan sulit dihindari. Meski Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pernah memblokir 1 juta lebih website berkonten pornografi pada medio Desember 2019 lalu. Namun, hal itu dinilainya belum efektif. Sebab, secara bersamaan, sudah marak aplikasi gratis yang menyediakan layanan internet dengan cara melalui jalan tikus, atau disebut virtual private network (VPN). “VPN ini sulit dihindari, meskipun website dan VPN-nya juga banyak yang diblokir. Namun, peminatnya tetap banyak. Sehingga memantik munculnya VPN-VPN baru,” jelasnya.
Terlebih lagi, lanjut Hendra, keberadaan media sosial yang kerap menampilkan gambar dan foto syur, juga sulit difilter. “Sebenarnya, tiap penyedia layanan internet itu memiliki traffic kunjungan para penggunanya. Itu bisa terlihat siapa saja, kapan, di mana, dan apa yang mereka akses itu te-record,” imbuh Hendra.
Namun traffic itu hanya sebatas memantau. Jika disediakan policy server, maka tiap kunjungan yang mengarah ke konten negatif otomatis terblokir. “Tapi itu dibutuhkan peranti dan SDM khusus. Kalaupun ada, baru diterapkan di lingkungan kampus tertentu,” tambahnya.
Dia menilai, pemantauan penggunaan internet dan gawai itu paling tepat dilakukan oleh pihak keluarganya, selaku orang terdekat anak. “Caranya sederhana. Dilihat saja history kunjungan. Harus dipantau terus tiap hari,” tukasnya.
Hal serupa juga dipaparkan Arrumaisha Fitri, psikolog sekaligus dosen di Fakultas Dakwah IAIN Jember. Menurut dia, lingkungan keluarga menjadi tameng paling pertama dan utama untuk anak mendapatkan pengarahan. Termasuk pengarahan saat anak berselancar ke dunia maya ataupun bermedsos. “Sebisa mungkin keluarga harus bisa memantau. Menjadi pendengar yang baik, juga memberikan teladan,” jelasnya.
Menurutnya, karakter anak-anak pada usia di bangku sekolah dasar hingga SMP ataupun SMA, mereka memang memiliki tingkat rasa keingintahuan yang tinggi. Tak heran, rasa keingintahuan itu bisa mengarah ke hal-hal yang membawanya kecanduan konten dewasa. Terlebih saat ini, anak-anak sekolahan hampir setiap hari berkawan dengan gawai sebagai media belajarnya. “Orang tua tidak boleh sekadar memfasilitasi, tapi juga perlu mengawasi. Di situlah pentingnya lingkungan keluarga bagi anak-anak dalam proses pendewasaan berpikirnya,” jelasnya.