JEMBER, RADARJEMBER.ID – Menata kota, membangun desa. Dua hal ini sejak lama diidamkan banyak orang. Namun demikian, untuk urusan membangun desa dalam hal pembangunan fisik sepertinya tahun 2022 nanti masih cukup sulit. Bagaimana tidak, desa yang dituntut bisa melakukan banyak terobosan ternyata belum di-support oleh dana yang kuat.
Dalam dua tahun terakhir atau sejak pandemi Covid-19 hadir, pemerintah bisa dibilang cukup minim dalam membangun infrastruktur. Penyebabnya, sebagian dana desa (DD) harus dialihkan untuk penanganan pandemi. Serta harus dialokasikan untuk tambahan penanganan dampak ekonomi akibat pandemi berupa bantuan langsung tunai (BLT).
Penelusuran Jawa Pos Radar Jember, dalam dua tahun terakhir, DD yang dialirkan untuk penanganan pandemi yakni sekitar 43 persen. Sebanyak 8 persen untuk penanganan pandemi, sementara 35 persen untuk penanganan dampak ekonomi berupa BLT.
Menjelang pergantian tahun ini, sejumlah kades bisa dibilang galau atas terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2021 tentang Perincian APBN 2022. Di mana dalam perpres tersebut diatur kembali mengenai kewajiban penggunaan dana desa.
Dalam Perpres Nomor 104 secara tegas diatur pada pasal 5 mengenai ketentuan penggunaan DD. Poin pentingnya yaitu BLT DD yang sebelumnya harus dianggarkan maksimal 35 persen, berubah menjadi paling sedikit BLT DD 40 persen. Ketentuan ini tidak lain dimaksudkan untuk penanganan dampak ekonomi akibat pandemi.
Selain itu, ketentuan DD juga wajib dianggarkan untuk penanganan pandemi paling sedikit 8 persen. Ada lagi, pemerintah desa juga harus menganggarkan program ketahanan pangan dan hewani dari DD dengan besaran paling sedikit 20 persen. Artinya, ada 68 persen dana yang ditransfer oleh pusat tidak bisa diutak-atik berdasar Perpres 104.
Atas kebijakan pemerintah pusat itu, Komisi A DPRD Jember pun menerima sejumlah pengaduan. Ketua Komisi A DPRD Jember Tabroni mengaku ada sejumlah kades yang mengadu kepada Komisi A. Hal itu karena DD yang diwajibkan untuk alokasi dana tersebut dinilai terlampau besar. Sementara, pemerintah desa juga dituntut untuk membangun desa. “Memang ada beberapa kades yang mengadu, tetapi belum sempat ketemu. Keluhannya sama, yaitu mengenai Perpres 104,” katanya.
Ditanya mengenai isi dari perpres tersebut, Tabroni menilai, esensi pemerintah pusat menerbitkan perpres tersebut adalah untuk melakukan penanganan pandemi korona dengan gotong royong. “Menyimak perpres itu, saya memandang bahwa pemerintah pusat mengajak semua instansi sampai ke level desa untuk bersama-sama melakukan penanganan pada pandemi,” katanya.
Meski demikian, Tabroni memandang keluhan para kades cukup masuk akal. Pemdes di sisi lain dituntut untu membangun desa, sementara DD yang dapat dikelola hanya 32 persen. “Nah, ini pemerintah desa tentu kesulitan. DD 32 persen itu mereka menilai terlalu kecil dan bingung apa yang akan diperbuat,” ucapnya.
Perpres tersebut menjadi keputusan pemerintah pusat atau presiden. Akan tetapi, lanjut Tabroni, aspirasi kades memang perlu didengar agar ada jalan tengah. Misalnya, perpres hanya diberlakukan khusus tahun 2022, dan sejak 2023 seratus persen untuk pembangunan desa. “Atau juga, porsi penanganan pandemi, BLT, dan ketahanan pangan hewani dari DD tidak sebesar itu. Ini memang dilema,” ulasnya.
Secara kelembagaan, menurut Tabroni, Komisi A akan membahas atau mendiskusikannya. “Ini terjadi di seluruh Indonesia, karena aturannya perpres. Meski begitu, kami akan tetap diskusi dengan anggota desa di Komisi A,” tegasnya.
Sekadar informasi, sejumlah kepala desa di Jember juga berencana melakukan aksi damai. Rencana tersebut tersebar di sejumlah media sosial, termasuk WhatsApp. Aksi yang belum terjadi itu mempersoalkan Perpres 104 Tahun 2021 yang mengatur 68 persen DD sudah ada alokasi penggunaannya.
Reporter : Nur Hariri/Radar Jember
Fotografer :
Editor : Lintang Anis Bena Kinanti/Radar Jember