SUMBERSARI, RADARJEMBER.ID – Angka pernikahan dini di Jember cukup tinggi. Dalam rentang Januari hingga awal Oktober 2021, tercatat ada 962 putusan dispensasi kawin bagi anak di bawah usia 19 tahun yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama (PA) Jember. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tren perkawinan di bawah umur ini mengalami peningkatan. Pada 2020 sebanyak 1.442 perkara, tahun 2019 tercatat 332 perkara, dan pada 2018 ada 132 perkara yang diputus.
Jika ditelisik lebih jauh, tingginya angka perkawinan dini tersebut ternyata tak hanya disumbang dari kawasan perdesaan. Tapi, juga kecamatan yang masuk wilayah kota. Enam jurnalis warga Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember bersama Madani melaporkan untuk Jawa Pos Radar Jember. Mereka mengumpulkan data sekaligus menelusuri jumlah kasus dan faktor dominan yang memengaruhi hal itu. Mereka memilih Kecamatan Sumbersari, satu dari tiga kecamatan kota yang ada di Jember.
Data Kantor Urusan Agama (KUA) Sumbersari mengonfirmasi tingginya jumlah anak yang menikah sejak Januari hingga awal Oktober ini. Selama sembilan bulan terakhir, tercatat ada 34 anak di bawah 19 tahun yang mengajukan dispensasi kawin. Dari angka itu, mayoritas berusia 17 tahun dengan jumlah 16 anak, disusul berusia 18 tahun 11 anak, usia 16 tahun 5 anak, dan ada juga yang masih berusia 15 dan 14 tahun yang masing-masing berjumlah satu anak. Semua dispensasi kawin tersebut diajukan oleh keluarga anak perempuan.
Kepala KUA Sumbersari Isnan HM menjelaskan, lingkungan sosial dan kondisi geografis sering kali berhubungan erat dengan perkawinan anak. Pengaruh lingkungan menjadi pendorong bagi remaja menikah di usia muda. Selain itu, perilaku pacaran yang terlalu berisiko. Ditambah selama masa pandemi Covid-19, tiadanya aktivitas belajar di sekolah juga menjadi peluang bagi remaja bebas bergaul. Ujung-ujungnya, mereka dinikahkan sebelum waktunya. “Ada dua kelurahan yang menjadi penyumbang terbesar atau kantong perkawinan di bawah usia 19 tahun. Yakni Kelurahan Wirolegi dan Antirogo,” jelas Isnan.
Data yang dikeluarkan KUA Sumbersari menunjukkan, di Kelurahan Wirolegi ada 13 anak yang mendapat dispensasi kawin. Jumlah ini paling besar dibanding kelurahan yang lain. Selanjutnya, disusul Kelurahan Antirogo yang tercatat 8 anak. Sisanya, tersebar di beberapa kelurahan lain. Seperti Kelurahan Sumbersari, Kebonsari, Tegalgede, Kranjingan, dan Karangrejo.
Sebenarnya, Isnan mengungkapkan, KUA telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi angka pernikahan dini. Misalnya dengan menyarankan agar orang tua menunda perkawinan hingga anak berusia cukup, hingga membuat program Pusaka Sakinah atau Pusat Layanan Keluarga Sakinah. “Pusaka Sakinah adalah program nasional yang dimulai pada 2019. Ada 100 KUA sebagai piloting untuk keluarga sakinah. Salah satunya di Jember, yakni Kecamatan Sumbersari,” katanya.
Program ini bertujuan untuk pembinaan pascanikah yang diikuti oleh para perempuan yang menikah di usia muda. Diharapkan, bagi anak yang telanjur menikah di usia muda, mereka memiliki kesiapan mental dalam mengarungi bahtera rumah tangga. “Harapannya, kedua mempelai menjadi langgeng tanpa ada perceraian ataupun kekerasan dalam rumah tangga,” tuturnya.
Tingginya jumlah anak di kecamatan kota ini menjadi keprihatinan tersendiri. Terlebih, menikah di usia yang belum cukup umur juga memiliki dampak yang lain. Seperti angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi (AKB), stunting, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bisa disebut, pernikahan dini menjadi hulu dari hilir berbagai kasus tersebut. Sebab, berhubungan dengan kesiapan ibu saat masa kehamilan, melahirkan, hingga pengasuhan anak. Organ reproduksi dan kedewasaan mental mereka belum siap.
Data Dinas Kesehatan Jember mencatat, sepanjang 2021 ini ada 103 kasus AKI dan 295 kasus AKB. Dan Kecamatan Sumbersari menjadi wilayah penyumbang dengan jumlah 4 kasus AKI dan 14 kasus AKB. Dari berbagai catatan ini, yang paling dirugikan oleh dampak pernikahan dini adalah perempuan.
Kepada Jawa Pos Radar Jember, Camat Sumbersari Iswandi mengungkapkan, daerah miskin berpotensi sebagai penyumbang tingginya angka stunting, AKI, AKB, dan pernikahan dini di wilayahnya. Dia menyatakan, untuk mengatasi hal itu pihaknya menggerakkan segenap pemangku kepentingan, seperti KUA, babinsa, bhabinkamtibmas, RT, puskesmas, kader posyandu, serta tokoh masyarakat dan tokoh agama. Hanya, pandemi Covid-19 menjadi tantangan tersendiri, karena sosialisasi dan edukasi yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka, sekarang sudah tidak bisa dilakukan lagi.
Saat ditanya tentang akar masalah itu, Iswandi memaparkan, kuncinya ada pada dua hal. Ekonomi dan pendidikan. Sebab, dua faktor ini saling terkait dan berkelindan. Ada kecenderungan warga yang miskin tingkat pendidikannya rendah, dan sebaliknya. “Untuk menanganinya memang harus komprehensif. Tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Namun, akar dari itu semua yang perlu diperhatikan adalah perekonomian keluarga dan pendidikan,” paparnya.
Hamil Sebelum Nikah
SELAIN faktor budaya, ekonomi, dan pendidikan, kasus hamil pranikah juga menjadi faktor lain terjadinya perkawinan di bawah umur. Kasus ini ditemukan di Kelurahan Karangrejo. Dari dua anak perempuan yang mendapatkan dispensasi nikah, keduanya telah berbadan dua. Masing-masing berusia 16 dan 17 tahun.
Lurah Karangrejo Mohamad Syafi’i mengatakan, kasus pernikahan dini yang terjadi di wilayahnya disebabkan oleh hamil sebelum nikah. Pihaknya memastikan tidak akan memberikan izin apabila terdapat pengajuan pernikahan yang masih di bawah usia 19 tahun. Faktor lain yang juga menjadi penyebab adalah budaya tunangan dan nikah siri.
Syafii mengklaim bahwa di wilayahnya telah melibatkan remaja untuk menyosialisasikan pencegahan pernikahan dini. Hal ini ditandai dengan adanya Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) dan karang taruna. Namun, keterlibatan remaja dalam penyuluhan sebaya mengenai pernikahan dini vakum sejak pandemi. Oleh karena itu, posyandu menjadi garda terdepan di wilayah Karangrejo untuk penyuluhan mengenai pencegahan pernikahan dini dan kesehatan ibu hamil serta bayi baru lahir.
Iswati, Ketua RT 02 RW 15 Lingkungan Pelindu, Kelurahan Karangrejo, yang juga seorang kader posyandu, mengatakan, pola penyuluhan posyandu di masa pandemi memang tidak sama dengan sebelumnya. Saat ini, pihaknya berkunjung langsung ke rumah-rumah warga. Selain untuk mencegah adanya gizi buruk dan memantau kondisi ibu hamil, kesempatan itu juga digunakan untuk sosialisasi tentang pendewasaan usia nikah. “Selama ini, tidak ada penolakan dari warga saat melakukan kunjungan rumah,” ucapnya.
Aktifkan Kegiatan Remaja
SEBAGAI salah satu penyumbang terbesar angka perkawinan dini, Kelurahan Wirolegi tak bisa tinggal diam. Pemerintah kelurahan perlu melibatkan generasi muda, terutama remaja, sebagai garda terdepan penanganan pernikahan di bawah umur. Apalagi di kelurahan ini juga ada bocah yang baru berusia 14 dan 15 tahun yang sudah dinikahkan. Pengaktifan kegiatan keremajaan ini diharapkan dapat mengurangi dan menekan jumlah anak yang kawin sebelum waktunya.
Sekretaris Kelurahan Wirolegi Nur Aini menjelaskan, kasus pernikahan dini di wilayahnya kebanyakan berada di Lingkungan Sumberejo dan Kaliwining. Faktornya adalah tingkat pendidikan, budaya menjodohkan anak oleh orang tua, serta ekonomi. Sebab, mata pencaharian warga di dua lingkungan itu kebanyakan bertani dan sebagai buruh gudang. Wilayah geografis yang cenderung masuk ke perdesaan juga menjadi faktor lain.
Sejatinya, dia menambahkan, kegiatan kepemudaan dan keremajaan di wilayahnya cukup aktif. Ada organisasi karang taruna yang tak hanya berkecimpung di kegiatan sosial, tapi juga olahraga. Namun, dia mengakui masih ada lingkungan yang belum tersentuh kegiatan. Dan lingkungan inilah yang menjadi penyumbang tingginya angka pernikahan dini di kelurahan setempat. “Selain itu, kami juga melibatkan ibu-ibu PKK dan kader posyandu. Bahkan di beberapa forum pengajian, sosialisasi tentang pendewasaan usia nikah juga sudah disampaikan,” terangnya.
Reporter: Delfi Nihaya
Fotografer: Jurnalis Warga Gpp For Radar Jember
Editor: Mahrus Sholih