JEMBER, RADARJEMBER.ID – Matahari di atas kepala membuat Seniman memilih istirahat sejenak. Dia telah lama bergelantungan di bawah Gladak Kembar. Mengenakan rompi hijau terang, dia menunjukkan bagaimana dirinya bekerja membersihkan dan merawat rangka pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang melintang tepat di bawah jembatan.
Dia berdiri di seutas tambang yang biasanya dipakai nelayan. Tali itu diikat manual di tubuhnya sebagai pengaman. Dirinya tidak memakai alas kaki. “Sepatu ada dan disediakan, tapi tidak enak. Takut licin. Enak nggak pakai sepatu,” ucapnya. Sementara itu, teman Seniman yang berteduh di bawah jembatan terlihat memakai sabuk pengaman pinggang, sesuai dengan saran kesehatan dan keselamatan kerja (K3).
Ketua Asosiasi Ahli Kesehatan dan Keselamatan Kerja Konstruksi (A2K4) Jawa Timur Soeparno mengatakan, sebenarnya untuk K3 sudah diatur. “Peraturan K3 itu sudah lama. Sejak 1970 itu sudah ada,” katanya, belum lama ini.
Menurutnya, banyak pihak belum peduli tentang K3 tersebut. Bukan hanya pemberi kerja, tapi juga tenaga kerja itu sendiri. Melihat fenomena ini, dia mengartikan bahwa penegakan hukum tentang K3 belum maksimal. Apalagi pemerintah telah membikin peraturannya. Kata dia, keselamatan kerja juga sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 tentang Tenaga Kerja.
Soeparno menambahkan, pada 2015 lalu dirinya pernah melakukan audit dalam tata laksana sistem manajemen K3. Dia menyimpulkan bahwa proyek pekerjaan konstruksi dari atau yang mengerjakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih menyisakan 25 persen yang tidak sesuai K3. “Proyek pemerintah itu hanya 75 persen dalam penerapan K3,” katanya.
Sepengetahuan Soeparno, saat ini proyek pekerjaan dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU) lebih ketat lagi dalam penerapan K3. Artinya, K3 telah dimulai dari perencanaan, pekerjaan fisik, hingga ke tingkat pengawasan.
Sementara itu, kata Soeparno, justru paling jeblok adalah proyek swasta. Proyek pembangunan dari swasta, apakah itu pekerjaan hotel atau lainnya, penerapan K3 hanya sekitar 15-20 persen pada 2015 lalu. “Pembangunan hotel bertingkat dan pembangunan swasta banyak tak pakai K3,” paparnya.
Soeparno menyayangkan hal ini. Sebab, dinilainya tidak hanya lalai dalam penerapan K3, tapi saat ada kecelakaan kerja perusahaan yang mempekerjakan tersebut juga seolah-olah menutupi kejadian. “Mengapa kesannya ditutup-tutupi? Karena image perusahaan akan jelek. Image masyarakat juga menimbulkan banyak persepsi, bisa karena untuk tumbal dan lainnya,” pungkasnya.
Jurnalis : Dwi Siswanto
Fotografer : Dwi Siswanto
Redaktur : Mahrus Sholih