22.4 C
Jember
Wednesday, 31 May 2023

Tindak Tegas Truk “Bodong” Dengan Ini

Mobile_AP_Rectangle 1

SUMBERSARI, RADARJEMBER.ID – Keberadaan armada angkutan berat yang menunggak pajak terus mendapat sorotan. Bahkan ada yang meminta, pemerintah pusat, provinsi, maupun daerah selayaknya melakukan evaluasi dan menindak seluruh kendaraan yang tidak membayar pajak, tidak memperpanjang surat kendaraan, maupun yang mengangkut muatan melebihi tonase. Sebab, bila dibiarkan, maka hal itu akan merugikan masyarakat luas, termasuk merugikan pemerintah.

Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur M Satib menyampaikan, keberadaan kendaraan truk sempat menjadi bahasan di tingkat provinsi. Di mana, ada banyak truk bertonase berat yang sulit diketahui karena tidak adanya jembatan timbang. Apakah muatannya melebihi ketentuan atau melebihi kekuatan kendaraan kini sering terabaikan? “Kendaraan yang jalannya sangat pelan di jalan nasional, provinsi, maupun kabupaten itu saja sangat merugikan banyak pihak. Dengan dinas terkait, ini sempat kami bahas agar ada penindakan tegas,” kata Satib.

Truk tebu misalnya, menurut Satib, juga dapat diprediksi apakah melebihi tonase atau tidak. Di sejumlah tempat, truk tebu memang kerap terguling dan mengganggu banyak pengendara. “Ini perlu tindakan agar truk tidak dipaksakan mengangkut barang yang melebihi muatan,” ucapnya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Di sisi lain, Satib juga menyebut, banyak truk tebu yang tidak membayar pajak kendaraan, serta surat-suratnya tidak diperpanjang. “Kebetulan kalau pajak tidak di komisi saya. Tetapi, dalam bahasan mitra kerja kami dengan Dishub, hal ini saling terkait. Bagaimanapun, semua kendaraan secara umum wajib bayar pajak, termasuk truk tebu,” jelasnya.

Mantan Ketua DPC Partai Gerindra Jember itu menyatakan, perlu ada tindakan tegas dari sejumlah instansi terkait dengan semangat memberi pembinaan, memberi efek jera, serta penertiban demi kepentingan umum. Truk tebu maupun kendaraan besar pada umumnya, wajib bayar pajak dan tidak merugikan pengendara lain saat di jalan. Kalau hal itu tidak dilakukan, maka pemerintah akan rugi pajak, mengganggu pengendara lain, serta aspal terus merotol akibat tonase yang berlebihan.

Dengan demikian, instansi terkait diharapkan bersinergi untuk menindaknya. “Bapenda, Dishub, serta kepolisian bisa turun melakukan operasi bersama. Jadi, sekali menindak, semua tertangani. Baik urusan pajaknya, gangguannya, maupun pelanggarannya,” ucap Satib.

Pembinaan dan penertiban melalui operasi gabungan itu pun dapat dilakukan secara berkala. Misalnya sebulan sekali, tiga bulan, atau paling tidak sekali atau dua kali dalam setahun. “Kalau operasi gabungan digalakkan, truk tebu yang sudah mati pelat nomornya akan mikir ulang untuk jalan. Dengan begitu, mereka dibina agar mengurus surat dan membayar pajak,” pungkas Satib.

Beri Punishment

Banyaknya truk muatan tebu yang menunggak pajak dan dalam beberapa tahun menyebabkan adanya lost tax. Hal ini berpotensi terjadi selisih antara penerimaan pajak dengan kebutuhan anggaran. Imbasnya, pendapatan asli daerah (PAD) bisa mengalami penurunan. Dalam jangka panjang, bisa menghambat pembangunan.

Pakar ekonomi makro sekaligus ahli perpajakan Universitas Jember (Unej), Ciplis Gema Qoriah, memaparkan, jika potensi pajak daerah berkurang, maka jember masih membutuhkan suntikan pajak dari pusat. “Ketergantungannya akan besar karena PAD berkurang dari kendaraan yang tidak membayar pajak,” ungkap Ciplis, kemarin (16/10).

Menurut dia, ada dua faktor yang menyebabkan seseorang atau pihak tertentu enggan membayar pajak. Pertama, adanya keinginan untuk tidak mengurangi disposable income (pendapatan yang siap dibelanjakan). Faktor ini umum terjadi di tataran pengusaha daerah hingga skala nasional. Biasanya keuntungan perusahaan tersebut akan diparkir di negara lain yang lebih aman pengaturan keuangannya. “Bisa jadi masyarakat kurang percaya dengan pengelolaan pajak negara. Sehingga lebih baik memarkir keuntungan di negara lain yang lebih aman,” tutur dosen Ekonomi Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Unej itu.

Kedua, dia menambahkan, adanya keinginan untuk bisa menambah modal dari pajak yang seharusnya dibayarkan. Sehingga yang bersangkutan tidak lagi mengutang untuk menambah jumlah produksi. Untuk mengatasi itu, dia menyarankan, pemerintah dan aparat penegak hukum harus berkolaborasi untuk menciptakan masyarakat tertib membayar pajak. Salah satunya adalah melakukan integrasi data secara elektronik, pemutakhiran data antara pemerintah daerah, pemerintah provinsi, dan samsat.

Jika hal itu dilakukan, Ciplis meyakini, semua pemangku kepentingan yang terlibat dapat mengantongi data pelanggaran. Selain itu, perlu adanya komitmen hukuman yang membuat efek jera. Misalnya, peniadaan layanan administrasi jika pajak tidak dibayar lebih dari dua tahun. “Konsekuensinya, jika terjadi sesuatu pada kendaraan tersebut, maka pihak berwajib tidak bisa atau secara hukum akan lemah untuk mem-follow up. Atau tidak bisa dilindungi secara hukum,” ungkapnya.

Dosen lulusan Universitas Georg August Geottingen Brithania Raya ini mengungkapkan, sejatinya persoalan ini dapat diatasi melalui implementasi Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan belakangan ini. Regulasi yang sebelumnya bernama UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ini mengatur sejumlah aturan baru perpajakan sebagai salah satu cara pemerintah mereformasi sistem perpajakan.

Beberapa aturan tersebut meliputi pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (OP), PPh badan, pengampunan pajak (tax amnesty), hingga penghapusan tarif pajak minimum untuk perusahaan merugi. “Integrasi satu data akan memperkuat basis pajak. Sebaiknya implementasinya dimulai awal. Itu akan lebih baik daripada terlambat,” pungkasnya.

 

Evaluasi Mekanisme Pemutihan

Berjibunnya truk bodong alias yang tidak membayar pajak sebenarnya bukan hal baru. Sejak dulu, praktik semacam ini sudah ada. Pemerintah daerah, baik tingkat kabupaten maupun provinsi, biasanya akan mengeluarkan kebijakan pemutihan. Mulai dari penghapusan denda keterlambatan pembayaran pajak, hingga peniadaan bea balik nama kendaraan. Hal ini untuk mengurangi jumlah kendaraan bodong, sekaligus menyedot dana pajak dari rakyat.

Ahli Ekonomi Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, Daru Andono, menilai, hingga saat ini pelayanan pemutihan belum maksimal. Sebab, belum menjangkau masyarakat keseluruhan. “Di Jawa Timur yang sudah ada pemutihan, masih banyak yang tidak membayar pajak. Itu tidak menjangkau semuanya,” katanya.

Seharusnya, kata dia, kebijakan mengakomodasi pajak itu juga dibarengi dengan sosialisasi pada masyarakat secara luas mengenai pajak kendaraan yang menunggak lebih dari tiga tahun. Selain itu, seharusnya juga ada mekanisme pemutihan kendaraan yang sudah bertahun-tahun tidak membayar pajak. “Yang lebih penting mekanisme pemutihan. Bagaimana orang yang berniat melakukan pemutihan kendaraan masuk dalam catatan,” imbuhnya.

Selain itu, menurut dia, pandemi menjadi salah satu penyebab banyaknya kendaraan bodong. Kondisi ekonomi masyarakat yang anjlok menyebabkan kemauan membayar pajak menurun. Hal ini jelas akan menimbulkan tax lost. Meski dalam praktiknya perhitungan tax lost bisa berbeda antara Polda Jatim dan Dispenda Jatim. Sebab, ada perbedaan asumsi penerimaan pajak lantaran lemahnya proses pendataan.

Reporter : Nur Hariri dan Dian Cahyani

Fotografer : Juma’i

Editor : Mahrus Sholih

- Advertisement -

SUMBERSARI, RADARJEMBER.ID – Keberadaan armada angkutan berat yang menunggak pajak terus mendapat sorotan. Bahkan ada yang meminta, pemerintah pusat, provinsi, maupun daerah selayaknya melakukan evaluasi dan menindak seluruh kendaraan yang tidak membayar pajak, tidak memperpanjang surat kendaraan, maupun yang mengangkut muatan melebihi tonase. Sebab, bila dibiarkan, maka hal itu akan merugikan masyarakat luas, termasuk merugikan pemerintah.

Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur M Satib menyampaikan, keberadaan kendaraan truk sempat menjadi bahasan di tingkat provinsi. Di mana, ada banyak truk bertonase berat yang sulit diketahui karena tidak adanya jembatan timbang. Apakah muatannya melebihi ketentuan atau melebihi kekuatan kendaraan kini sering terabaikan? “Kendaraan yang jalannya sangat pelan di jalan nasional, provinsi, maupun kabupaten itu saja sangat merugikan banyak pihak. Dengan dinas terkait, ini sempat kami bahas agar ada penindakan tegas,” kata Satib.

Truk tebu misalnya, menurut Satib, juga dapat diprediksi apakah melebihi tonase atau tidak. Di sejumlah tempat, truk tebu memang kerap terguling dan mengganggu banyak pengendara. “Ini perlu tindakan agar truk tidak dipaksakan mengangkut barang yang melebihi muatan,” ucapnya.

Di sisi lain, Satib juga menyebut, banyak truk tebu yang tidak membayar pajak kendaraan, serta surat-suratnya tidak diperpanjang. “Kebetulan kalau pajak tidak di komisi saya. Tetapi, dalam bahasan mitra kerja kami dengan Dishub, hal ini saling terkait. Bagaimanapun, semua kendaraan secara umum wajib bayar pajak, termasuk truk tebu,” jelasnya.

Mantan Ketua DPC Partai Gerindra Jember itu menyatakan, perlu ada tindakan tegas dari sejumlah instansi terkait dengan semangat memberi pembinaan, memberi efek jera, serta penertiban demi kepentingan umum. Truk tebu maupun kendaraan besar pada umumnya, wajib bayar pajak dan tidak merugikan pengendara lain saat di jalan. Kalau hal itu tidak dilakukan, maka pemerintah akan rugi pajak, mengganggu pengendara lain, serta aspal terus merotol akibat tonase yang berlebihan.

Dengan demikian, instansi terkait diharapkan bersinergi untuk menindaknya. “Bapenda, Dishub, serta kepolisian bisa turun melakukan operasi bersama. Jadi, sekali menindak, semua tertangani. Baik urusan pajaknya, gangguannya, maupun pelanggarannya,” ucap Satib.

Pembinaan dan penertiban melalui operasi gabungan itu pun dapat dilakukan secara berkala. Misalnya sebulan sekali, tiga bulan, atau paling tidak sekali atau dua kali dalam setahun. “Kalau operasi gabungan digalakkan, truk tebu yang sudah mati pelat nomornya akan mikir ulang untuk jalan. Dengan begitu, mereka dibina agar mengurus surat dan membayar pajak,” pungkas Satib.

Beri Punishment

Banyaknya truk muatan tebu yang menunggak pajak dan dalam beberapa tahun menyebabkan adanya lost tax. Hal ini berpotensi terjadi selisih antara penerimaan pajak dengan kebutuhan anggaran. Imbasnya, pendapatan asli daerah (PAD) bisa mengalami penurunan. Dalam jangka panjang, bisa menghambat pembangunan.

Pakar ekonomi makro sekaligus ahli perpajakan Universitas Jember (Unej), Ciplis Gema Qoriah, memaparkan, jika potensi pajak daerah berkurang, maka jember masih membutuhkan suntikan pajak dari pusat. “Ketergantungannya akan besar karena PAD berkurang dari kendaraan yang tidak membayar pajak,” ungkap Ciplis, kemarin (16/10).

Menurut dia, ada dua faktor yang menyebabkan seseorang atau pihak tertentu enggan membayar pajak. Pertama, adanya keinginan untuk tidak mengurangi disposable income (pendapatan yang siap dibelanjakan). Faktor ini umum terjadi di tataran pengusaha daerah hingga skala nasional. Biasanya keuntungan perusahaan tersebut akan diparkir di negara lain yang lebih aman pengaturan keuangannya. “Bisa jadi masyarakat kurang percaya dengan pengelolaan pajak negara. Sehingga lebih baik memarkir keuntungan di negara lain yang lebih aman,” tutur dosen Ekonomi Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Unej itu.

Kedua, dia menambahkan, adanya keinginan untuk bisa menambah modal dari pajak yang seharusnya dibayarkan. Sehingga yang bersangkutan tidak lagi mengutang untuk menambah jumlah produksi. Untuk mengatasi itu, dia menyarankan, pemerintah dan aparat penegak hukum harus berkolaborasi untuk menciptakan masyarakat tertib membayar pajak. Salah satunya adalah melakukan integrasi data secara elektronik, pemutakhiran data antara pemerintah daerah, pemerintah provinsi, dan samsat.

Jika hal itu dilakukan, Ciplis meyakini, semua pemangku kepentingan yang terlibat dapat mengantongi data pelanggaran. Selain itu, perlu adanya komitmen hukuman yang membuat efek jera. Misalnya, peniadaan layanan administrasi jika pajak tidak dibayar lebih dari dua tahun. “Konsekuensinya, jika terjadi sesuatu pada kendaraan tersebut, maka pihak berwajib tidak bisa atau secara hukum akan lemah untuk mem-follow up. Atau tidak bisa dilindungi secara hukum,” ungkapnya.

Dosen lulusan Universitas Georg August Geottingen Brithania Raya ini mengungkapkan, sejatinya persoalan ini dapat diatasi melalui implementasi Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan belakangan ini. Regulasi yang sebelumnya bernama UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ini mengatur sejumlah aturan baru perpajakan sebagai salah satu cara pemerintah mereformasi sistem perpajakan.

Beberapa aturan tersebut meliputi pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (OP), PPh badan, pengampunan pajak (tax amnesty), hingga penghapusan tarif pajak minimum untuk perusahaan merugi. “Integrasi satu data akan memperkuat basis pajak. Sebaiknya implementasinya dimulai awal. Itu akan lebih baik daripada terlambat,” pungkasnya.

 

Evaluasi Mekanisme Pemutihan

Berjibunnya truk bodong alias yang tidak membayar pajak sebenarnya bukan hal baru. Sejak dulu, praktik semacam ini sudah ada. Pemerintah daerah, baik tingkat kabupaten maupun provinsi, biasanya akan mengeluarkan kebijakan pemutihan. Mulai dari penghapusan denda keterlambatan pembayaran pajak, hingga peniadaan bea balik nama kendaraan. Hal ini untuk mengurangi jumlah kendaraan bodong, sekaligus menyedot dana pajak dari rakyat.

Ahli Ekonomi Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, Daru Andono, menilai, hingga saat ini pelayanan pemutihan belum maksimal. Sebab, belum menjangkau masyarakat keseluruhan. “Di Jawa Timur yang sudah ada pemutihan, masih banyak yang tidak membayar pajak. Itu tidak menjangkau semuanya,” katanya.

Seharusnya, kata dia, kebijakan mengakomodasi pajak itu juga dibarengi dengan sosialisasi pada masyarakat secara luas mengenai pajak kendaraan yang menunggak lebih dari tiga tahun. Selain itu, seharusnya juga ada mekanisme pemutihan kendaraan yang sudah bertahun-tahun tidak membayar pajak. “Yang lebih penting mekanisme pemutihan. Bagaimana orang yang berniat melakukan pemutihan kendaraan masuk dalam catatan,” imbuhnya.

Selain itu, menurut dia, pandemi menjadi salah satu penyebab banyaknya kendaraan bodong. Kondisi ekonomi masyarakat yang anjlok menyebabkan kemauan membayar pajak menurun. Hal ini jelas akan menimbulkan tax lost. Meski dalam praktiknya perhitungan tax lost bisa berbeda antara Polda Jatim dan Dispenda Jatim. Sebab, ada perbedaan asumsi penerimaan pajak lantaran lemahnya proses pendataan.

Reporter : Nur Hariri dan Dian Cahyani

Fotografer : Juma’i

Editor : Mahrus Sholih

SUMBERSARI, RADARJEMBER.ID – Keberadaan armada angkutan berat yang menunggak pajak terus mendapat sorotan. Bahkan ada yang meminta, pemerintah pusat, provinsi, maupun daerah selayaknya melakukan evaluasi dan menindak seluruh kendaraan yang tidak membayar pajak, tidak memperpanjang surat kendaraan, maupun yang mengangkut muatan melebihi tonase. Sebab, bila dibiarkan, maka hal itu akan merugikan masyarakat luas, termasuk merugikan pemerintah.

Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur M Satib menyampaikan, keberadaan kendaraan truk sempat menjadi bahasan di tingkat provinsi. Di mana, ada banyak truk bertonase berat yang sulit diketahui karena tidak adanya jembatan timbang. Apakah muatannya melebihi ketentuan atau melebihi kekuatan kendaraan kini sering terabaikan? “Kendaraan yang jalannya sangat pelan di jalan nasional, provinsi, maupun kabupaten itu saja sangat merugikan banyak pihak. Dengan dinas terkait, ini sempat kami bahas agar ada penindakan tegas,” kata Satib.

Truk tebu misalnya, menurut Satib, juga dapat diprediksi apakah melebihi tonase atau tidak. Di sejumlah tempat, truk tebu memang kerap terguling dan mengganggu banyak pengendara. “Ini perlu tindakan agar truk tidak dipaksakan mengangkut barang yang melebihi muatan,” ucapnya.

Di sisi lain, Satib juga menyebut, banyak truk tebu yang tidak membayar pajak kendaraan, serta surat-suratnya tidak diperpanjang. “Kebetulan kalau pajak tidak di komisi saya. Tetapi, dalam bahasan mitra kerja kami dengan Dishub, hal ini saling terkait. Bagaimanapun, semua kendaraan secara umum wajib bayar pajak, termasuk truk tebu,” jelasnya.

Mantan Ketua DPC Partai Gerindra Jember itu menyatakan, perlu ada tindakan tegas dari sejumlah instansi terkait dengan semangat memberi pembinaan, memberi efek jera, serta penertiban demi kepentingan umum. Truk tebu maupun kendaraan besar pada umumnya, wajib bayar pajak dan tidak merugikan pengendara lain saat di jalan. Kalau hal itu tidak dilakukan, maka pemerintah akan rugi pajak, mengganggu pengendara lain, serta aspal terus merotol akibat tonase yang berlebihan.

Dengan demikian, instansi terkait diharapkan bersinergi untuk menindaknya. “Bapenda, Dishub, serta kepolisian bisa turun melakukan operasi bersama. Jadi, sekali menindak, semua tertangani. Baik urusan pajaknya, gangguannya, maupun pelanggarannya,” ucap Satib.

Pembinaan dan penertiban melalui operasi gabungan itu pun dapat dilakukan secara berkala. Misalnya sebulan sekali, tiga bulan, atau paling tidak sekali atau dua kali dalam setahun. “Kalau operasi gabungan digalakkan, truk tebu yang sudah mati pelat nomornya akan mikir ulang untuk jalan. Dengan begitu, mereka dibina agar mengurus surat dan membayar pajak,” pungkas Satib.

Beri Punishment

Banyaknya truk muatan tebu yang menunggak pajak dan dalam beberapa tahun menyebabkan adanya lost tax. Hal ini berpotensi terjadi selisih antara penerimaan pajak dengan kebutuhan anggaran. Imbasnya, pendapatan asli daerah (PAD) bisa mengalami penurunan. Dalam jangka panjang, bisa menghambat pembangunan.

Pakar ekonomi makro sekaligus ahli perpajakan Universitas Jember (Unej), Ciplis Gema Qoriah, memaparkan, jika potensi pajak daerah berkurang, maka jember masih membutuhkan suntikan pajak dari pusat. “Ketergantungannya akan besar karena PAD berkurang dari kendaraan yang tidak membayar pajak,” ungkap Ciplis, kemarin (16/10).

Menurut dia, ada dua faktor yang menyebabkan seseorang atau pihak tertentu enggan membayar pajak. Pertama, adanya keinginan untuk tidak mengurangi disposable income (pendapatan yang siap dibelanjakan). Faktor ini umum terjadi di tataran pengusaha daerah hingga skala nasional. Biasanya keuntungan perusahaan tersebut akan diparkir di negara lain yang lebih aman pengaturan keuangannya. “Bisa jadi masyarakat kurang percaya dengan pengelolaan pajak negara. Sehingga lebih baik memarkir keuntungan di negara lain yang lebih aman,” tutur dosen Ekonomi Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Unej itu.

Kedua, dia menambahkan, adanya keinginan untuk bisa menambah modal dari pajak yang seharusnya dibayarkan. Sehingga yang bersangkutan tidak lagi mengutang untuk menambah jumlah produksi. Untuk mengatasi itu, dia menyarankan, pemerintah dan aparat penegak hukum harus berkolaborasi untuk menciptakan masyarakat tertib membayar pajak. Salah satunya adalah melakukan integrasi data secara elektronik, pemutakhiran data antara pemerintah daerah, pemerintah provinsi, dan samsat.

Jika hal itu dilakukan, Ciplis meyakini, semua pemangku kepentingan yang terlibat dapat mengantongi data pelanggaran. Selain itu, perlu adanya komitmen hukuman yang membuat efek jera. Misalnya, peniadaan layanan administrasi jika pajak tidak dibayar lebih dari dua tahun. “Konsekuensinya, jika terjadi sesuatu pada kendaraan tersebut, maka pihak berwajib tidak bisa atau secara hukum akan lemah untuk mem-follow up. Atau tidak bisa dilindungi secara hukum,” ungkapnya.

Dosen lulusan Universitas Georg August Geottingen Brithania Raya ini mengungkapkan, sejatinya persoalan ini dapat diatasi melalui implementasi Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan belakangan ini. Regulasi yang sebelumnya bernama UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ini mengatur sejumlah aturan baru perpajakan sebagai salah satu cara pemerintah mereformasi sistem perpajakan.

Beberapa aturan tersebut meliputi pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (OP), PPh badan, pengampunan pajak (tax amnesty), hingga penghapusan tarif pajak minimum untuk perusahaan merugi. “Integrasi satu data akan memperkuat basis pajak. Sebaiknya implementasinya dimulai awal. Itu akan lebih baik daripada terlambat,” pungkasnya.

 

Evaluasi Mekanisme Pemutihan

Berjibunnya truk bodong alias yang tidak membayar pajak sebenarnya bukan hal baru. Sejak dulu, praktik semacam ini sudah ada. Pemerintah daerah, baik tingkat kabupaten maupun provinsi, biasanya akan mengeluarkan kebijakan pemutihan. Mulai dari penghapusan denda keterlambatan pembayaran pajak, hingga peniadaan bea balik nama kendaraan. Hal ini untuk mengurangi jumlah kendaraan bodong, sekaligus menyedot dana pajak dari rakyat.

Ahli Ekonomi Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, Daru Andono, menilai, hingga saat ini pelayanan pemutihan belum maksimal. Sebab, belum menjangkau masyarakat keseluruhan. “Di Jawa Timur yang sudah ada pemutihan, masih banyak yang tidak membayar pajak. Itu tidak menjangkau semuanya,” katanya.

Seharusnya, kata dia, kebijakan mengakomodasi pajak itu juga dibarengi dengan sosialisasi pada masyarakat secara luas mengenai pajak kendaraan yang menunggak lebih dari tiga tahun. Selain itu, seharusnya juga ada mekanisme pemutihan kendaraan yang sudah bertahun-tahun tidak membayar pajak. “Yang lebih penting mekanisme pemutihan. Bagaimana orang yang berniat melakukan pemutihan kendaraan masuk dalam catatan,” imbuhnya.

Selain itu, menurut dia, pandemi menjadi salah satu penyebab banyaknya kendaraan bodong. Kondisi ekonomi masyarakat yang anjlok menyebabkan kemauan membayar pajak menurun. Hal ini jelas akan menimbulkan tax lost. Meski dalam praktiknya perhitungan tax lost bisa berbeda antara Polda Jatim dan Dispenda Jatim. Sebab, ada perbedaan asumsi penerimaan pajak lantaran lemahnya proses pendataan.

Reporter : Nur Hariri dan Dian Cahyani

Fotografer : Juma’i

Editor : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca