JAWA Pos Radar Jember mengumpulkan belasan pelat nomor armada pengangkut tebu. Mayoritas berjenis truk. Dari 16 pelat nomor kendaraan itu, kebanyakan memang menunggak pajak berdasarkan pengecekan informasi dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi. Tak hanya pajak yang telat, pelat nomornya juga ada yang mati. Belasan pelat nomor itu dikumpulkan dari truk yang sedang mengangkut tebu di lahan hingga di jalan-jalan.
Perinciannya, total ada 10 kendaraan yang berpelat nomor Jawa Timur dan tiga dari Bali. Sisanya, masing-masing dari Kalimantan Tengah (1), Jawa Tengah (1), dan Jawa Barat (1). Pelat nomor yang berasal dari luar Jatim ini rata-rata tidak ada informasi yang didapat berdasarkan pengecekan data di laman Bapenda masing-masing. Hanya Jawa Barat yang ada. Hasilnya, truk tersebut juga menunggak pajak lebih dari lima tahun.
Selain persoalan pajak, kondisi fisik truk juga demikian. Sudah tidak layak. Makanya, kerap ada peristiwa truk tebu terguling ketika melintas di jalan raya. Paling sering terjadi di kawasan jalur Gumitir, Kecamatan Silo. “Kalau truk tebu terguling itu tidak mesti di jalan rusak. Kadang di jalan poros yang tidak berlubang sama sekali. Truk tebu terguling itu apes saja,” ucap Rahmad Putra, sopir truk tebu asal Jatiroto, Lumajang.
Kalimat pembuka percakapan dengan Jawa Pos Radar Jember ia sampaikan belum lama ini. Dia menjawab pertanyaan tentang suka duka menjadi seorang sopir truk tebu. Selama ini, truk tebu seperti “raja jalanan”. Dengan kondisi truk yang tidak layak dan menunggak pajak, tetap aman-aman saja. Nyaris tidak pernah kena tilang. Rahmad mengaku tak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Yang jelas, dia mengaku, selama menjadi sopir truk tebu, sama sekali tidak pernah berurusan dengan polisi.
Mengendarai truk Fuso dan mengangkut tebu, Rahmad juga pernah mengalami kendaraannya terguling. Bahkan, sebelum masuk jalan raya, truk yang dia kemudikan sudah terguling. “Waktu hujan-hujan itu licin. Jadi, jalan di sawah kadang amblas,” ucapnya.
Rahmad pernah menjadi sopir truk gandeng tebu dan truk Fuso tebu. Kedua truk tersebut menurutnya punya karakter tersendiri, sehingga sopir harus paham sebelum mengemudikannya. Menurut dia, truk gandeng lebih rentan terguling daripada jenis Fuso.
Karakter jalan seperti apa yang diwaspadai sopir truk tebu agar tidak terguling? Kata dia, jalan menikung tajam dan miring. “Jalan menikung biasa tidak ada masalah, tapi menikung dan miring itu yang perlu hati-hati,” tuturnya.
Setiap sopir punya gaya tersendiri dalam menyelesaikan jalan menikung dan miring. Namun, untuk Rahmad lebih memilih menaikkan kecepatan daripada terlalu pelan. “Enak banter. Kalau pelan-pelan rawan terguling. Apalagi kalau truk gandeng,” urainya.
Apakah pernah ditilang polisi? Rahmad mengaku pernah. Tapi, ketika mengangkut material bangunan ke Probolinggo, bukan saat mengangkut tebu. Sepanjang karirnya mengangkut tebu, dia tidak pernah tertilang sama sekali. “Baru saja ketilang, karena tidak pakai sabuk pengaman. Bukan kirim tebu, tapi material di Probolinggo,” katanya.
Sementara waktu, Rahmad beralih menjadi sopir material bangunan. Sebab, PG Semboro telah tutup giling. Biasanya, ketika musim giling di PG Semboro, dia menjadi sopir musiman dengan mengangkut bahan baku gula tersebut. “Yang buka sekarang hanya Jatiroto. Semboro sudah tutup,” ucapnya.
Rahmad tidak tahu persis kenapa selama menjadi sopir truk tebu dirinya tidak pernah kena tilang. Padahal, para sopir juga tidak pernah kena pungut sebagai biaya “pengamanan jalan”. Kondisi berbeda justru terjadi pada truk materialan. Dia mengaku, untuk truk material ada semacam paguyuban sopir truk dan ada iuran per bulan untuk diberikan ke oknum aparat. “Kalau truk tebu tidak ada paling,” ujarnya.
Rahmad menduga, polisi jarang menilang truk tebu karena jarak dan waktu tempuhnya hanya singkat. Selain itu, masanya juga musiman. Hanya ada ketika musim giling tiba. Sedangkan truk material terus ada. Tak mengenal waktu dan musim. Jarak tempuhnya terkadang juga jauh. Padahal, dia mengakui, banyak sekali kendaraan angkut tebu ini yang menunggak pajak. Bahkan, pelat nomor dan izin KIR-nya juga mati. “Kalau truk material tidak semuanya mati. Tapi, kalau tebu kemungkinan besar banyak yang mati. Kan tidak jalan jauh,” terangnya.
Truk material yang sekarang dikemudikan Rahmad untuk pajak dan pelat nomornya hidup. “KIR-nya mati, tapi masih proses perpanjangan,” ungkapnya. Dia mengaku, walau mengemudikan truk tebu yang pajak, pelat nomor, hingga masa berlakunya KIR habis atau mati, namun sebagai sopir, ia tetap mengedepankan keselamatan. “Sopir itu tahu, kalau truknya tidak enak sedikit langsung diservis. Semua sopir tidak ingin terjadi apa-apa di jalan, termasuk terguling,” paparnya.
Sementara itu, Arif Ashar, warga Tanggul pemilik dump truck untuk material, mengatakan, ada paguyuban dan ada uang iuran setiap bulan sebesar Rp 50 ribu. Uang tersebut disetor ke oknum polisi. “Bukan bebas tilang. Tetap ditilang, tapi yang ambil tilangan dan membayar adalah oknum polisi. Jadi, memakai uang untuk menebus tilang itu berasal dari iuran per bulan paguyuban,” ucapnya.
Bila hanya tilang kecil-kecilan, rata-rata lolos. Namun, ketika ada razia gabungan, kalau tidak lengkap pasti kena tilang. “Kalau tilang kecil-kecilan biasanya tidak, karena ada kodenya,” ungkapnya.
Kodenya, menurut Arif, setiap paguyuban berbeda-beda. Salah satunya ada sebuah stiker yang menandakan truk material tersebut ikut paguyuban. Dia mengaku, pajak truknya telah mati, begitu pula pelat nomor dan KIR. “Pelat nomornya buat lagi. Diganti tahunnya saja,” tuturnya.
Dia mengaku, untuk uji KIR sejatinya cukup penting untuk mengetahui lebih detail bagaimana kondisi truknya. Tapi, dirinya memilih menghindari KIR, karena takut membayar lebih banyak lagi. “Kalau uji KIR, nanti ketahuan semua dan bayar semua. Pajak dan pelat nomor,” terangnya.
Walau begitu, dia yakin kondisi truknya masih prima. Sebab, biasanya jika merasa ada masalah sedikit, dia segera ke bengkel. Sebagai pemilik truk, dia tidak ingin terjadi kecelakaan atau lainnya. Karena itu, truk harus dalam kondisi bagus.
Pria 35 tahun ini mengaku, kondisi truk tidak uji KIR, pajak mati, hingga pelat nomor mati adalah hal yang tidak sesuai peraturan. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa dan mengikuti kondisi yang ada saja. “Dari dulu ya seperti ini,” ucapnya. Sekitar 5-6 tahun berbisnis truk, kondisi demikian sudah terjadi.
Bila berbicara kecurangan, menurut dia, semua curang. “Kalau semua tidak curang, tidak ada truk itu melintas di jalan. Karena tonase atau beban truk itu melebihi kekuatan jalan,” terangnya.
Tonase yang berlebih juga membuat jalan cepat rusak. Akibatnya, juga rentan terjadi kecelakaan ataupun terguling. “Paling tepat ya ada timbangan, tapi tidak semua ada timbangan. Jalur saya saja tidak pernah lewat jembatan timbang. Apalagi jembatan timbang sekarang tidak aktif lagi,” ucapnya.
Pertanyaan Arif, bila jembatan timbang aktif dan diketahui truk melebihi beban, apakah tetap jalan atau bagaimana? “Ya, serba repot semua. Harus bagaimana lagi,” pungkasnya.
Kesulitan Mengontrol
Sejatinya, keberadaan truk tebu ini meresahkan pengguna jalan. Khawatir tertimpa karena kendaraan angkut bahan baku gula tersebut selalu kelebihan muatan. Hanya, jarang sekali ada tindakan dari aparat kepolisian atau Dinas Perhubungan. Dua institusi yang memiliki kewenangan ini terkesan tutup mata. Benarkah demikian?
Kasat Lantas Polres Jember AKP Enggarani Laufria menjelaskan, dari berbagai catatan kecelakaan yang dihimpun oleh kepolisian, rata-rata disebabkan kelalaian pengguna jalan. Seperti tak memiliki SIM, melawan arus, kendaraan tak standar, dan sebagainya.
Karena itu, untuk mendisiplinkan pengguna jalan dan kendaraannya itu, polisi sering melakukan patroli. “Patroli itu tiap hari, tengah malam biasanya razia balap liar, knalpot brong, dan lainnya yang memang diduga ada pelanggaran atau meresahkan,” jelas Enggar.
Terkhusus kendaraan besar seperti truk pengangkut tebu, lanjut dia, juga tak luput dari patroli kepolisian. Bentuk patroli itu dilakukan secara langsung. “Saat petugas patroli mendapati sebuah kendaraan besar yang dirasa membahayakan, seketika itu dihentikan. Diminta kelengkapan surat-surat pengemudi dan kendaraannya,” kata Enggar saat ditemui Jawa Pos Radar Jember di ruangannya, Jumat (15/10).
Kendati begitu, giat patroli tersebut berbeda dengan razia yang dikonsep ke sejumlah titik tertentu dengan cara memberhentikan semua kendaraan besar. Biasanya untuk dicek kelengkapan dokumen pengemudi dan kendaraan secara bergantian.
Meski sebelum pandemi sempat ada razia kendaraan besar seperti itu, namun untuk saat ini belum bisa dilakukan karena masih pagebluk. “Bisa kembali dilakukan. Kami masih menunggu petunjuk dan arahan dari satuan di atas,” ulasnya.
Lebih jauh, perempuan yang baru satu bulan menjabat Kasat Lantas Polres Jember ini juga membenarkan, sebenarnya truk-truk besar atau kendaraan bertonase besar itu berisiko tinggi, sekaligus berpotensi lebih besar menimbulkan kerusakan jalan. Sebab, ada beberapa kelas jalan yang tak semestinya dilewati truk bermuatan berat, namun tetap diterabas.
Karena itu, dalam pengawasan dan penindakan, perlu dilakukan dengan instansi terkait atau mitra. Muaranya, membangun kepatuhan pengguna jalan, kelayakan kendaraan, hingga perlindungan pengguna jalan.
Semua itu diakuinya perlu melibatkan berbagai pihak. Seperti dari unsur polisi, mengarahkan untuk tertib berlalu lintas, lalu Jasa Raharja terkait klaim kecelakaan lalu lintas, dan Bapenda terkait pajak kendaraan. “Dari pengawasan, penindakan, dan perlindungan itu jelas melibatkan beberapa unsur-unsur mitra,” imbuhnya.
Dalam catatan kepolisian juga disebutkan, selama September kemarin, terdapat dua kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan besar. Pertama, antara truk Fuso dengan Avanza di sekitar Gumitir, jalur Jember-Banyuwangi. Kedua, laka antara truk molen dengan sepeda motor di Pakusari yang merenggut nyawa pengendara motor. Angka terbanyak justru disumbangkan oleh kendaraan roda dua. Dalam satu bulan, jumlahnya relatif mencapai 30–50 kasus kecelakaan.
Berkaitan dengan kelayakan kendaraan pengangkut tersebut, Plt Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Jember Siswanto menuturkan, operasi penindakan semacam itu memang pernah dilakukan. Namun, sebelum pandemi dengan melibatkan unsur mitra, yakni satlantas. “Selama pandemi, operasi penindakan itu berkurang. Kami akan koordinasikan lagi terkait pengendalian dan pengawasan itu,” bebernya saat ditemui Jawa Pos Radar Jember, belum lama ini.
Selain itu, salah satu kendala yang juga menjadi kesulitan dalam mengontrol tonase kendaraan karena tidak berfungsinya jembatan timbang, yang unit pelaksana teknisnya kini beralih kewenangan di provinsi. Padahal, jembatan timbang itu fungsinya sangat penting untuk kesesuaian tingkat tonase kendaraan dengan tipe-tipe kelas jalan.
Siswanto menjelaskan, sebenarnya secara aturan atau regulasi, Dishub berada di wilayah sosialisasi, pembinaan, dan pencegahan terhadap kendaraan roda empat. Salah satunya melalui UPT pengujian KIR yang berlokasi di Kaliwates. “Meski aset tanahnya itu milik provinsi, alat-alatnya itu milik kami (Pemkab Jember, Red),” sambungnya.
Dia juga memaparkan, beberapa kendaraan besar, seperti truk tebu, juga sempat melakukan uji KIR oleh beberapa pemilik truk tebu. Namun, dirinya tidak paham persis berapa jumlah terakhir kendaraan truk tersebut.
Meski pengujian KIR itu masih berjalan dan dilakukan, ada cukup banyak kendaraan truk, dan kegunaannya tidak semua untuk mengangkut tebu. “Sekarang tebu, besok bisa ngangkut yang lain. Jadi, sulit ditemukan truk khusus tebu itu,” pungkasnya.
Reporter : Dwi Siswanto dan Maulana
Fotografer : Humas Satlantas For Radar Jember
Editor : Mahrus Sholih