SUMBERSARI, Radar Jember – Lahirnya UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dinilai mempersempit kewenangan pemerintah daerah. Salah satunya soal pembatasan alokasi anggaran belanja pegawai maksimal 30 persen dalam anggaran pendapatan belanja daerah atau APBD.
Baca Juga : Peringatan sampai Sanksi Tilang
Dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR RI beberapa waktu lalu, Bupati Jember Hendy Siswanto sempat mengutarakan keberatannya itu. Pemerintah daerah menurutnya diberi kewenangan merekrut aparatur sipil negara (ASN), melalui regulasi Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, Reformasi, dan Birokrasi (MenPANRB). MenPANRB pula meminta daerah melakukan rekrutmen pegawai baru, baik pegawai negeri sipil maupun PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja).
Namun, dia menyayangkan, proses rekrutmen itu terbuka untuk seluruh Indonesia. Padahal di Jember ada yang sudah berbakti sebagai honorer selama 15 hingga 20 tahun. “Pemkab Jember mendapat kuota kurang lebih empat ribu ASN baru. Senanglah kami. Ternyata empat ribu orang itu disuruh membayar pakai APBD,” kata Hendy.
Menyikapi hal itu, Ketua DPRD Jember M Itqon Syauqi menilai, UU tersebut tidak untuk diperdebatkan karena sudah menjadi amanah dari undang-undang. Dia menyarankan agar pemerintah daerah mengajukan judicial review (JR). “Alangkah baiknya kepala-kepala daerah yang keberatan dengan UU itu mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Itu solusi yang paling bijak,” kata Itqon, Jumat kemarin.
Itqon juga mengakui, sebagai pejabat publik, dia disumpah untuk menjalankan segala amanat perundang-undangan dengan selurus-lurusnya. Namun, kepala daerah dinilainya tetap memiliki hak konstitusional. “Negara secara konstitusional memberikan ruang kepada siapa pun, termasuk para kepala daerah, dengan mengajukan judicial review ke MK,” tambah legislator PKB ini.
Senada, Wakil Ketua DPRD Jember Ahmad Halim menangkap kekecewaan para kepala daerah, termasuk Hendy, akibat semakin terbatasnya kewenangan pemerintah daerah. “Kami melihat sekarang kewenangan daerah sedikit demi sedikit mulai dikurangi,” terang Halim.
Bahkan, hal-hal teknis yang seharusnya pemerintah daerah diberi otonomi sepenuhnya, lanjut dia, malah tidak ada sama sekali. Misalnya, soal izin tambang galian C yang telah diambil alih pemerintah pusat. Lalu, soal kewenangan perekrutan PNS atau PPPK yang diseleksi oleh pusat semua. Sementara, daerah tidak diberi tambahan alokasi untuk gaji ASN.
Pria yang menakhodai Partai Gerindra Jember ini juga akan mendorong Asosiasi DPRD Kabupaten seluruh Indonesia agar menyuarakan persoalan tersebut. “Undang-undang yang sekiranya memberatkan atau mengurangi kewenangan daerah dalam hak-hak otonomi, kalau perlu diuji di MK. Ini seolah-olah ada skenario besar kewenangan daerah mulai dilucuti,” tambah Halim. (mau/c2/nur)