22.8 C
Jember
Tuesday, 21 March 2023

Jalan Dana Desa

Mobile_AP_Rectangle 1

Pernahkah Anda menyaksikan di perempatan lampu merah Jalan Ahmad Yani Bondowoso, kendaraan yang berhenti dari arah selatan seakan mengantre di loket, memanjang dari depan ke belakang, bukan berjejer ke samping seperti shaf salat?

Ya, kendaraan-kendaraan itu, yang umumnya roda dua, berhenti pas di samping kiri marka jalan yang berwarna putih. Padahal, tidak semua hendak belok kanan ke jalan DI Panjaitan.

Saya husnudzan, kendaraan roda dua tersebut berhenti di samping marka jalan karena mempersilahkan kendaraan roda empat untuk maju, mendekat ke zebra cross agar cepat melaju. Mungkin, ini karena tidak ada (lagi) pembatas mana roda dua dan mana roda empat.

Mobile_AP_Rectangle 2

Tapi, ini berbeda jika pilihan posisi kendaraan roda dua di samping marka jalan itu agar mempermudah mereka menggeber gas motornya. Pasalnya, yang saya saksikan, tidak sedikit dari mereka justru ambil posisi mau menyalip kendaraan di depannya yang hendak belok kanan.

Kejadian demikian tidak hanya sekali-dua kali. Bahkan, nyaris tertabrak kendaraan yang antre di belakang pun pernah saya alami. Padahal, lampu sein kanan sudah berkedip memberi kode. Apalah daya, kedipan lampu kalah nyaring dengan tarikan gas kendaraan mereka.

Ini kondisi jalan raya yang jelas-jelas ada rambu berupa marka jalan dan traffic light-nya juga menyala secara teratur. Apatah jadinya dengan ruas jalan yang tidak ada “putih di atas hitam”, alias tidak ada marka jalan maupun rambu-rambu lainnya?

Kedua kondisi jalan ini, juga sama-sama sering saya lalui. Itu karena saya terbiasa “ternak teri” (meminjam istilah Kepala Kemenag Lumajang Kiai Muslim): antar anak antar istri.

Nyaris setiap pagi, saya melalui perempatan Ahmad Yani, lalu belok kanan. Pas di pertigaan DI Panjaitan sana, kita akan mendapatkan tugu yang berdiri kokoh, tapi tanpa marka jalan. Tiada garis penanda berwarna putih atau rambu lainnya. Yang pasti, di pertigaan ini, sepulang menjemput anak sekolah di Jalan Pelita Tamansari, pernah terjadi kerumunan lantaran ada kecelakaan lalu lintas.

Soal rambu-rambu ini, saya jadi teringat kejadian menggelikan awal kuliah dulu. Saat itu, salah satu mahasiswa baru yang berasal dari kepulauan, kena semprit polisi lalu lintas lantaran menerobos lampu merah di perempatan Kaliwates, Jember.

Katanya, kepada Pak Polisi: “Saya melanggar apa? Saya di lautan tidak pernah ada setopan lampu merah,” ucapnya dengan polos membalas teguran sang polisi lalu lintas.

Lantas, apa hubungan antara rambu-rambu jalan raya yang saya tuliskan di atas dengan Dana Desa dalam tulisan ini?

Ya, ini bukan sekadar bicara soal kondisi jalan raya yang sering kita lalui, atau hanya sekadar mengingatkan para pengendara agar berhati-hati. Kondisi jalan di atas, juga sebagai metafora atau kiasan terhadap implementasi Dana Desa. Bukan hanya di Bondowoso, tapi juga di seluruh penjuru nusantara yang mendapatkan limpahan Dana Desa.

Jalan raya, yang ada rambunya, ada garisan juga, berwarna putih lagi, masih ada pelanggaran hingga kecelakaan lalu lintas. Padahal, ada pasal-pasal yang memberikan sanksi tegas kepada para pelanggar. Tak hanya itu, petugasnya pun berseragam lengkap. Apatah jadinya jika tidak ada rambu-rambu?

Demikian pula dalam implementasi Dana Desa, yang juga memiliki aturan ketat. Adanya pengakuan dan penghargaan negara kepada desa pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tidak lantas membuat gelontoran ratusan juta hingga miliaran Rupiah itu dapat digunakan serampangan.

Kepala Desa, kendati berwenang memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa, memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan aset desa, serta kewenangan lainnya, tidak lantas sebebas-bebasnya menggunakan Dana Desa untuk kepentingan yang tidak ada kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat maupun pembangunan Desa.

Selain Kementerian Desa PDTT yang sudah mengatur pembinaan, pemantauan, serta evaluasi prioritas penggunaan Dana Desa, ada pula kementerian lain yang terlibat dalam proses-proses pengelolaan keuangan desa. Seperti Kementerian Keuangan, dan juga Kementerian Dalam Negeri.

Itu di pusat. Di Kabupaten, ada pula OPD atau dinas yang secara khusus menangani. Bersama sejumlah instansi lainnya, mereka menyiapkan peraturan bupati untuk membahas penyaluran dan penggunaan Dana Desa, hingga pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat setempat.

Belum lagi ada pendamping desa, yang memang ditugaskan untuk mendampingi proses-proses pemanfaatan Dana Desa, melakukan pemantauan, melaporkan progres, serta melakukan kroscek sesuai dengan ketentuan yang ada. Lengkap pokoknya para pihak yang terlibat secara aktif dalam implementasi Dana Desa ini.

Apakah lantas tiada masalah? Di sinilah, kenapa saya memberikan metafora soal jalan dalam tulisan ini. Jika di jalan raya penabrak aturan akan mendapatkan sanksi, maka pelanggar Dana Desa juga mendapatkan hukuman sesuai dengan perbuatannya.

Ke depan, semua pemangku kebijakan dalam pengelolaan Dana Desa, haruslah kian merapatkan barisan. Ibarat salat, makin rapi shaf jamaah, insyaallah kesempurnaan salat akan didapat. Sabda Nabi SAW, “Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.”

Demikian pula dalam pengelolaan Dana Desa. Makin tertata sistem dan sinergi antar pihak, makin baik pula pengelolaan dan makin besar manfaat yang akan dirasakan oleh masyarakat desa.

Ibarat kita yang suka ngopi: jika para pendamping adalah “kopi” dengan banyak form yang harus dituntaskan, OPD dengan “air dan gulanya”, inspektorat dengan “cangkir dan sendoknya”, maka Pemerintah Daerah tinggal mengaduk seduhan kopi agar tercipta rasa kopi yang khas dan enak untuk disuguhkan kepada masyarakat desa.

Tentu, dalam konteks ini, penataan pengelolaan Dana Desa tidak dimaksudkan untuk “mengebiri” hak-hak desa. Sebab, desa memiliki kewenangan “istimewa” pasca UU Desa berlaku, yaitu kewenangan yang berasal dari hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa.

Kewenangan desa tersebut merupakan roh otonomi desa. Desa tidak bisa diperlakukan sama sebagaimana pemerintah kabupaten. Kabupaten dibentuk sebagai pelaksana desentralisasi, sedangkan desa memiliki kewenangan yang bukan pemberian dari pusat.

So, kepada Pemerintah Desa, selamat mempersiapkan program terbaik bagi masyarakat desa tahun 2022. Insyaallah, kita yakini bersama, tahun 2022 mendatang dengan visi kepala desa baru, jalan Dana Desa akan makin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa.

 

*) Penulis adalah Koordinator Pendamping Desa dan Ketua LTNNU Bondowoso.

- Advertisement -

Pernahkah Anda menyaksikan di perempatan lampu merah Jalan Ahmad Yani Bondowoso, kendaraan yang berhenti dari arah selatan seakan mengantre di loket, memanjang dari depan ke belakang, bukan berjejer ke samping seperti shaf salat?

Ya, kendaraan-kendaraan itu, yang umumnya roda dua, berhenti pas di samping kiri marka jalan yang berwarna putih. Padahal, tidak semua hendak belok kanan ke jalan DI Panjaitan.

Saya husnudzan, kendaraan roda dua tersebut berhenti di samping marka jalan karena mempersilahkan kendaraan roda empat untuk maju, mendekat ke zebra cross agar cepat melaju. Mungkin, ini karena tidak ada (lagi) pembatas mana roda dua dan mana roda empat.

Tapi, ini berbeda jika pilihan posisi kendaraan roda dua di samping marka jalan itu agar mempermudah mereka menggeber gas motornya. Pasalnya, yang saya saksikan, tidak sedikit dari mereka justru ambil posisi mau menyalip kendaraan di depannya yang hendak belok kanan.

Kejadian demikian tidak hanya sekali-dua kali. Bahkan, nyaris tertabrak kendaraan yang antre di belakang pun pernah saya alami. Padahal, lampu sein kanan sudah berkedip memberi kode. Apalah daya, kedipan lampu kalah nyaring dengan tarikan gas kendaraan mereka.

Ini kondisi jalan raya yang jelas-jelas ada rambu berupa marka jalan dan traffic light-nya juga menyala secara teratur. Apatah jadinya dengan ruas jalan yang tidak ada “putih di atas hitam”, alias tidak ada marka jalan maupun rambu-rambu lainnya?

Kedua kondisi jalan ini, juga sama-sama sering saya lalui. Itu karena saya terbiasa “ternak teri” (meminjam istilah Kepala Kemenag Lumajang Kiai Muslim): antar anak antar istri.

Nyaris setiap pagi, saya melalui perempatan Ahmad Yani, lalu belok kanan. Pas di pertigaan DI Panjaitan sana, kita akan mendapatkan tugu yang berdiri kokoh, tapi tanpa marka jalan. Tiada garis penanda berwarna putih atau rambu lainnya. Yang pasti, di pertigaan ini, sepulang menjemput anak sekolah di Jalan Pelita Tamansari, pernah terjadi kerumunan lantaran ada kecelakaan lalu lintas.

Soal rambu-rambu ini, saya jadi teringat kejadian menggelikan awal kuliah dulu. Saat itu, salah satu mahasiswa baru yang berasal dari kepulauan, kena semprit polisi lalu lintas lantaran menerobos lampu merah di perempatan Kaliwates, Jember.

Katanya, kepada Pak Polisi: “Saya melanggar apa? Saya di lautan tidak pernah ada setopan lampu merah,” ucapnya dengan polos membalas teguran sang polisi lalu lintas.

Lantas, apa hubungan antara rambu-rambu jalan raya yang saya tuliskan di atas dengan Dana Desa dalam tulisan ini?

Ya, ini bukan sekadar bicara soal kondisi jalan raya yang sering kita lalui, atau hanya sekadar mengingatkan para pengendara agar berhati-hati. Kondisi jalan di atas, juga sebagai metafora atau kiasan terhadap implementasi Dana Desa. Bukan hanya di Bondowoso, tapi juga di seluruh penjuru nusantara yang mendapatkan limpahan Dana Desa.

Jalan raya, yang ada rambunya, ada garisan juga, berwarna putih lagi, masih ada pelanggaran hingga kecelakaan lalu lintas. Padahal, ada pasal-pasal yang memberikan sanksi tegas kepada para pelanggar. Tak hanya itu, petugasnya pun berseragam lengkap. Apatah jadinya jika tidak ada rambu-rambu?

Demikian pula dalam implementasi Dana Desa, yang juga memiliki aturan ketat. Adanya pengakuan dan penghargaan negara kepada desa pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tidak lantas membuat gelontoran ratusan juta hingga miliaran Rupiah itu dapat digunakan serampangan.

Kepala Desa, kendati berwenang memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa, memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan aset desa, serta kewenangan lainnya, tidak lantas sebebas-bebasnya menggunakan Dana Desa untuk kepentingan yang tidak ada kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat maupun pembangunan Desa.

Selain Kementerian Desa PDTT yang sudah mengatur pembinaan, pemantauan, serta evaluasi prioritas penggunaan Dana Desa, ada pula kementerian lain yang terlibat dalam proses-proses pengelolaan keuangan desa. Seperti Kementerian Keuangan, dan juga Kementerian Dalam Negeri.

Itu di pusat. Di Kabupaten, ada pula OPD atau dinas yang secara khusus menangani. Bersama sejumlah instansi lainnya, mereka menyiapkan peraturan bupati untuk membahas penyaluran dan penggunaan Dana Desa, hingga pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat setempat.

Belum lagi ada pendamping desa, yang memang ditugaskan untuk mendampingi proses-proses pemanfaatan Dana Desa, melakukan pemantauan, melaporkan progres, serta melakukan kroscek sesuai dengan ketentuan yang ada. Lengkap pokoknya para pihak yang terlibat secara aktif dalam implementasi Dana Desa ini.

Apakah lantas tiada masalah? Di sinilah, kenapa saya memberikan metafora soal jalan dalam tulisan ini. Jika di jalan raya penabrak aturan akan mendapatkan sanksi, maka pelanggar Dana Desa juga mendapatkan hukuman sesuai dengan perbuatannya.

Ke depan, semua pemangku kebijakan dalam pengelolaan Dana Desa, haruslah kian merapatkan barisan. Ibarat salat, makin rapi shaf jamaah, insyaallah kesempurnaan salat akan didapat. Sabda Nabi SAW, “Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.”

Demikian pula dalam pengelolaan Dana Desa. Makin tertata sistem dan sinergi antar pihak, makin baik pula pengelolaan dan makin besar manfaat yang akan dirasakan oleh masyarakat desa.

Ibarat kita yang suka ngopi: jika para pendamping adalah “kopi” dengan banyak form yang harus dituntaskan, OPD dengan “air dan gulanya”, inspektorat dengan “cangkir dan sendoknya”, maka Pemerintah Daerah tinggal mengaduk seduhan kopi agar tercipta rasa kopi yang khas dan enak untuk disuguhkan kepada masyarakat desa.

Tentu, dalam konteks ini, penataan pengelolaan Dana Desa tidak dimaksudkan untuk “mengebiri” hak-hak desa. Sebab, desa memiliki kewenangan “istimewa” pasca UU Desa berlaku, yaitu kewenangan yang berasal dari hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa.

Kewenangan desa tersebut merupakan roh otonomi desa. Desa tidak bisa diperlakukan sama sebagaimana pemerintah kabupaten. Kabupaten dibentuk sebagai pelaksana desentralisasi, sedangkan desa memiliki kewenangan yang bukan pemberian dari pusat.

So, kepada Pemerintah Desa, selamat mempersiapkan program terbaik bagi masyarakat desa tahun 2022. Insyaallah, kita yakini bersama, tahun 2022 mendatang dengan visi kepala desa baru, jalan Dana Desa akan makin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa.

 

*) Penulis adalah Koordinator Pendamping Desa dan Ketua LTNNU Bondowoso.

Pernahkah Anda menyaksikan di perempatan lampu merah Jalan Ahmad Yani Bondowoso, kendaraan yang berhenti dari arah selatan seakan mengantre di loket, memanjang dari depan ke belakang, bukan berjejer ke samping seperti shaf salat?

Ya, kendaraan-kendaraan itu, yang umumnya roda dua, berhenti pas di samping kiri marka jalan yang berwarna putih. Padahal, tidak semua hendak belok kanan ke jalan DI Panjaitan.

Saya husnudzan, kendaraan roda dua tersebut berhenti di samping marka jalan karena mempersilahkan kendaraan roda empat untuk maju, mendekat ke zebra cross agar cepat melaju. Mungkin, ini karena tidak ada (lagi) pembatas mana roda dua dan mana roda empat.

Tapi, ini berbeda jika pilihan posisi kendaraan roda dua di samping marka jalan itu agar mempermudah mereka menggeber gas motornya. Pasalnya, yang saya saksikan, tidak sedikit dari mereka justru ambil posisi mau menyalip kendaraan di depannya yang hendak belok kanan.

Kejadian demikian tidak hanya sekali-dua kali. Bahkan, nyaris tertabrak kendaraan yang antre di belakang pun pernah saya alami. Padahal, lampu sein kanan sudah berkedip memberi kode. Apalah daya, kedipan lampu kalah nyaring dengan tarikan gas kendaraan mereka.

Ini kondisi jalan raya yang jelas-jelas ada rambu berupa marka jalan dan traffic light-nya juga menyala secara teratur. Apatah jadinya dengan ruas jalan yang tidak ada “putih di atas hitam”, alias tidak ada marka jalan maupun rambu-rambu lainnya?

Kedua kondisi jalan ini, juga sama-sama sering saya lalui. Itu karena saya terbiasa “ternak teri” (meminjam istilah Kepala Kemenag Lumajang Kiai Muslim): antar anak antar istri.

Nyaris setiap pagi, saya melalui perempatan Ahmad Yani, lalu belok kanan. Pas di pertigaan DI Panjaitan sana, kita akan mendapatkan tugu yang berdiri kokoh, tapi tanpa marka jalan. Tiada garis penanda berwarna putih atau rambu lainnya. Yang pasti, di pertigaan ini, sepulang menjemput anak sekolah di Jalan Pelita Tamansari, pernah terjadi kerumunan lantaran ada kecelakaan lalu lintas.

Soal rambu-rambu ini, saya jadi teringat kejadian menggelikan awal kuliah dulu. Saat itu, salah satu mahasiswa baru yang berasal dari kepulauan, kena semprit polisi lalu lintas lantaran menerobos lampu merah di perempatan Kaliwates, Jember.

Katanya, kepada Pak Polisi: “Saya melanggar apa? Saya di lautan tidak pernah ada setopan lampu merah,” ucapnya dengan polos membalas teguran sang polisi lalu lintas.

Lantas, apa hubungan antara rambu-rambu jalan raya yang saya tuliskan di atas dengan Dana Desa dalam tulisan ini?

Ya, ini bukan sekadar bicara soal kondisi jalan raya yang sering kita lalui, atau hanya sekadar mengingatkan para pengendara agar berhati-hati. Kondisi jalan di atas, juga sebagai metafora atau kiasan terhadap implementasi Dana Desa. Bukan hanya di Bondowoso, tapi juga di seluruh penjuru nusantara yang mendapatkan limpahan Dana Desa.

Jalan raya, yang ada rambunya, ada garisan juga, berwarna putih lagi, masih ada pelanggaran hingga kecelakaan lalu lintas. Padahal, ada pasal-pasal yang memberikan sanksi tegas kepada para pelanggar. Tak hanya itu, petugasnya pun berseragam lengkap. Apatah jadinya jika tidak ada rambu-rambu?

Demikian pula dalam implementasi Dana Desa, yang juga memiliki aturan ketat. Adanya pengakuan dan penghargaan negara kepada desa pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tidak lantas membuat gelontoran ratusan juta hingga miliaran Rupiah itu dapat digunakan serampangan.

Kepala Desa, kendati berwenang memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa, memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan aset desa, serta kewenangan lainnya, tidak lantas sebebas-bebasnya menggunakan Dana Desa untuk kepentingan yang tidak ada kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat maupun pembangunan Desa.

Selain Kementerian Desa PDTT yang sudah mengatur pembinaan, pemantauan, serta evaluasi prioritas penggunaan Dana Desa, ada pula kementerian lain yang terlibat dalam proses-proses pengelolaan keuangan desa. Seperti Kementerian Keuangan, dan juga Kementerian Dalam Negeri.

Itu di pusat. Di Kabupaten, ada pula OPD atau dinas yang secara khusus menangani. Bersama sejumlah instansi lainnya, mereka menyiapkan peraturan bupati untuk membahas penyaluran dan penggunaan Dana Desa, hingga pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat setempat.

Belum lagi ada pendamping desa, yang memang ditugaskan untuk mendampingi proses-proses pemanfaatan Dana Desa, melakukan pemantauan, melaporkan progres, serta melakukan kroscek sesuai dengan ketentuan yang ada. Lengkap pokoknya para pihak yang terlibat secara aktif dalam implementasi Dana Desa ini.

Apakah lantas tiada masalah? Di sinilah, kenapa saya memberikan metafora soal jalan dalam tulisan ini. Jika di jalan raya penabrak aturan akan mendapatkan sanksi, maka pelanggar Dana Desa juga mendapatkan hukuman sesuai dengan perbuatannya.

Ke depan, semua pemangku kebijakan dalam pengelolaan Dana Desa, haruslah kian merapatkan barisan. Ibarat salat, makin rapi shaf jamaah, insyaallah kesempurnaan salat akan didapat. Sabda Nabi SAW, “Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.”

Demikian pula dalam pengelolaan Dana Desa. Makin tertata sistem dan sinergi antar pihak, makin baik pula pengelolaan dan makin besar manfaat yang akan dirasakan oleh masyarakat desa.

Ibarat kita yang suka ngopi: jika para pendamping adalah “kopi” dengan banyak form yang harus dituntaskan, OPD dengan “air dan gulanya”, inspektorat dengan “cangkir dan sendoknya”, maka Pemerintah Daerah tinggal mengaduk seduhan kopi agar tercipta rasa kopi yang khas dan enak untuk disuguhkan kepada masyarakat desa.

Tentu, dalam konteks ini, penataan pengelolaan Dana Desa tidak dimaksudkan untuk “mengebiri” hak-hak desa. Sebab, desa memiliki kewenangan “istimewa” pasca UU Desa berlaku, yaitu kewenangan yang berasal dari hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa.

Kewenangan desa tersebut merupakan roh otonomi desa. Desa tidak bisa diperlakukan sama sebagaimana pemerintah kabupaten. Kabupaten dibentuk sebagai pelaksana desentralisasi, sedangkan desa memiliki kewenangan yang bukan pemberian dari pusat.

So, kepada Pemerintah Desa, selamat mempersiapkan program terbaik bagi masyarakat desa tahun 2022. Insyaallah, kita yakini bersama, tahun 2022 mendatang dengan visi kepala desa baru, jalan Dana Desa akan makin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa.

 

*) Penulis adalah Koordinator Pendamping Desa dan Ketua LTNNU Bondowoso.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca