JEMBER, RADAR JEMBER.ID – BENCANA banjir bandang di Perumahan Mangli dan sekitarnya perlu menjadi evaluasi. Bagaimana seyogianya penataan kawasan kota, permukiman, dan daerah alih fungsi lahan agar terbebas banjir. Sebenarnya, Kabupaten Jember memiliki cetak biru tentang penataan kawasan kota dan desa. Salah satunya tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2015-2035.
Namun, secara teknis perda itu masih “mandul”, karena peraturan penjelas yang seharusnya terwujud dalam rencana detail tata ruang (RDTR) belum ada. Buntutnya, Pemkab Jember gagap mengantisipasi bencana, terutama banjir di kawasan kota. Sebab, pemerintah belum punya cantolan regulasi untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan produktif menjadi kawasan permukiman. “Kami minta dinas terkait agar segera melakukan penanganan teknis di lokasi banjir kemarin. Sementara, mengenai itu (Perda RTRW, Red) kami belum ke sana dulu,” kata Budi Wicaksono, Ketua Komisi C DPRD Jember.
Dia membenarkan, banjir luapan sungai yang terjadi saat itu karena perubahan pada hulu hingga hilir sungai yang membuat sungai menjadi dangkal. Hal itu gagal diantisipasi sejak awal-awal musim hujan tiba. Budi menyebut, pihaknya telah meminta Dinas PU Bina Marga agar segera melakukan perbaikan dengan memasang bronjong dan dilakukan pengerukan sedimentasi. Utamanya di daerah kawasan padat permukiman atau perumahan.
Menurut dia, banyak perumahan kawasan kota yang kurang memperhatikan akses pengairannya. “Nanti kami akan libatkan Bina Marga untuk mengecek semua akses air di daerah perumahan-perumahan kawasan kota,” tambah politisi Partai NasDem tersebut.
Kendati upaya perbaikan teknis hari ini tengah dilakukan, seperti pemasangan bronjong dan rencana pengerukan, namun bukan berarti membuat wilayah tersebut otomatis terbebas dari banjir. Sebab, harus ada rencana induk penataan kawasan kota agar di kemudian hari banjir tidak datang lagi.
Senada, Ketua Komisi A DPRD Jember Tabroni menilai, prioritas utama penanganan banjir itu adalah mengembalikan kondisi sempadan sungai dan penertiban permukiman di sempadan. Dan itu dinilainya perlu keterlibatan semua pihak, utamanya pemerintah. “Banjir ini musibah yang berulang. Karena itu, penanganannya perlu secara struktural maupun nonstruktural,” katanya.
Dia menjelaskan, penanganan struktural yang dimaksudkan itu, misalnya, membuatkan bendungan. Sementara yang nonstruktural, melalui upaya membangun kesadaran masyarakat dengan melibatkan pemangku kepentingan, tokoh masyarakat, hingga semua pihak.
Politisi partai berlambang Banteng Moncong Putih ini juga menyinggung soal Perda RTRW Kabupaten Jember yang seharusnya juga menguraikan mengenai penataan kawasan kota dan daerah padat permukiman. Namun, hingga kini dinilainya belum berjalan optimal. “Upaya nonstruktural itu juga bisa lewat pengendalian tata ruang yang harusnya ada dalam RTRW Kabupaten Jember ke depannya,” tambah dia.
Selain itu, langkah atau upaya-upaya secara teknis, menurutnya, juga tidak kalah penting. Seperti menyiapkan sistem peringatan dini, pemetaan daerah rawan banjir, dan penataan permukiman daerah rawan banjir. Penataan hunian masyarakat yang tinggal di daerah bantaran sungai perlu menjadi prioritas utama dalam penanganan banjir.
Sebab, ditengarai, dangkalnya sungai bisa disebabkan banyaknya aktivitas masyarakat di sepanjang aliran sungai hingga membuatnya dangkal. “Langkah atau penanganan banjir ini memerlukan keterlibatan semua pihak, khususnya pemerintah terkait,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Eksekutif Lembaga Pendidikan Rakyat untuk Kedaulatan Sumber-Sumber Agraria (LPR KuaSA) Muhammad Nur Wahid menyebutkan hal yang berbeda. Semestinya, kata dia, ketika pemerintah ingin fokus melakukan penataan kawasan kota hingga desa, acuannya tetap berdasar pada RTRW, yang kemudian didetailkan melalui RDTR.
Sayangnya, Kabupaten Jember belum punya RDTR. “Jangan bicara RDTR dulu sebelum RTRW kita selesai. Posisi RTRW kita hari ini juga direncanakan akan direvisi,” terang Wahid. Dia menambahkan, RTRW adalah kitab sakral yang menjadi pegangan sebuah kabupaten/kota dalam merencanakan pembangunan.
Masa berlaku RTRW yang mencapai 25 tahun, dibandingkan RDTR yang hanya 5 tahun, juga dinilainya menjadi alasan mendasar, mengapa RTRW perlu diseriusi terlebih dahulu. Di dalamnya tidak hanya berbicara bagaimana rencana pembangunan dan penataan sebuah daerah dalam beberapa tahun ke depan, namun juga bagaimana pemerintah mengoptimalkan segala potensi daerah menjadi pos strategis memutar perekonomian masyarakatnya. Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), kawasan resapan, kawasan produktif, dan sebagainya. “RTRW kita sedang ‘parkir’ hari ini. Kalau pemerintah ingin serius, ya segera dibahas RTRW tersebut, kemudian RDTR-nya,” pungkas Wahid.
Reporter : Maulana/Radar Jember
Fotografer :
Editor : Mahrus Sholih/Radar Jember