JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sidang perkara politik uang terus berlanjut. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa 36 bulan penjara dengan denda Rp 200 juta. Tuntutan tersebut membuat terdakwa Ahmad Zaeni melakukan pembelaan. Melalui pengacaranya, terdakwa ingin diberi hukuman percobaan. Karena tuntutan itu dianggap terlalu berat. Tidak sepadan dengan perbuatan yang dilakukan.
Sidang kasus money politcs dengan agenda tuntutan JPU digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jember, kemarin (15/12). R. Yuri Artana Putra selaku JPU membacakan dakwaan bahwa berdasar pemeriksaan dan keterangan beberapa saksi, terdakwa memenuhi unsur dalam melakukan tindakan melawan hukum yaitu memberikan imbalan ke masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mempengaruhi suara pemilih dalam pemilu.
Apalagi, terdapat fakta di lapangan bahwa pada 30 Oktober pukul 13.00 terdakwa turut membagikan stiker salah satu paslon ke warga. Selain itu, membagikan uang pecahan Rp 5.000, serta saat ada yang merekam video saat membuat yel-yel.
Yuri menyatakan, perbuatan terdakwa telah terbukti sesuai dakwaan penuntut umum atas pasal 73 ayat 4 dengan ancaman pidana paling singkat 36 bulan dan paling tinggi selama 72 bulan dengan denda Rp 200 juta dan paling tinggi Rp 1 miliar. “Tuntutan dari kami adalah yang paling rendah yaitu pidana penjara 36 bulan dengan denda Rp 200 juta, subsider dua bulan penjara,” terangnya.
Tuntutan paling ringan tersebut diberikan karena terdakwa terus terang dan mengakui perbuatannya melawan hukum. Yaitu, membagikan uang ke masyarakat untuk mendukung paslon di Pilkada Jember.
Selain itu, ada pertimbangan terdakwa adalah tulang punggung keluarga. Dengan demikian, JPU menuntut yang paling ringan dari pasal 73 ayat 4. Yuri menambahkan, adanya video yang merekam terdakwa saat membagikan stiker paslon dan uang tersebut bukan dari perintah terdakwa, melainkan inisiatif warga yang berada di lokasi. “Bahkan, juga sadar ada yang merekam dan juga mengarahkan warga untuk melakukan yel-yel,” ucapnya.
Sementara itu, sidang politik uang tersebut sempat diskors lantaran ada pembelaan dari terdakwa. Dalam pembelaan tersebut, penasihat hukum keberatan dengan tuntutan JPU. Penasihat hukum terdakwa, Jani Takarianto menuturkan, karena dari fakta persidangan, yang dijerat hanya terdakwa. Padahal, dalam kasus money politics tersebut, ada penerimanya. “Berdasar pasal 187A ayat 2 dengan jelas mengatur bahwa untuk penerima juga bisa dijerat menjadi terdakwa,” ucapnya.
Pertimbangan kedua, kata dia, terdakwa bukan tim sukses paslon, bukan juru bicara, atau tim pemenangan. Terdakwa hanya mengidolakan salah seorang calon wakil bupati dari pasangan kandidat yang didukung. “Jadi, murni spontanitas karena dia merasa bangga,” ucapnya.
Bahkan, uang yang diberikan warga nilainya cukup kecil yakni pecahan Rp 5 ribu meski ada juga yang menerima dua lembar dengan total Rp 10 ribu. Uang tersebut adalah duit pribadi dan terdakwa bukan dari tim sukses atau lainnya. Selain itu, tidak ada rencana dari awal jika terdakwa akan memberikan uang. Sebab, terdakwa hanya memberikan stiker, tapi ada warga yang meminta uang. “Jadi, spontanitas terdakwa memberikan uang,” jelasnya. Walau tuntutan JPU adalah paling ringan, menurut Jani, tetap tidak sepadan dan masih berat.
Sementara itu, M Ridwan, anggota penasihat hukum terdakwa menambahkan, dari penasihat hukum ingin terdakwa diberikan hukuman percobaan saja. Dia menambahkan, uang yang diberikan ke warga tersebut adalah uang pribadi yang jumlahnya sangat kecil. “Totalnya sekitar Rp 200 ribu. Ada yang dapat Rp 5 ribu dan Rp 10 ribu,” ucapnya.
Dalam sidang tersebut replik dari JPU juga tidak berubah dari tuntutan. Begitu pula dengan penasihat hukum di duplik yang tetap sama. Agenda sidang berikutnya adalah putusan pada 17 Desember yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Jamuji dengan anggota Slamet Budiono dan Suwarjo.