27.8 C
Jember
Friday, 31 March 2023

Rekam Jejak Eks Stasiun Balung Warisan Masa Kolonial

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Eks Stasiun Balung menjadi saksi bagaimana wilayah tersebut menjadi akses perputaran perekonomian di masa kolonial. Sejumlah ruas rel kereta api juga beberapa utuh di sana. Meski juga tidak sedikit yang hilang dan ditumbuhi rumah-rumah.

Ke sisi utara stasiun, terhubung hingga ke Stasiun Rambipuji. Sementara ke selatan, terhubung hingga ke daerah Puger, sampai ke barat arah Kencong. “Jalur kereta api Stasiun Balung dibangun pada 3 Mei 1913 di era kolonial dengan kode stasiun BUG-5822,” terang Zainollah Ahmad, sejarawan sekaligus Ketua Forum Bhattara Saptaprabhu.

Menurut Zainollah, sejak awal kemunculan perusahaan perkebunan di Jember, moda transportasi murah dengan kapasitas tinggi saat itu menjadi kebutuhan. Maka dibuatlah salah satunya Stasiun Balung yang merupakan jalur ramai dan cukup sibuk. “Dalam catatan sejarah, rekor penumpang pada tahun 1950 lebih dari 300.000 penumpang tercatat menggunakan kereta api dari Stasiun Balung ini,” terangnya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Hal itu karena ramainya aktivitas penduduk Jember akibat dibukanya menjadi kota metropolis perkebunan yang membutuhkan sarana transportasi. Bahkan di beberapa kota dibangun pabrik gula (suikerfabriek). Trayek awal pembuatan, lanjut dia, Stasiun Balung terhubung dari Stasiun Rambipuji hingga ke arah selatan dan barat Jember. Seperti Ambulu, lalu ke Puger, dan Kencong.

Di tahun 1929, jalur sepur (spoor) Puger ditutup karena makin sepi, tidak efisien dan makin merugi. Berikutnya, Jalur KA Stasiun Balung-Ambulu yang menggunakan trem untuk mengangkut pasir dari Sabrang juga ditutup kemudian pada tahun 1945. “Sempat dihidupkan lagi secara terbatas hingga jalur KA 600 mm secara nasional diberlakukan. Akan tetapi tahun 1970 tidak dioperasikan lagi,” papar Zainollah.

Dia menambahkan, keberadaan jalur KA dengan stasiunnya adalah untuk mengembangkan sektor perekonomian jalur selatan Jawa, khususnya di Jember. “Stasiun Balung ditutup secara resmi tahun 1986 karena sepinya penumpang KA, dan kalah dengan kompetitornya. Seperti kendaraan umum taksi, motor, dan mobil pribadi,” tukasnya.

Menurut Zainollah, beberapa keterangan dan sumber itu terdapat dalam tulisan Lekkerkerker, sejarawan asal Belanda yang meneliti kawasan Tapal Kuda. Dan beberapa Arsip PJKA serta tulisan sejarawan A Rizal.

Kokoh Berdiri meski Beralih Fungsi

Memiliki riwayat sejarah yang cukup panjang, eks Stasiun Balung hingga kini masih utuh. Kokoh berdiri di tengah-tengah pemukiman warga yang semakin padat. Konstruksi bangunan yang khas masa kolonial tampak terlihat belum pernah ada pemugaran.

Dinding yang tebal, berfondasi tinggi, serta model jendela dan pintu bangunan yang khas menjulang tinggi. Hanya minus pada dinding yang mulai ditumbuhi jamur, serta sawang atau sarang laba-laba pada langit-langit bangunan.

Berlokasi tepat di jantung Kecamatan Balung, menjadikan posisi stasiun ini sangat strategis di eranya. Tak heran, sejak awal hingga kini, keberadaannya masih eksis, meski telah beralih fungsi menjadi lapak persatuan pedagang sepeda dan sepeda motor. “Warga biasanya menyebut PDSB (Persatuan Dagang Sepeda Balung, Red). Banyak orangnya. Ada puluhan. Juga dari berbagai kecamatan,” kata Sugeng Harianto, salah satu pedagang sepeda di Stasiun Balung.

Difungsikannya tempat tersebut sebagai lapak berjualan sepeda sudah berlangsung sejak lama. Beberapa warga setempat tidak mengetahui pasti. Namun, mereka memperkirakan, sudah berlangsung puluhan tahun. “Sejak zamannya Presiden Gus Dur sepertinya sudah ada PDSB di sini,” timpal Rahmat, warga sekitar.

Kepemilikan aset eks Stasiun Balung itu, serta beberapa tanah di sekitarnya, diakui warga masih menjadi milik PT Kereta Api Indonesia (KAI). Karena di beberapa titik eks Stasiun Balung juga terpampang tulisan yang menegaskan bahwa tanah di situ masih menjadi aset milik PT KAI.

Jurnalis: Maulana
Fotografer: Maulana
Editor: Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Eks Stasiun Balung menjadi saksi bagaimana wilayah tersebut menjadi akses perputaran perekonomian di masa kolonial. Sejumlah ruas rel kereta api juga beberapa utuh di sana. Meski juga tidak sedikit yang hilang dan ditumbuhi rumah-rumah.

Ke sisi utara stasiun, terhubung hingga ke Stasiun Rambipuji. Sementara ke selatan, terhubung hingga ke daerah Puger, sampai ke barat arah Kencong. “Jalur kereta api Stasiun Balung dibangun pada 3 Mei 1913 di era kolonial dengan kode stasiun BUG-5822,” terang Zainollah Ahmad, sejarawan sekaligus Ketua Forum Bhattara Saptaprabhu.

Menurut Zainollah, sejak awal kemunculan perusahaan perkebunan di Jember, moda transportasi murah dengan kapasitas tinggi saat itu menjadi kebutuhan. Maka dibuatlah salah satunya Stasiun Balung yang merupakan jalur ramai dan cukup sibuk. “Dalam catatan sejarah, rekor penumpang pada tahun 1950 lebih dari 300.000 penumpang tercatat menggunakan kereta api dari Stasiun Balung ini,” terangnya.

Hal itu karena ramainya aktivitas penduduk Jember akibat dibukanya menjadi kota metropolis perkebunan yang membutuhkan sarana transportasi. Bahkan di beberapa kota dibangun pabrik gula (suikerfabriek). Trayek awal pembuatan, lanjut dia, Stasiun Balung terhubung dari Stasiun Rambipuji hingga ke arah selatan dan barat Jember. Seperti Ambulu, lalu ke Puger, dan Kencong.

Di tahun 1929, jalur sepur (spoor) Puger ditutup karena makin sepi, tidak efisien dan makin merugi. Berikutnya, Jalur KA Stasiun Balung-Ambulu yang menggunakan trem untuk mengangkut pasir dari Sabrang juga ditutup kemudian pada tahun 1945. “Sempat dihidupkan lagi secara terbatas hingga jalur KA 600 mm secara nasional diberlakukan. Akan tetapi tahun 1970 tidak dioperasikan lagi,” papar Zainollah.

Dia menambahkan, keberadaan jalur KA dengan stasiunnya adalah untuk mengembangkan sektor perekonomian jalur selatan Jawa, khususnya di Jember. “Stasiun Balung ditutup secara resmi tahun 1986 karena sepinya penumpang KA, dan kalah dengan kompetitornya. Seperti kendaraan umum taksi, motor, dan mobil pribadi,” tukasnya.

Menurut Zainollah, beberapa keterangan dan sumber itu terdapat dalam tulisan Lekkerkerker, sejarawan asal Belanda yang meneliti kawasan Tapal Kuda. Dan beberapa Arsip PJKA serta tulisan sejarawan A Rizal.

Kokoh Berdiri meski Beralih Fungsi

Memiliki riwayat sejarah yang cukup panjang, eks Stasiun Balung hingga kini masih utuh. Kokoh berdiri di tengah-tengah pemukiman warga yang semakin padat. Konstruksi bangunan yang khas masa kolonial tampak terlihat belum pernah ada pemugaran.

Dinding yang tebal, berfondasi tinggi, serta model jendela dan pintu bangunan yang khas menjulang tinggi. Hanya minus pada dinding yang mulai ditumbuhi jamur, serta sawang atau sarang laba-laba pada langit-langit bangunan.

Berlokasi tepat di jantung Kecamatan Balung, menjadikan posisi stasiun ini sangat strategis di eranya. Tak heran, sejak awal hingga kini, keberadaannya masih eksis, meski telah beralih fungsi menjadi lapak persatuan pedagang sepeda dan sepeda motor. “Warga biasanya menyebut PDSB (Persatuan Dagang Sepeda Balung, Red). Banyak orangnya. Ada puluhan. Juga dari berbagai kecamatan,” kata Sugeng Harianto, salah satu pedagang sepeda di Stasiun Balung.

Difungsikannya tempat tersebut sebagai lapak berjualan sepeda sudah berlangsung sejak lama. Beberapa warga setempat tidak mengetahui pasti. Namun, mereka memperkirakan, sudah berlangsung puluhan tahun. “Sejak zamannya Presiden Gus Dur sepertinya sudah ada PDSB di sini,” timpal Rahmat, warga sekitar.

Kepemilikan aset eks Stasiun Balung itu, serta beberapa tanah di sekitarnya, diakui warga masih menjadi milik PT Kereta Api Indonesia (KAI). Karena di beberapa titik eks Stasiun Balung juga terpampang tulisan yang menegaskan bahwa tanah di situ masih menjadi aset milik PT KAI.

Jurnalis: Maulana
Fotografer: Maulana
Editor: Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Eks Stasiun Balung menjadi saksi bagaimana wilayah tersebut menjadi akses perputaran perekonomian di masa kolonial. Sejumlah ruas rel kereta api juga beberapa utuh di sana. Meski juga tidak sedikit yang hilang dan ditumbuhi rumah-rumah.

Ke sisi utara stasiun, terhubung hingga ke Stasiun Rambipuji. Sementara ke selatan, terhubung hingga ke daerah Puger, sampai ke barat arah Kencong. “Jalur kereta api Stasiun Balung dibangun pada 3 Mei 1913 di era kolonial dengan kode stasiun BUG-5822,” terang Zainollah Ahmad, sejarawan sekaligus Ketua Forum Bhattara Saptaprabhu.

Menurut Zainollah, sejak awal kemunculan perusahaan perkebunan di Jember, moda transportasi murah dengan kapasitas tinggi saat itu menjadi kebutuhan. Maka dibuatlah salah satunya Stasiun Balung yang merupakan jalur ramai dan cukup sibuk. “Dalam catatan sejarah, rekor penumpang pada tahun 1950 lebih dari 300.000 penumpang tercatat menggunakan kereta api dari Stasiun Balung ini,” terangnya.

Hal itu karena ramainya aktivitas penduduk Jember akibat dibukanya menjadi kota metropolis perkebunan yang membutuhkan sarana transportasi. Bahkan di beberapa kota dibangun pabrik gula (suikerfabriek). Trayek awal pembuatan, lanjut dia, Stasiun Balung terhubung dari Stasiun Rambipuji hingga ke arah selatan dan barat Jember. Seperti Ambulu, lalu ke Puger, dan Kencong.

Di tahun 1929, jalur sepur (spoor) Puger ditutup karena makin sepi, tidak efisien dan makin merugi. Berikutnya, Jalur KA Stasiun Balung-Ambulu yang menggunakan trem untuk mengangkut pasir dari Sabrang juga ditutup kemudian pada tahun 1945. “Sempat dihidupkan lagi secara terbatas hingga jalur KA 600 mm secara nasional diberlakukan. Akan tetapi tahun 1970 tidak dioperasikan lagi,” papar Zainollah.

Dia menambahkan, keberadaan jalur KA dengan stasiunnya adalah untuk mengembangkan sektor perekonomian jalur selatan Jawa, khususnya di Jember. “Stasiun Balung ditutup secara resmi tahun 1986 karena sepinya penumpang KA, dan kalah dengan kompetitornya. Seperti kendaraan umum taksi, motor, dan mobil pribadi,” tukasnya.

Menurut Zainollah, beberapa keterangan dan sumber itu terdapat dalam tulisan Lekkerkerker, sejarawan asal Belanda yang meneliti kawasan Tapal Kuda. Dan beberapa Arsip PJKA serta tulisan sejarawan A Rizal.

Kokoh Berdiri meski Beralih Fungsi

Memiliki riwayat sejarah yang cukup panjang, eks Stasiun Balung hingga kini masih utuh. Kokoh berdiri di tengah-tengah pemukiman warga yang semakin padat. Konstruksi bangunan yang khas masa kolonial tampak terlihat belum pernah ada pemugaran.

Dinding yang tebal, berfondasi tinggi, serta model jendela dan pintu bangunan yang khas menjulang tinggi. Hanya minus pada dinding yang mulai ditumbuhi jamur, serta sawang atau sarang laba-laba pada langit-langit bangunan.

Berlokasi tepat di jantung Kecamatan Balung, menjadikan posisi stasiun ini sangat strategis di eranya. Tak heran, sejak awal hingga kini, keberadaannya masih eksis, meski telah beralih fungsi menjadi lapak persatuan pedagang sepeda dan sepeda motor. “Warga biasanya menyebut PDSB (Persatuan Dagang Sepeda Balung, Red). Banyak orangnya. Ada puluhan. Juga dari berbagai kecamatan,” kata Sugeng Harianto, salah satu pedagang sepeda di Stasiun Balung.

Difungsikannya tempat tersebut sebagai lapak berjualan sepeda sudah berlangsung sejak lama. Beberapa warga setempat tidak mengetahui pasti. Namun, mereka memperkirakan, sudah berlangsung puluhan tahun. “Sejak zamannya Presiden Gus Dur sepertinya sudah ada PDSB di sini,” timpal Rahmat, warga sekitar.

Kepemilikan aset eks Stasiun Balung itu, serta beberapa tanah di sekitarnya, diakui warga masih menjadi milik PT Kereta Api Indonesia (KAI). Karena di beberapa titik eks Stasiun Balung juga terpampang tulisan yang menegaskan bahwa tanah di situ masih menjadi aset milik PT KAI.

Jurnalis: Maulana
Fotografer: Maulana
Editor: Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca