29.7 C
Jember
Thursday, 30 March 2023

Darurat! Tren Pekerja Anak di Jember Malah Bertambah

“Memang ada anak-anak yang sifatnya membantu (orang tua, Red). Tapi, ada juga anak-anak yang sudah di-DO (tidak sekolah lagi, Red), lalu memutuskan untuk bekerja di petani tembakau. Ini yang perlu ada perhatian lebih,” Anwar Sholihin - Direktur LPKP Jatim

Mobile_AP_Rectangle 1

SUMBERSARI, RADARJEMBER.ID – Secara nasional, tren pekerja anak di sektor pertanian menurun. Namun di daerah, termasuk di Jember, trennya justru berkebalikan dan cenderung bertambah. Kondisi ini dipicu beberapa faktor. Tak hanya karena pandemi yang mengakibatkan anak lebih banyak beraktivitas di rumah, tapi juga disebabkan Jember belakangan ini sedang masa panen tembakau. Sehingga menyerap banyak tenaga kerja, termasuk anak-anak.

Direktur Yayasan Prakarsa Swadaya Masyarakat (YPSM) Jember Rizki Nurhaini mengungkapkan, di Jember tren pekerja anak bertambah 10 persen. Apalagi di musim tembakau beberapa waktu lalu. Sebab, dalam proses pemanenannya membutuhkan banyak tenaga kerja. “Jadi, mulai masa pemetikan di sawah dan proses di gudang itu cukup besar penyerapan tenaganya. Jadi, anak-anak banyak yang terekrut untuk dipekerjakan di pengolahan tembakau,” ungkapnya, kemarin (14/9).

Umumnya, kata dia, anak-anak ini dipekerjakan pada bagian penjemuran, memetik daun di sawah, proses di gudang, hingga pengasapan daun tembakau di gudang. Berdasarkan pengamatannya, anak yang terlibat mulai dari yang bersekolah di jenjang SD. Sementara, anak-anak dengan rentang usia 15–18 tahun jenis pekerjaannya lebih berat. Misalnya mengangkat hasil panen, mengairi sawah, pemupukan, dan lainnya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Menurut Kiki, faktor utamanya adalah banyaknya waktu luang yang dimiliki anak selama masa pembelajaran daring akibat pandemi. Namun, saat ini jumlah pekerja anak di perkebunan tembakau beranjak menurun karena pembelajaran tatap muka (PTM) sudah mulai dilaksanakan. Terlebih, musim tembakau sudah mulai habis. “Itu mengurangi anak-anak yang terlibat di sektor tembakau. Tapi, untuk anak-anak SD masih banyak yang terlibat,” imbuhnya.

Kondisi semacam ini mudah ditemui di daerah-daerah penghasil tembakau. Di antaranya di wilayah selatan, yaitu Desa Jambearum, Bagon, dan Wringintelu, Kecamatan Puger. Selain itu, juga beberapa desa lain di Kecamatan Wuluhan, Ambulu, hingga Jember utara yang menjadi kawasan penghasil tembakau.

Selain musim tembakau, Kiki menambahkan, jumlah pekerja anak tidaklah banyak. Sebab, tenaga yang dibutuhkan tidak sebanyak saat musim tembakau. “Hingga saat ini kami mendorong dan mengedukasi masyarakat agar tidak melibatkan anak bekerja di sektor tembakau,” pungkas perempuan yang telah lama mengawal isu pekerja anak tersebut.

Terpisah, Direktur Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan (LPKP) Jawa Timur Anwar Sholihin menjelaskan, berdasarkan pemetaannya, masih banyak anak yang terlibat dalam pertanian tembakau. Setidaknya terdapat 30-50 jenis pekerjaan di sektor perkebunan tembakau yang melibatkan anak.

Umumnya, Sholihin memaparkan, mereka akan bekerja dengan keluarga petani tembakau atau pengepul yang tidak bermitra dengan perusahaan. Biasanya, anak akan tergiur dengan upah yang diberikan sekitar Rp 40 ribu dalam sehari. “Memang ada anak-anak yang sifatnya membantu (orang tua, Red). Tapi, ada juga anak-anak yang sudah di-DO (tidak sekolah lagi, Red), lalu memutuskan untuk bekerja di petani tembakau. Ini yang perlu ada perhatian lebih,” tuturnya.

Reporter : Dian Cahyani

Fotografer : Dian Cahyani

Editor : Mahrus Sholih

- Advertisement -

SUMBERSARI, RADARJEMBER.ID – Secara nasional, tren pekerja anak di sektor pertanian menurun. Namun di daerah, termasuk di Jember, trennya justru berkebalikan dan cenderung bertambah. Kondisi ini dipicu beberapa faktor. Tak hanya karena pandemi yang mengakibatkan anak lebih banyak beraktivitas di rumah, tapi juga disebabkan Jember belakangan ini sedang masa panen tembakau. Sehingga menyerap banyak tenaga kerja, termasuk anak-anak.

Direktur Yayasan Prakarsa Swadaya Masyarakat (YPSM) Jember Rizki Nurhaini mengungkapkan, di Jember tren pekerja anak bertambah 10 persen. Apalagi di musim tembakau beberapa waktu lalu. Sebab, dalam proses pemanenannya membutuhkan banyak tenaga kerja. “Jadi, mulai masa pemetikan di sawah dan proses di gudang itu cukup besar penyerapan tenaganya. Jadi, anak-anak banyak yang terekrut untuk dipekerjakan di pengolahan tembakau,” ungkapnya, kemarin (14/9).

Umumnya, kata dia, anak-anak ini dipekerjakan pada bagian penjemuran, memetik daun di sawah, proses di gudang, hingga pengasapan daun tembakau di gudang. Berdasarkan pengamatannya, anak yang terlibat mulai dari yang bersekolah di jenjang SD. Sementara, anak-anak dengan rentang usia 15–18 tahun jenis pekerjaannya lebih berat. Misalnya mengangkat hasil panen, mengairi sawah, pemupukan, dan lainnya.

Menurut Kiki, faktor utamanya adalah banyaknya waktu luang yang dimiliki anak selama masa pembelajaran daring akibat pandemi. Namun, saat ini jumlah pekerja anak di perkebunan tembakau beranjak menurun karena pembelajaran tatap muka (PTM) sudah mulai dilaksanakan. Terlebih, musim tembakau sudah mulai habis. “Itu mengurangi anak-anak yang terlibat di sektor tembakau. Tapi, untuk anak-anak SD masih banyak yang terlibat,” imbuhnya.

Kondisi semacam ini mudah ditemui di daerah-daerah penghasil tembakau. Di antaranya di wilayah selatan, yaitu Desa Jambearum, Bagon, dan Wringintelu, Kecamatan Puger. Selain itu, juga beberapa desa lain di Kecamatan Wuluhan, Ambulu, hingga Jember utara yang menjadi kawasan penghasil tembakau.

Selain musim tembakau, Kiki menambahkan, jumlah pekerja anak tidaklah banyak. Sebab, tenaga yang dibutuhkan tidak sebanyak saat musim tembakau. “Hingga saat ini kami mendorong dan mengedukasi masyarakat agar tidak melibatkan anak bekerja di sektor tembakau,” pungkas perempuan yang telah lama mengawal isu pekerja anak tersebut.

Terpisah, Direktur Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan (LPKP) Jawa Timur Anwar Sholihin menjelaskan, berdasarkan pemetaannya, masih banyak anak yang terlibat dalam pertanian tembakau. Setidaknya terdapat 30-50 jenis pekerjaan di sektor perkebunan tembakau yang melibatkan anak.

Umumnya, Sholihin memaparkan, mereka akan bekerja dengan keluarga petani tembakau atau pengepul yang tidak bermitra dengan perusahaan. Biasanya, anak akan tergiur dengan upah yang diberikan sekitar Rp 40 ribu dalam sehari. “Memang ada anak-anak yang sifatnya membantu (orang tua, Red). Tapi, ada juga anak-anak yang sudah di-DO (tidak sekolah lagi, Red), lalu memutuskan untuk bekerja di petani tembakau. Ini yang perlu ada perhatian lebih,” tuturnya.

Reporter : Dian Cahyani

Fotografer : Dian Cahyani

Editor : Mahrus Sholih

SUMBERSARI, RADARJEMBER.ID – Secara nasional, tren pekerja anak di sektor pertanian menurun. Namun di daerah, termasuk di Jember, trennya justru berkebalikan dan cenderung bertambah. Kondisi ini dipicu beberapa faktor. Tak hanya karena pandemi yang mengakibatkan anak lebih banyak beraktivitas di rumah, tapi juga disebabkan Jember belakangan ini sedang masa panen tembakau. Sehingga menyerap banyak tenaga kerja, termasuk anak-anak.

Direktur Yayasan Prakarsa Swadaya Masyarakat (YPSM) Jember Rizki Nurhaini mengungkapkan, di Jember tren pekerja anak bertambah 10 persen. Apalagi di musim tembakau beberapa waktu lalu. Sebab, dalam proses pemanenannya membutuhkan banyak tenaga kerja. “Jadi, mulai masa pemetikan di sawah dan proses di gudang itu cukup besar penyerapan tenaganya. Jadi, anak-anak banyak yang terekrut untuk dipekerjakan di pengolahan tembakau,” ungkapnya, kemarin (14/9).

Umumnya, kata dia, anak-anak ini dipekerjakan pada bagian penjemuran, memetik daun di sawah, proses di gudang, hingga pengasapan daun tembakau di gudang. Berdasarkan pengamatannya, anak yang terlibat mulai dari yang bersekolah di jenjang SD. Sementara, anak-anak dengan rentang usia 15–18 tahun jenis pekerjaannya lebih berat. Misalnya mengangkat hasil panen, mengairi sawah, pemupukan, dan lainnya.

Menurut Kiki, faktor utamanya adalah banyaknya waktu luang yang dimiliki anak selama masa pembelajaran daring akibat pandemi. Namun, saat ini jumlah pekerja anak di perkebunan tembakau beranjak menurun karena pembelajaran tatap muka (PTM) sudah mulai dilaksanakan. Terlebih, musim tembakau sudah mulai habis. “Itu mengurangi anak-anak yang terlibat di sektor tembakau. Tapi, untuk anak-anak SD masih banyak yang terlibat,” imbuhnya.

Kondisi semacam ini mudah ditemui di daerah-daerah penghasil tembakau. Di antaranya di wilayah selatan, yaitu Desa Jambearum, Bagon, dan Wringintelu, Kecamatan Puger. Selain itu, juga beberapa desa lain di Kecamatan Wuluhan, Ambulu, hingga Jember utara yang menjadi kawasan penghasil tembakau.

Selain musim tembakau, Kiki menambahkan, jumlah pekerja anak tidaklah banyak. Sebab, tenaga yang dibutuhkan tidak sebanyak saat musim tembakau. “Hingga saat ini kami mendorong dan mengedukasi masyarakat agar tidak melibatkan anak bekerja di sektor tembakau,” pungkas perempuan yang telah lama mengawal isu pekerja anak tersebut.

Terpisah, Direktur Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan (LPKP) Jawa Timur Anwar Sholihin menjelaskan, berdasarkan pemetaannya, masih banyak anak yang terlibat dalam pertanian tembakau. Setidaknya terdapat 30-50 jenis pekerjaan di sektor perkebunan tembakau yang melibatkan anak.

Umumnya, Sholihin memaparkan, mereka akan bekerja dengan keluarga petani tembakau atau pengepul yang tidak bermitra dengan perusahaan. Biasanya, anak akan tergiur dengan upah yang diberikan sekitar Rp 40 ribu dalam sehari. “Memang ada anak-anak yang sifatnya membantu (orang tua, Red). Tapi, ada juga anak-anak yang sudah di-DO (tidak sekolah lagi, Red), lalu memutuskan untuk bekerja di petani tembakau. Ini yang perlu ada perhatian lebih,” tuturnya.

Reporter : Dian Cahyani

Fotografer : Dian Cahyani

Editor : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca