24.4 C
Jember
Thursday, 1 June 2023

Ngamen Pakai Angklung

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Gaya pengamen ini lain daripada yang lain. Biasanya, ngamen bersama gitar atau alat musik kecrek. Tapi yang dilakukan Muhidin beda. Pria asal Dusun Ampo, Desa Dukuhmencek, Kecamatan Sukorambi ini selalu menggunakan angklung sebagai senjata utamanya.

”Asyik aja. Biar beda. Toh dengan angklung bisa melestarikan budaya kita,” seloroh Muhidin, saat ngamen di sekitar lampu merah Sempusari, kemarin. Apalagi yang dia tahu, di Jember belum ada pengamen seperti dirinya.

Angklung itu dia beli seharga Rp 1,8 juta, di Purwokerto, Jawa Tengah. Dia pun belajar memainkannya secara otodidak. ”Lumayan, dari ngamen ini sehari bisa dapat sekitar Rp 80 ribu. Pagi hingga sore hari,” jelasnya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Bagi Muhidin, jadi pengamen jalanan tidak pernah disesali sedikitpun. Bahkan alumni sebuah SMK Negeri di Jember itu memiliki kebanggaan menggeluti profesi pengamen jalanan. Karena sebagian hasil ngamen tidak dia gunakan untuk kepentingan sendiri. Namun sebagian diserahkan kepada orangtua.

“Dulu pernah ngamen di Mojokerto dan Sidoarjo. Tapi  sering  kucing-kucingan dengan Satpol PP,” ungkap Muhidin. Beberapa waktu hidup di rantau, dia pun memutuskan balik Jember, tetap sebagai pengamen jalanan.

Anak bungsu dari tiga bersaudara itu sebenarnya pernah bekerja di sebuah perusahaan pertanian namun ia memilih mundur.

“Aku ini tidak mau terikat karena itu mundur dari perusahaan, di sinilah sebagai musisi jalanan aku menemukan kebebasan dan seni adalah panggilan jiwaku,” imbuh Muhidin.

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Gaya pengamen ini lain daripada yang lain. Biasanya, ngamen bersama gitar atau alat musik kecrek. Tapi yang dilakukan Muhidin beda. Pria asal Dusun Ampo, Desa Dukuhmencek, Kecamatan Sukorambi ini selalu menggunakan angklung sebagai senjata utamanya.

”Asyik aja. Biar beda. Toh dengan angklung bisa melestarikan budaya kita,” seloroh Muhidin, saat ngamen di sekitar lampu merah Sempusari, kemarin. Apalagi yang dia tahu, di Jember belum ada pengamen seperti dirinya.

Angklung itu dia beli seharga Rp 1,8 juta, di Purwokerto, Jawa Tengah. Dia pun belajar memainkannya secara otodidak. ”Lumayan, dari ngamen ini sehari bisa dapat sekitar Rp 80 ribu. Pagi hingga sore hari,” jelasnya.

Bagi Muhidin, jadi pengamen jalanan tidak pernah disesali sedikitpun. Bahkan alumni sebuah SMK Negeri di Jember itu memiliki kebanggaan menggeluti profesi pengamen jalanan. Karena sebagian hasil ngamen tidak dia gunakan untuk kepentingan sendiri. Namun sebagian diserahkan kepada orangtua.

“Dulu pernah ngamen di Mojokerto dan Sidoarjo. Tapi  sering  kucing-kucingan dengan Satpol PP,” ungkap Muhidin. Beberapa waktu hidup di rantau, dia pun memutuskan balik Jember, tetap sebagai pengamen jalanan.

Anak bungsu dari tiga bersaudara itu sebenarnya pernah bekerja di sebuah perusahaan pertanian namun ia memilih mundur.

“Aku ini tidak mau terikat karena itu mundur dari perusahaan, di sinilah sebagai musisi jalanan aku menemukan kebebasan dan seni adalah panggilan jiwaku,” imbuh Muhidin.

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Gaya pengamen ini lain daripada yang lain. Biasanya, ngamen bersama gitar atau alat musik kecrek. Tapi yang dilakukan Muhidin beda. Pria asal Dusun Ampo, Desa Dukuhmencek, Kecamatan Sukorambi ini selalu menggunakan angklung sebagai senjata utamanya.

”Asyik aja. Biar beda. Toh dengan angklung bisa melestarikan budaya kita,” seloroh Muhidin, saat ngamen di sekitar lampu merah Sempusari, kemarin. Apalagi yang dia tahu, di Jember belum ada pengamen seperti dirinya.

Angklung itu dia beli seharga Rp 1,8 juta, di Purwokerto, Jawa Tengah. Dia pun belajar memainkannya secara otodidak. ”Lumayan, dari ngamen ini sehari bisa dapat sekitar Rp 80 ribu. Pagi hingga sore hari,” jelasnya.

Bagi Muhidin, jadi pengamen jalanan tidak pernah disesali sedikitpun. Bahkan alumni sebuah SMK Negeri di Jember itu memiliki kebanggaan menggeluti profesi pengamen jalanan. Karena sebagian hasil ngamen tidak dia gunakan untuk kepentingan sendiri. Namun sebagian diserahkan kepada orangtua.

“Dulu pernah ngamen di Mojokerto dan Sidoarjo. Tapi  sering  kucing-kucingan dengan Satpol PP,” ungkap Muhidin. Beberapa waktu hidup di rantau, dia pun memutuskan balik Jember, tetap sebagai pengamen jalanan.

Anak bungsu dari tiga bersaudara itu sebenarnya pernah bekerja di sebuah perusahaan pertanian namun ia memilih mundur.

“Aku ini tidak mau terikat karena itu mundur dari perusahaan, di sinilah sebagai musisi jalanan aku menemukan kebebasan dan seni adalah panggilan jiwaku,” imbuh Muhidin.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca