22.9 C
Jember
Wednesday, 29 March 2023

Jamaah Aboge Salat Id Hari Kedua

Mundur Sehari, Mengikuti Penanggalan Jawa

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Jamaah Aboge di Dusun Penitik, Desa Wonosari, Kecamatan Puger, merayakan malam takbir, Kamis (13/5) malam, dan disusul dengan salat Idul Fitri, Jumat (14/5) pagi. Pelaksanaan salat Idul Fitri jamaah Aboge di kampung ini berbeda dari kebanyakan masyarakat lain yang pada umumnya melaksanakan sehari sebelumnya.

Ustad Nurul Amnam, tokoh jamaah Aboge di Dusun Penitik itu, mengatakan, jamaahnya memang terbiasa berbeda dalam merayakan Idul Fitri dengan masyarakat pada umumnya. Bahkan, saat awal memasuki Ramadan lalu, para jamaah di sekitar rumahnya juga mundur sehari dari umumnya. “Jadi, mayoritas sudah puasa dua hari, kami dan sebagian masyarakat sini masih baru puasa sehari,” ungkap Nurul.

Sementara itu, Waras, tokoh jamaah Aboge yang lain, menjelaskan, jadwal pelaksanaan ibadah saat Ramadan maupun Lebaran diakuinya memang berbeda dari masyarakat kebanyakan. “Jika masyarakat banyak mengikuti penanggalan umum, kami mengikuti penanggalan Jawa,” jelasnya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Kendati berbeda waktu, namun hal itu tidak selalu berselisih. Kadang lebih maju satu hari atau mundur satu hari. “Terkadang perayaannya juga bareng dengan waktu penanggalan umum. Itu juga sering,” imbuh pria 50 tahun ini.

Ia menambahkan, pelaksanaan ibadah masyarakat di sekitar dusun itu juga sama persis seperti umat Islam kebanyakan. Mereka Tarawih, tahlil, maulidan, selametan, dan lain-lainnya. “Ada sekitar 30-an orang. Rata-rata keluarga ketemu keluarga,” tambahnya.

Banyak yang menyebut kelompok minoritas penganut beragama ini sebagai Islam Aboge, atau Islam Alif Rabo Wage. Namun, para penganut di dusun itu mengaku tidak memiliki identitas resmi seperti kelompok atau organisasi keagamaan macam NU atau Muhammadiyah. “Kami hanya melestarikan ajaran Islam yang dibawa sesepuh dan buyut-buyut kami. Itu saja,” tukasnya.

Jawa Pos Radar Jember berkesempatan mengamati pelaksanaan salat Id di masjid kuno tersebut. Umumnya, tidak ada yang berbeda dengan ritual salat Id dengan umat Islam lainnya. Diawali dengan takbir bersama, lalu salat dua rakaat, dan diikuti dengan khotbah. Hanya, setelah selesai melakukan salat Id, para jamaah tidak langsung pulang. Mereka menggelar kenduri di serambi masjid. Setelah itu, makan bersama, dan disusul dengan ziarah ke makam sesepuh yang letaknya persis di belakang masjid. “Makam tersebut adalah pesarean Mbah Haji Nur, pendiri masjid ini,” tutur Wagiyo, jamaah setempat.

 

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Mahrus Sholih
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Jamaah Aboge di Dusun Penitik, Desa Wonosari, Kecamatan Puger, merayakan malam takbir, Kamis (13/5) malam, dan disusul dengan salat Idul Fitri, Jumat (14/5) pagi. Pelaksanaan salat Idul Fitri jamaah Aboge di kampung ini berbeda dari kebanyakan masyarakat lain yang pada umumnya melaksanakan sehari sebelumnya.

Ustad Nurul Amnam, tokoh jamaah Aboge di Dusun Penitik itu, mengatakan, jamaahnya memang terbiasa berbeda dalam merayakan Idul Fitri dengan masyarakat pada umumnya. Bahkan, saat awal memasuki Ramadan lalu, para jamaah di sekitar rumahnya juga mundur sehari dari umumnya. “Jadi, mayoritas sudah puasa dua hari, kami dan sebagian masyarakat sini masih baru puasa sehari,” ungkap Nurul.

Sementara itu, Waras, tokoh jamaah Aboge yang lain, menjelaskan, jadwal pelaksanaan ibadah saat Ramadan maupun Lebaran diakuinya memang berbeda dari masyarakat kebanyakan. “Jika masyarakat banyak mengikuti penanggalan umum, kami mengikuti penanggalan Jawa,” jelasnya.

Kendati berbeda waktu, namun hal itu tidak selalu berselisih. Kadang lebih maju satu hari atau mundur satu hari. “Terkadang perayaannya juga bareng dengan waktu penanggalan umum. Itu juga sering,” imbuh pria 50 tahun ini.

Ia menambahkan, pelaksanaan ibadah masyarakat di sekitar dusun itu juga sama persis seperti umat Islam kebanyakan. Mereka Tarawih, tahlil, maulidan, selametan, dan lain-lainnya. “Ada sekitar 30-an orang. Rata-rata keluarga ketemu keluarga,” tambahnya.

Banyak yang menyebut kelompok minoritas penganut beragama ini sebagai Islam Aboge, atau Islam Alif Rabo Wage. Namun, para penganut di dusun itu mengaku tidak memiliki identitas resmi seperti kelompok atau organisasi keagamaan macam NU atau Muhammadiyah. “Kami hanya melestarikan ajaran Islam yang dibawa sesepuh dan buyut-buyut kami. Itu saja,” tukasnya.

Jawa Pos Radar Jember berkesempatan mengamati pelaksanaan salat Id di masjid kuno tersebut. Umumnya, tidak ada yang berbeda dengan ritual salat Id dengan umat Islam lainnya. Diawali dengan takbir bersama, lalu salat dua rakaat, dan diikuti dengan khotbah. Hanya, setelah selesai melakukan salat Id, para jamaah tidak langsung pulang. Mereka menggelar kenduri di serambi masjid. Setelah itu, makan bersama, dan disusul dengan ziarah ke makam sesepuh yang letaknya persis di belakang masjid. “Makam tersebut adalah pesarean Mbah Haji Nur, pendiri masjid ini,” tutur Wagiyo, jamaah setempat.

 

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Mahrus Sholih
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Jamaah Aboge di Dusun Penitik, Desa Wonosari, Kecamatan Puger, merayakan malam takbir, Kamis (13/5) malam, dan disusul dengan salat Idul Fitri, Jumat (14/5) pagi. Pelaksanaan salat Idul Fitri jamaah Aboge di kampung ini berbeda dari kebanyakan masyarakat lain yang pada umumnya melaksanakan sehari sebelumnya.

Ustad Nurul Amnam, tokoh jamaah Aboge di Dusun Penitik itu, mengatakan, jamaahnya memang terbiasa berbeda dalam merayakan Idul Fitri dengan masyarakat pada umumnya. Bahkan, saat awal memasuki Ramadan lalu, para jamaah di sekitar rumahnya juga mundur sehari dari umumnya. “Jadi, mayoritas sudah puasa dua hari, kami dan sebagian masyarakat sini masih baru puasa sehari,” ungkap Nurul.

Sementara itu, Waras, tokoh jamaah Aboge yang lain, menjelaskan, jadwal pelaksanaan ibadah saat Ramadan maupun Lebaran diakuinya memang berbeda dari masyarakat kebanyakan. “Jika masyarakat banyak mengikuti penanggalan umum, kami mengikuti penanggalan Jawa,” jelasnya.

Kendati berbeda waktu, namun hal itu tidak selalu berselisih. Kadang lebih maju satu hari atau mundur satu hari. “Terkadang perayaannya juga bareng dengan waktu penanggalan umum. Itu juga sering,” imbuh pria 50 tahun ini.

Ia menambahkan, pelaksanaan ibadah masyarakat di sekitar dusun itu juga sama persis seperti umat Islam kebanyakan. Mereka Tarawih, tahlil, maulidan, selametan, dan lain-lainnya. “Ada sekitar 30-an orang. Rata-rata keluarga ketemu keluarga,” tambahnya.

Banyak yang menyebut kelompok minoritas penganut beragama ini sebagai Islam Aboge, atau Islam Alif Rabo Wage. Namun, para penganut di dusun itu mengaku tidak memiliki identitas resmi seperti kelompok atau organisasi keagamaan macam NU atau Muhammadiyah. “Kami hanya melestarikan ajaran Islam yang dibawa sesepuh dan buyut-buyut kami. Itu saja,” tukasnya.

Jawa Pos Radar Jember berkesempatan mengamati pelaksanaan salat Id di masjid kuno tersebut. Umumnya, tidak ada yang berbeda dengan ritual salat Id dengan umat Islam lainnya. Diawali dengan takbir bersama, lalu salat dua rakaat, dan diikuti dengan khotbah. Hanya, setelah selesai melakukan salat Id, para jamaah tidak langsung pulang. Mereka menggelar kenduri di serambi masjid. Setelah itu, makan bersama, dan disusul dengan ziarah ke makam sesepuh yang letaknya persis di belakang masjid. “Makam tersebut adalah pesarean Mbah Haji Nur, pendiri masjid ini,” tutur Wagiyo, jamaah setempat.

 

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Mahrus Sholih
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca