SUMBERSARI, RADARJEMBER.ID– Bandara Notohadinegoro Jember belakangan terus menyita perhatian publik. Setelah kabar berhentinya operasi pesawat dan hanya terbang 1 bulan 10 hari, kini sejumlah problem lain muncul dan menyelimuti keberadaannya.
Sebagaimana diketahui, bandara itu diprakarsai era Bupati Jember Samsul Hadi Siswoyo pada tahun 2003 silam, dengan menelan APBD Jember mencapai Rp 30 miliar. Bandara yang berlokasi persis di Desa Wirowongso, Kecamatan Ajung, itu berdiri di atas lahan seluas 120 hektare yang merupakan hak guna usaha (HGU) PTPN XII. Panjang landasan pacu sekitar 1.560 meter yang bisa untuk take off atau landing pesawat jenis ATR atau Cessna Grand Caravan.
Bandara itu merupakan bandara umum sipil pertama di Indonesia yang dibangun menggunakan kekuatan APBD. “Bandara Notohadinegoro ini merupakan satu-satunya bandara perintis yang dikelola sendiri oleh pemerintah daerah,” urai Kepala Inspektorat Jember Ratno Cahyadi Sembodo, saat hearing di DPRD Jember, Senin (13/3).
Ratno mengaku mengetahui sekilas riwayat keberadaan bandara tersebut. Ia mengungkapkan, selama ini berjalannya event-event yang diselenggarakan pemerintah daerah sering kali terasa kurang optimal lantaran keberadaan bandara yang hidup segan mati pun tak mau. Pemerintah daerah juga cukup kesulitan memperoleh keuntungan dari keberadaan bandara jika hanya mengandalkan operasional terbang setiap harinya.
Terlebih, bandara Jember tidak memenuhi syarat untuk bisa dibiayai menggunakan APBN, karena Kabupaten Jember bukan termasuk daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Meski begitu, Ratno mengakui sebenarnya APBN juga telah menyubsidi penerbangan pesawat di Jember, untuk rute Jember-Sumenep dan dari arah sebaliknya hanya dengan tiket Rp 250 ribu per orang. “Tiket Rp 250 ribu itu artinya APBN siap tekor. Tapi itu program nasional, tidak melihat untung rugi, karena ada kepentingan nasional agar semua terkoneksi,” katanya.
Ratno juga mengutarakan, idealnya keberadaan bandara dikerjasamakan dengan PT Angkasa Pura, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang kebandarudaraan. Salah satunya berada di Banyuwangi. Selain diuntungkan bisa melakukan subsidi silang, kerja sama dengan PT Angkasa Pura juga dimungkinkan membuat napas bandara bisa lebih leluasa dan panjang. “Kalau hanya dikelola pemkab, haqqul yakin, pasti hanya mengandalkan subsidi. Sementara, kebutuhan operasional harus terus jalan. Ini yang berat,” jelasnya.
Pemerintah daerah, lanjut Ratno, sempat menyodorkan kerja sama kepada PT Angkasa Pura, namun sejauh ini belum ada tanda-tanda lampu hijau dari pihak PT tersebut. Ditambah, status tanah bandara yang masih HGU PTPN XII juga menjadi faktor penghambat pengembangan bandara. Hal itu pula yang membuat sejumlah maskapai penerbangan yang sempat beroperasi di Bandara Notohadinegoro, namun hanya dalam hitungan beberapa bulan, karena problem laten okupansi rendah. Seperti Maskapai Garuda dan Wings yang pernah membuka jalur penerbangan Surabaya-Jember dan Jember-Surabaya.
Namun demikian, Ratno melanjutkan, ada atau tidak ada penerbangan, Bandara Notohadinegoro tidak boleh tutup, karena sudah mendapatkan lisensi resmi dari Kementerian Perhubungan. “Ada atau tidak ada pesawat, tetap harus beroperasi. Karena ini merupakan mandat dari negara kepada Pemkab Jember untuk mengoperasikan bandara,” imbuhnya.
Ketua Komisi B DPRD Jember Siswono menangkap, permasalahan tersebut sebagai akumulasi dari problem lahan yang dinilainya menjadi paling krusial. Menurut Suswono, selama ini sulit bagi pemerintah daerah bisa mengembangkan bandara tanpa terlebih dahulu menyelesaikan status kerja sama lahan dengan pihak PTPN XII. “Kalau mau dikembangkan, mau tidak mau urusan lahan ini harus klir dulu dengan pihak PTPN,” pintanya.
Politisi Gerindra itu juga mengutarakan, memang tidak mudah untuk memperoleh akses penuh atas lahan tersebut. Terlebih, problem lahan seperti itu hampir terjadi di berbagai daerah, bukan hanya di Jember, meski dalam regulasi mengaturnya bisa melalui tukar guling, ganti rugi, dan hibah. “Problem seperti itu hampir terjadi di berbagai pemerintahan daerah. Namun, bukan berarti tidak bisa terselesaikan. Karena itu jalan pertama penyelesaiannya soal lahan ini dulu yang harus klir,” tegasnya. (mau/c2/nur)