23.3 C
Jember
Wednesday, 29 March 2023

Ancaman Generasi Kerdil – Sektor Kesehatan (4 Sektor Prioritas Hendy-Firjaun)

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sebagaimana pendidikan, kesehatan juga merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi pemerintah. Namun, di Jember problem kesehatan tak melulu pada pemenuhan dan layanan  kesehatan saja, tapi juga tingginya ancaman kematian ibu dan bayi, serta balita tumbuh kerdil alias stunting. Bahkan, khusus kasus stunting, Jember sempat menjadi perhatian pemerintah pusat.

Berdasar Riset Kesehatan Daerah (Riskesda) pada 2018, kasus stunting di Jember menempati urutan kedelapan di Jawa Timur. Berdasar data, jumlah balita stunting di Jember pada 2017 mencapai 17,83 persen atau sebanyak 29.020 balita. Meski jumlahnya turun pada 2018, tapi angkanya tetap tinggi. Mencapai 11,83 persen atau 17.344 balita.

Kala itu, pemerintah pusat sampai menginstruksikan Pemkab Jember agar menjadikan 10 desa menjadi sasaran pencegahan dan penanganan stunting. Yakni Desa Ngampelrejo (Kecamatan Jombang), Purwoasri (Gumukmas), Glagahwero (Panti), Cangkring (Jenggawah), Tempurejo, Jelbuk, Patempuran dan Gambiran (Kalisat), serta Sukogidri dan Desa Slateng (Ledokombo). Meski trennya disebut terus menurun, tapi hingga saat ini belum ada angka yang dirilis resmi pemerintah tentang kasus stunting di Jember pada 2019 dan 2020.

Mobile_AP_Rectangle 2

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember (FKM Unej) Dr Dewi Rokhmah sempat melakukan survei terhadap lima kecamatan di Jember dengan kasus stunting tertinggi pada 2018 lalu. Yakni, Kecamatan Balung, Kaliwates, Sumberjambe, Arjasa, dan Sukorambi.

Menurutnya, ada beberapa hal yang mengakibatkan tingginya angka stunting di lima kecamatan tersebut. Di antaranya, praktik pengasuhan yang kurang baik, terbatasnya layanan kesehatan, kurangnya akses rumah tangga mendapatkan makanan bergizi, serta kurangnya akses air bersih dan sanitasi. “Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada kehamilan, serta setelah ibu melahirkan,” paparnya.

Berdasar data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kata dia, menurunnya tingkat kehadiran anak di posyandu juga menjadi penyebab lain. Sebab, di tahun yang sama, jumlah kunjungan ke posyandu menurun dari 74 persen menjadi 64 persen. “Untuk sanitasi dan air bersih, data menunjukan bahwa masih ada masyarakat yang membuang air di ruang terbuka,” imbuhnya.

Dewi menjelaskan, stunting mengakibatkan pertumbuhan anak terhambat. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal. Selain itu, postur tubuh mereka menjadi lebih pendek. “Stunting juga berpengaruh pada kesehatan otak,” lanjutnya.

Jika tidak segera ditangani, dalam jangka panjang stunting bisa mengakibatkan banyak hal yang merugikan. Seperti mudah terpapar berbagai macam penyakit, fungsi-fungsi tubuh tidak seimbang, dan bisa berujung kematian.

Dia menegaskan, akar permasalahan kesehatan ibu dan anak itu ada banyak dan saling berhubungan. Salah satunya karena meningkatnya angka pernikahan dini. Saat seseorang dipaksakan menikah di usia muda, maka anatomi tubuhnya tidak siap. Kondisi ini disebutnya akan memengaruhi pola asuh.

Selanjutnya, karena tingginya angka kemiskinan. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jember, angka kemiskinan di Jember meningkat. Persentase jumlah penduduk miskin pada 2020 naik sebesar 0,84 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jika 2019 persentase penduduk miskin sebesar 9,25 persen, pada 2020 naik menjadi 10,09 persen. “Tentunya, angka stunting diprediksi bakal meningkat tahun ini,” ucap Wakil Dekan 3 FKM Unej itu.

Kemiskinan yang meningkat membuat masyarakat tidak bisa mencukupi kebutuhan gizi keluarganya. Tak hanya itu, akses informasi yang didapat masyarakat miskin rendah. Kemiskinan juga menyumbang rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Oleh karena itu, dia berharap, pemerintah menempatkan bidang kesehatan, utamanya isu stunting, sebagai program prioritas. “Stunting memengaruhi kualitas generasi muda. Pemerintah harus melibatkan masyarakat dan bekerja sama dengan para akademisi untuk mencari solusi,” terangnya.

Dewi menjelaskan, pemerintah harus turun tangan untuk meyakinkan masyarakat dan mendobrak tradisi yang sebenarnya kontraproduktif dengan kesehatan ibu dan bayi. Misalnya, larangan makan telur dan ikan tertentu saat hamil dan menyusui lantaran dipercaya mengakibatkan suatu hal buruk terjadi. Padahal, ibu hamil dan menyusui butuh nutrisi cukup untuk kesehatan dia dan anaknya. Kebiasaan semacam ini yang perlu dibongkar. Dan hal itu perlu campur tangan pemerintah.

Di sisi lain, adanya wabah Covid-19 ini mengharuskan pemerintah menyusun langkah strategis yang dapat menjawab problem tersebut. Sebab, selama ini upaya penanggulangan stunting itu terhambat karena pandemi. Para petugas tidak bisa terjun langsung ke masyarakat untuk melakukan edukasi ke rumah-rumah. “Selain meningkatnya angka kemiskinan, pandemi Covid-19 juga diprediksi menjadi faktor penyumbang meningkatnya angka stunting tahun ini,” pungkasnya.

Untuk mengetahui data stunting pada 2020 apakah ada penurunan atau justru meningkat, Jawa Pos Radar Jember berusaha menghubungi Plt Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Jember Dyah Kusworini Indriaswati. Namun, upaya meminta penjelasan itu tak membuahkan hasil. Dyah tidak merespons pertanyaan yang dikirim wartawan.

Jurnalis : Isnein Purnomo
Grafis : Cecep Arjiansyah
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sebagaimana pendidikan, kesehatan juga merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi pemerintah. Namun, di Jember problem kesehatan tak melulu pada pemenuhan dan layanan  kesehatan saja, tapi juga tingginya ancaman kematian ibu dan bayi, serta balita tumbuh kerdil alias stunting. Bahkan, khusus kasus stunting, Jember sempat menjadi perhatian pemerintah pusat.

Berdasar Riset Kesehatan Daerah (Riskesda) pada 2018, kasus stunting di Jember menempati urutan kedelapan di Jawa Timur. Berdasar data, jumlah balita stunting di Jember pada 2017 mencapai 17,83 persen atau sebanyak 29.020 balita. Meski jumlahnya turun pada 2018, tapi angkanya tetap tinggi. Mencapai 11,83 persen atau 17.344 balita.

Kala itu, pemerintah pusat sampai menginstruksikan Pemkab Jember agar menjadikan 10 desa menjadi sasaran pencegahan dan penanganan stunting. Yakni Desa Ngampelrejo (Kecamatan Jombang), Purwoasri (Gumukmas), Glagahwero (Panti), Cangkring (Jenggawah), Tempurejo, Jelbuk, Patempuran dan Gambiran (Kalisat), serta Sukogidri dan Desa Slateng (Ledokombo). Meski trennya disebut terus menurun, tapi hingga saat ini belum ada angka yang dirilis resmi pemerintah tentang kasus stunting di Jember pada 2019 dan 2020.

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember (FKM Unej) Dr Dewi Rokhmah sempat melakukan survei terhadap lima kecamatan di Jember dengan kasus stunting tertinggi pada 2018 lalu. Yakni, Kecamatan Balung, Kaliwates, Sumberjambe, Arjasa, dan Sukorambi.

Menurutnya, ada beberapa hal yang mengakibatkan tingginya angka stunting di lima kecamatan tersebut. Di antaranya, praktik pengasuhan yang kurang baik, terbatasnya layanan kesehatan, kurangnya akses rumah tangga mendapatkan makanan bergizi, serta kurangnya akses air bersih dan sanitasi. “Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada kehamilan, serta setelah ibu melahirkan,” paparnya.

Berdasar data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kata dia, menurunnya tingkat kehadiran anak di posyandu juga menjadi penyebab lain. Sebab, di tahun yang sama, jumlah kunjungan ke posyandu menurun dari 74 persen menjadi 64 persen. “Untuk sanitasi dan air bersih, data menunjukan bahwa masih ada masyarakat yang membuang air di ruang terbuka,” imbuhnya.

Dewi menjelaskan, stunting mengakibatkan pertumbuhan anak terhambat. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal. Selain itu, postur tubuh mereka menjadi lebih pendek. “Stunting juga berpengaruh pada kesehatan otak,” lanjutnya.

Jika tidak segera ditangani, dalam jangka panjang stunting bisa mengakibatkan banyak hal yang merugikan. Seperti mudah terpapar berbagai macam penyakit, fungsi-fungsi tubuh tidak seimbang, dan bisa berujung kematian.

Dia menegaskan, akar permasalahan kesehatan ibu dan anak itu ada banyak dan saling berhubungan. Salah satunya karena meningkatnya angka pernikahan dini. Saat seseorang dipaksakan menikah di usia muda, maka anatomi tubuhnya tidak siap. Kondisi ini disebutnya akan memengaruhi pola asuh.

Selanjutnya, karena tingginya angka kemiskinan. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jember, angka kemiskinan di Jember meningkat. Persentase jumlah penduduk miskin pada 2020 naik sebesar 0,84 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jika 2019 persentase penduduk miskin sebesar 9,25 persen, pada 2020 naik menjadi 10,09 persen. “Tentunya, angka stunting diprediksi bakal meningkat tahun ini,” ucap Wakil Dekan 3 FKM Unej itu.

Kemiskinan yang meningkat membuat masyarakat tidak bisa mencukupi kebutuhan gizi keluarganya. Tak hanya itu, akses informasi yang didapat masyarakat miskin rendah. Kemiskinan juga menyumbang rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Oleh karena itu, dia berharap, pemerintah menempatkan bidang kesehatan, utamanya isu stunting, sebagai program prioritas. “Stunting memengaruhi kualitas generasi muda. Pemerintah harus melibatkan masyarakat dan bekerja sama dengan para akademisi untuk mencari solusi,” terangnya.

Dewi menjelaskan, pemerintah harus turun tangan untuk meyakinkan masyarakat dan mendobrak tradisi yang sebenarnya kontraproduktif dengan kesehatan ibu dan bayi. Misalnya, larangan makan telur dan ikan tertentu saat hamil dan menyusui lantaran dipercaya mengakibatkan suatu hal buruk terjadi. Padahal, ibu hamil dan menyusui butuh nutrisi cukup untuk kesehatan dia dan anaknya. Kebiasaan semacam ini yang perlu dibongkar. Dan hal itu perlu campur tangan pemerintah.

Di sisi lain, adanya wabah Covid-19 ini mengharuskan pemerintah menyusun langkah strategis yang dapat menjawab problem tersebut. Sebab, selama ini upaya penanggulangan stunting itu terhambat karena pandemi. Para petugas tidak bisa terjun langsung ke masyarakat untuk melakukan edukasi ke rumah-rumah. “Selain meningkatnya angka kemiskinan, pandemi Covid-19 juga diprediksi menjadi faktor penyumbang meningkatnya angka stunting tahun ini,” pungkasnya.

Untuk mengetahui data stunting pada 2020 apakah ada penurunan atau justru meningkat, Jawa Pos Radar Jember berusaha menghubungi Plt Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Jember Dyah Kusworini Indriaswati. Namun, upaya meminta penjelasan itu tak membuahkan hasil. Dyah tidak merespons pertanyaan yang dikirim wartawan.

Jurnalis : Isnein Purnomo
Grafis : Cecep Arjiansyah
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sebagaimana pendidikan, kesehatan juga merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi pemerintah. Namun, di Jember problem kesehatan tak melulu pada pemenuhan dan layanan  kesehatan saja, tapi juga tingginya ancaman kematian ibu dan bayi, serta balita tumbuh kerdil alias stunting. Bahkan, khusus kasus stunting, Jember sempat menjadi perhatian pemerintah pusat.

Berdasar Riset Kesehatan Daerah (Riskesda) pada 2018, kasus stunting di Jember menempati urutan kedelapan di Jawa Timur. Berdasar data, jumlah balita stunting di Jember pada 2017 mencapai 17,83 persen atau sebanyak 29.020 balita. Meski jumlahnya turun pada 2018, tapi angkanya tetap tinggi. Mencapai 11,83 persen atau 17.344 balita.

Kala itu, pemerintah pusat sampai menginstruksikan Pemkab Jember agar menjadikan 10 desa menjadi sasaran pencegahan dan penanganan stunting. Yakni Desa Ngampelrejo (Kecamatan Jombang), Purwoasri (Gumukmas), Glagahwero (Panti), Cangkring (Jenggawah), Tempurejo, Jelbuk, Patempuran dan Gambiran (Kalisat), serta Sukogidri dan Desa Slateng (Ledokombo). Meski trennya disebut terus menurun, tapi hingga saat ini belum ada angka yang dirilis resmi pemerintah tentang kasus stunting di Jember pada 2019 dan 2020.

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember (FKM Unej) Dr Dewi Rokhmah sempat melakukan survei terhadap lima kecamatan di Jember dengan kasus stunting tertinggi pada 2018 lalu. Yakni, Kecamatan Balung, Kaliwates, Sumberjambe, Arjasa, dan Sukorambi.

Menurutnya, ada beberapa hal yang mengakibatkan tingginya angka stunting di lima kecamatan tersebut. Di antaranya, praktik pengasuhan yang kurang baik, terbatasnya layanan kesehatan, kurangnya akses rumah tangga mendapatkan makanan bergizi, serta kurangnya akses air bersih dan sanitasi. “Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada kehamilan, serta setelah ibu melahirkan,” paparnya.

Berdasar data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kata dia, menurunnya tingkat kehadiran anak di posyandu juga menjadi penyebab lain. Sebab, di tahun yang sama, jumlah kunjungan ke posyandu menurun dari 74 persen menjadi 64 persen. “Untuk sanitasi dan air bersih, data menunjukan bahwa masih ada masyarakat yang membuang air di ruang terbuka,” imbuhnya.

Dewi menjelaskan, stunting mengakibatkan pertumbuhan anak terhambat. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal. Selain itu, postur tubuh mereka menjadi lebih pendek. “Stunting juga berpengaruh pada kesehatan otak,” lanjutnya.

Jika tidak segera ditangani, dalam jangka panjang stunting bisa mengakibatkan banyak hal yang merugikan. Seperti mudah terpapar berbagai macam penyakit, fungsi-fungsi tubuh tidak seimbang, dan bisa berujung kematian.

Dia menegaskan, akar permasalahan kesehatan ibu dan anak itu ada banyak dan saling berhubungan. Salah satunya karena meningkatnya angka pernikahan dini. Saat seseorang dipaksakan menikah di usia muda, maka anatomi tubuhnya tidak siap. Kondisi ini disebutnya akan memengaruhi pola asuh.

Selanjutnya, karena tingginya angka kemiskinan. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jember, angka kemiskinan di Jember meningkat. Persentase jumlah penduduk miskin pada 2020 naik sebesar 0,84 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jika 2019 persentase penduduk miskin sebesar 9,25 persen, pada 2020 naik menjadi 10,09 persen. “Tentunya, angka stunting diprediksi bakal meningkat tahun ini,” ucap Wakil Dekan 3 FKM Unej itu.

Kemiskinan yang meningkat membuat masyarakat tidak bisa mencukupi kebutuhan gizi keluarganya. Tak hanya itu, akses informasi yang didapat masyarakat miskin rendah. Kemiskinan juga menyumbang rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Oleh karena itu, dia berharap, pemerintah menempatkan bidang kesehatan, utamanya isu stunting, sebagai program prioritas. “Stunting memengaruhi kualitas generasi muda. Pemerintah harus melibatkan masyarakat dan bekerja sama dengan para akademisi untuk mencari solusi,” terangnya.

Dewi menjelaskan, pemerintah harus turun tangan untuk meyakinkan masyarakat dan mendobrak tradisi yang sebenarnya kontraproduktif dengan kesehatan ibu dan bayi. Misalnya, larangan makan telur dan ikan tertentu saat hamil dan menyusui lantaran dipercaya mengakibatkan suatu hal buruk terjadi. Padahal, ibu hamil dan menyusui butuh nutrisi cukup untuk kesehatan dia dan anaknya. Kebiasaan semacam ini yang perlu dibongkar. Dan hal itu perlu campur tangan pemerintah.

Di sisi lain, adanya wabah Covid-19 ini mengharuskan pemerintah menyusun langkah strategis yang dapat menjawab problem tersebut. Sebab, selama ini upaya penanggulangan stunting itu terhambat karena pandemi. Para petugas tidak bisa terjun langsung ke masyarakat untuk melakukan edukasi ke rumah-rumah. “Selain meningkatnya angka kemiskinan, pandemi Covid-19 juga diprediksi menjadi faktor penyumbang meningkatnya angka stunting tahun ini,” pungkasnya.

Untuk mengetahui data stunting pada 2020 apakah ada penurunan atau justru meningkat, Jawa Pos Radar Jember berusaha menghubungi Plt Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Jember Dyah Kusworini Indriaswati. Namun, upaya meminta penjelasan itu tak membuahkan hasil. Dyah tidak merespons pertanyaan yang dikirim wartawan.

Jurnalis : Isnein Purnomo
Grafis : Cecep Arjiansyah
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca