26.6 C
Jember
Wednesday, 31 May 2023

Waspada! Kondisi Lahan Pertanian di Jember Mulai Kritis

Ketika Penggunaan Pupuk Kimia Kian Jor-joran

Mobile_AP_Rectangle 1

YUSMAN Arif menyapa Jawa Pos Radar Jember yang berkunjung ke kediamannya, belum lama ini. Dia masih mengenakan sarung dan wajahnya seperti baru bangun tidur. Petani muda 33 tahun ini mengaku baru saja tiba dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Tubuhnya masih terasa lelah dan butuh istirahat cukup. Di NTB, dia diminta melihat langsung lahan pertanian jagung yang kondisinya mulai kritis, serta bagaimana cara mengatasinya.
Yusman diminta ke NTB untuk berbagi pengalaman menangani lahan kritis. Sebab, sebelumnya dia pernah mengalami kasus serupa dan kini telah keluar dari persoalan itu. Sejak 2014, dia bercerita, jiwa mudanya untuk bertani menggebu-gebu. Yusman ingin menggenjot hasil produksi pertanian di lahannya yang berada di Kecamatan Tanggul. Namun, cara yang dulu dia gunakan salah. Selain pola tanam yang monoton, dirinya juga memberi pupuk berlebihan. “Padi terus, tidak dikasih jeda tanaman lain,” tuturnya.
Pola pemupukan juga serampangan. Tidak menggunakan rabuk berimbang. Sekali tanam dalam satu hektare sawah, pada pemupukan pertama setidaknya diberikan tujuh sampai delapan sak rabuk kimia. Pemupukan kedua juga sama. Dia terus menghujani sawahnya dengan urea atau pupuk kimia yang mengandung nitrogen tinggi. Hasilnya, pada awal-awal bertani mampu membuatnya tersenyum puas. Satu hektare bisa dapat 6-7 ton dalam sekali panen. “Dulu harga gabah enak. Pupuk juga gampang diperoleh,” ungkapnya.
Pada tahun kedua, Yusman semakin gila dalam memupuk. Setiap masa pemupukan ditambah dua sak, atau meningkat sekitar 9-10 sak dari pertama. Ternyata hasilnya malah zonk. Pupuk terus ditambah, tapi hasilnya justru mengkhianati. Hasil terburuk yang pernah dia alami hanya mendapat tiga ton per hektare. “Tetangga saya malah ada satu ton per satu hektare,” ucapnya.
Penyebab turunnya produksi memang bermacam. Kata dia, tidak sekadar kondisi tanah. Tapi, juga hama dan penyakit. Namun, hal yang paling disadari dirinya adalah rekomendasi tentang penggunaan pupuk berimbang dan jeda, tidak hanya tanam padi tapi diselingi palawija, adalah benar. Setelah menerapkan rekomendasi itu, sekarang sawahnya kembali sehat. “Berkat memakai pupuk berimbang dan tanam kacang serta kedelai,” katanya.
Menurut Yusman, pengolahan tanah memang tidak bisa disamakan. Bergantung pada lokasi dan kondisi geografis. Di sawahnya, dia mencontohkan, tanahnya tidak cukup dalam. Pada kedalaman sekitar 50 sentimeter sudah batu. Karenanya, ketika padi terus yang ditanam, maka kesuburan tanahnya berkurang karena terus terendam air. Apalagi, menanam padi terus-menurus juga mengakibatkan hama dan penyakit akan lebih kuat dan beragam.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jember (Faperta) Universitas Jember (Unej) Prof Soetriono mengatakan, ada sebuah riset yang pernah dilakukan dosen di Faperta Unej terkait kondisi tanah di Jember. Hasilnya, dari sampel tanah sawah atau ladang pada 31 kecamatan di Jember, unsur haranya rendah. “Rata-rata itu satu persen sekian untuk C organiknya,” terangnya.
Kondisi demikian menggambarkan bagaimana kondisi tanah sebagai media tanam yang cukup memprihatinkan. Padahal, Jember adalah daerah pertanian. Perekonomian Jember juga ditopang oleh sektor pertanian. Dan itu bisa dilihat dari sumbangsih pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jember.
Sementara itu, dari sampel tanah di 31 kecamatan se-Jember tersebut, ada delapan kecamatan yang unsur C organiknya sangat rendah. Yaitu Kecamatan Gumukmas, Sukowono, Ledokombo, Sumberjambe, Kalisat, Sukorambi, Sumbersari, dan Kaliwates. Bahan organik yang terkandung di tanah tersebut rata-rata hanya 1,76 persen. Nilai tersebut tergolong rendah. Untuk nitrogen juga bernilai rendah dengan rata-rata 0,10 persen. Menurut dia, unsur hara dalam tanah dikatakan baik atau sehat salah satunya bila C organiknya minimal 5 persen.
Untuk mengatasi kondisi demikian, kata dia, upaya penanggulangan adalah dengan menambahkan pengapuran dan penambahan bahan organik seperti dolomit 1-2 ton per hektare. Juga dengan pemupukan kalium 100 kilogram per hektare. Ada juga menambahkan bahan organik seperti pupuk kandang dua ton per hektare.
Menurut dia, petani juga akan susah bila menerapkan full organik. “Pupuk organik itu di-combine atau dicampur dulu dengan nonorganik. Kalau langsung organik, pasti akan kaget bagi petani,” tuturnya. Bila memakai pupuk organik, perlu diketahui akan terjadi penurunan produktivitas pada awal-awal tahun. Namun, perlahan tanah akan membaik sehingga jangka panjang akan meningkatkan produktivitas dan kesuburan tanah.
Dia menjelaskan, penerapan pertanian organik dengan memakai pupuk organik perlu campur tangan pemerintah. Artinya, petani yang mulai sadar dan beralih ke pupuk organik harus disertai dengan kehadiran pemerintah untuk memberikan semacam asuransi. Hal itu akan menjadi perlindungan petani, karena efek memakai pupuk organik, produksi akan turun di tahun-tahun pertama. Dan hal inilah yang biasanya menjadi alasan bagi petani ogah menggunakan pupuk nonkimia tersebut.
Candu Pupuk Kimia
Banyak faktor yang memengaruhi kesuburan tanah. Ketua Laboratorium Kesuburan Tanah Unej Bambang Helmiyanto mengatakan, pada dasarnya sifat tanah itu ada dua. Inheren dan dinamis. Inheren menjadi sifat dasar tanahnya yang memang subur. Namun yang dinamis, lebih karena pengaruh pengelolaan tanah, termasuk pupuk kimia.
Bambang menegaskan, selama ini tidak dapat dimungkiri para petani masih bergantung pada pupuk nonorganik. Mereka tidak bisa mengandalkan pupuk organik sepenuhnya. Sebab, pupuk organik memang tidak menggantikan pupuk kimia. Pupuk organik juga tidak bisa menambah unsur hara dalam skala besar dan instan. Tapi, butuh proses dan sifatnya jangka panjang.
Selain itu, saat ini petani cenderung memikirkan keuntungan secara ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan aspek lingkungannya. Sebenarnya, kata dia, para petani mulai paham tentang efek penggunaan pupuk kimia. Namun, karena orientasinya masih ekonomi saja, belum ekonomi dan lingkungan, sehingga pola pemupukan semacam itu masih terus berjalan. “Padahal pupuk kimia yang berlebih justru merusak tanah. Harusnya penggunaan pupuk yang seimbang,” jelasnya.
Sebagai jalan tengah, Bambang menyarankan, petani harus konsisten menggunakan pupuk organik. Di saat bersamaan, juga tidak meninggalkan pupuk kimia begitu saja. Penggunaan pupuk kimia tetap dianjurkan, asal tidak berlebihan. Lalu, dibantu dengan pupuk organik yang sudah matang atau yang sudah dikomposkan. “Karena kalau penggunaan pupuk kimia berlebihan bisa merusak tanah dan akan menurunkan PH tanah,” ungkapnya.
Sedianya, petani dapat menyediakan berapa pun kebutuhan pupuk organik untuk lahan sawahnya. Sebab, Bambang memaparkan, kadar pupuk organik pada tanah saat ini hanya mencapai satu persen dari kondisi ideal yang seharusnya mencapai 5 persen. “Untuk mengembalikan ke kondisi normal, dibutuhkan 80 ton per hektare pupuk organik. Makanya, harus disediakan sebanyak-banyaknya,” terangnya.
Produksi Menurun
Selama tiga tahun terakhir, produksi padi di Jember terus menurun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jember, sejak 2018 hingga 2020 produksi gabah kering giling (GKG) di Jember trennya merosot. Jika pada 2018 produksinya mencapai 55,88 kuintal per hektare, pada 2019 turun menjadi 49,91 kuintal. Angka produksi ini kembali berkurang setahun setelahnya. Pada 2020 produksi GKG hanya mencatatkan 48,72 kuintal per hektare.
Untuk memperoleh informasi mengenai produktivitas atau hasil per hektare dari komoditas tanaman padi itu, BPS Jember menggunakan metode ubinan. Metode tersebut dapat melihat luas panen beserta estimasinya. Namun, berdasarkan hasil pengamatan dari metode tersebut, penurunan hasil produksi padi lebih banyak disebabkan oleh hama dan cuaca. “Berdasarkan data yang kami himpun, penurunan hasil padi itu banyak disebabkan oleh hama, kemudian irigasi, dan dampak cuaca,” ungkap Arif Joko Sutejo, Kepala BPS Jember.
Namun, lanjut Arif, hasil produksi padi pada 2021, berdasarkan data sementara yang masih belum ditetapkan, dia memperkirakan akan ada kenaikan produktivitas yang bisa tembus lebih dari satu persen. Atau naik sebesar 30,08 kuintal per hektare GKG bila dibanding dengan 2020. “Kalau di 2020, produksi padi sebanyak 590,26 ribu ton GKG. Nah, untuk 2021 ini perkiraan akan ada kenaikan. Berdasarkan angka sementara yang kemungkinan ada revisi karena belum penetapan 2021, produksinya sebanyak 620,34 ribu ton GKG,” katanya.
Sebenarnya, selain hama dan irigasi, pupuk juga memiliki pengaruh besar terhadap hasil produksi pangan. Namun, BPS memang tidak mendata lahan yang menggunakan pupuk organik atau nonorganik. “Itu hal yang sangat teknis. Jadi, itu ada di bawah pengamatan teman-teman dinas pertanian,” lanjutnya.
Selain itu, tambah Arif, dampak cuaca juga memengaruhi terhadap hasil produksi padi. Oleh karena itu, pihaknya tidak dapat memastikan apakah kenaikan tersebut merupakan dampak dari kondisi lahan akibat penggunaan pupuk kimia berlebihan atau murni karena cuaca, irigasi, dan hama.
Reporter : Dian Cahyani/Radar Jember
Fotografer : Dokumentasi Radar Jember
Editor : Mahrus Sholih/Radar Jember

- Advertisement -

YUSMAN Arif menyapa Jawa Pos Radar Jember yang berkunjung ke kediamannya, belum lama ini. Dia masih mengenakan sarung dan wajahnya seperti baru bangun tidur. Petani muda 33 tahun ini mengaku baru saja tiba dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Tubuhnya masih terasa lelah dan butuh istirahat cukup. Di NTB, dia diminta melihat langsung lahan pertanian jagung yang kondisinya mulai kritis, serta bagaimana cara mengatasinya.
Yusman diminta ke NTB untuk berbagi pengalaman menangani lahan kritis. Sebab, sebelumnya dia pernah mengalami kasus serupa dan kini telah keluar dari persoalan itu. Sejak 2014, dia bercerita, jiwa mudanya untuk bertani menggebu-gebu. Yusman ingin menggenjot hasil produksi pertanian di lahannya yang berada di Kecamatan Tanggul. Namun, cara yang dulu dia gunakan salah. Selain pola tanam yang monoton, dirinya juga memberi pupuk berlebihan. “Padi terus, tidak dikasih jeda tanaman lain,” tuturnya.
Pola pemupukan juga serampangan. Tidak menggunakan rabuk berimbang. Sekali tanam dalam satu hektare sawah, pada pemupukan pertama setidaknya diberikan tujuh sampai delapan sak rabuk kimia. Pemupukan kedua juga sama. Dia terus menghujani sawahnya dengan urea atau pupuk kimia yang mengandung nitrogen tinggi. Hasilnya, pada awal-awal bertani mampu membuatnya tersenyum puas. Satu hektare bisa dapat 6-7 ton dalam sekali panen. “Dulu harga gabah enak. Pupuk juga gampang diperoleh,” ungkapnya.
Pada tahun kedua, Yusman semakin gila dalam memupuk. Setiap masa pemupukan ditambah dua sak, atau meningkat sekitar 9-10 sak dari pertama. Ternyata hasilnya malah zonk. Pupuk terus ditambah, tapi hasilnya justru mengkhianati. Hasil terburuk yang pernah dia alami hanya mendapat tiga ton per hektare. “Tetangga saya malah ada satu ton per satu hektare,” ucapnya.
Penyebab turunnya produksi memang bermacam. Kata dia, tidak sekadar kondisi tanah. Tapi, juga hama dan penyakit. Namun, hal yang paling disadari dirinya adalah rekomendasi tentang penggunaan pupuk berimbang dan jeda, tidak hanya tanam padi tapi diselingi palawija, adalah benar. Setelah menerapkan rekomendasi itu, sekarang sawahnya kembali sehat. “Berkat memakai pupuk berimbang dan tanam kacang serta kedelai,” katanya.
Menurut Yusman, pengolahan tanah memang tidak bisa disamakan. Bergantung pada lokasi dan kondisi geografis. Di sawahnya, dia mencontohkan, tanahnya tidak cukup dalam. Pada kedalaman sekitar 50 sentimeter sudah batu. Karenanya, ketika padi terus yang ditanam, maka kesuburan tanahnya berkurang karena terus terendam air. Apalagi, menanam padi terus-menurus juga mengakibatkan hama dan penyakit akan lebih kuat dan beragam.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jember (Faperta) Universitas Jember (Unej) Prof Soetriono mengatakan, ada sebuah riset yang pernah dilakukan dosen di Faperta Unej terkait kondisi tanah di Jember. Hasilnya, dari sampel tanah sawah atau ladang pada 31 kecamatan di Jember, unsur haranya rendah. “Rata-rata itu satu persen sekian untuk C organiknya,” terangnya.
Kondisi demikian menggambarkan bagaimana kondisi tanah sebagai media tanam yang cukup memprihatinkan. Padahal, Jember adalah daerah pertanian. Perekonomian Jember juga ditopang oleh sektor pertanian. Dan itu bisa dilihat dari sumbangsih pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jember.
Sementara itu, dari sampel tanah di 31 kecamatan se-Jember tersebut, ada delapan kecamatan yang unsur C organiknya sangat rendah. Yaitu Kecamatan Gumukmas, Sukowono, Ledokombo, Sumberjambe, Kalisat, Sukorambi, Sumbersari, dan Kaliwates. Bahan organik yang terkandung di tanah tersebut rata-rata hanya 1,76 persen. Nilai tersebut tergolong rendah. Untuk nitrogen juga bernilai rendah dengan rata-rata 0,10 persen. Menurut dia, unsur hara dalam tanah dikatakan baik atau sehat salah satunya bila C organiknya minimal 5 persen.
Untuk mengatasi kondisi demikian, kata dia, upaya penanggulangan adalah dengan menambahkan pengapuran dan penambahan bahan organik seperti dolomit 1-2 ton per hektare. Juga dengan pemupukan kalium 100 kilogram per hektare. Ada juga menambahkan bahan organik seperti pupuk kandang dua ton per hektare.
Menurut dia, petani juga akan susah bila menerapkan full organik. “Pupuk organik itu di-combine atau dicampur dulu dengan nonorganik. Kalau langsung organik, pasti akan kaget bagi petani,” tuturnya. Bila memakai pupuk organik, perlu diketahui akan terjadi penurunan produktivitas pada awal-awal tahun. Namun, perlahan tanah akan membaik sehingga jangka panjang akan meningkatkan produktivitas dan kesuburan tanah.
Dia menjelaskan, penerapan pertanian organik dengan memakai pupuk organik perlu campur tangan pemerintah. Artinya, petani yang mulai sadar dan beralih ke pupuk organik harus disertai dengan kehadiran pemerintah untuk memberikan semacam asuransi. Hal itu akan menjadi perlindungan petani, karena efek memakai pupuk organik, produksi akan turun di tahun-tahun pertama. Dan hal inilah yang biasanya menjadi alasan bagi petani ogah menggunakan pupuk nonkimia tersebut.
Candu Pupuk Kimia
Banyak faktor yang memengaruhi kesuburan tanah. Ketua Laboratorium Kesuburan Tanah Unej Bambang Helmiyanto mengatakan, pada dasarnya sifat tanah itu ada dua. Inheren dan dinamis. Inheren menjadi sifat dasar tanahnya yang memang subur. Namun yang dinamis, lebih karena pengaruh pengelolaan tanah, termasuk pupuk kimia.
Bambang menegaskan, selama ini tidak dapat dimungkiri para petani masih bergantung pada pupuk nonorganik. Mereka tidak bisa mengandalkan pupuk organik sepenuhnya. Sebab, pupuk organik memang tidak menggantikan pupuk kimia. Pupuk organik juga tidak bisa menambah unsur hara dalam skala besar dan instan. Tapi, butuh proses dan sifatnya jangka panjang.
Selain itu, saat ini petani cenderung memikirkan keuntungan secara ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan aspek lingkungannya. Sebenarnya, kata dia, para petani mulai paham tentang efek penggunaan pupuk kimia. Namun, karena orientasinya masih ekonomi saja, belum ekonomi dan lingkungan, sehingga pola pemupukan semacam itu masih terus berjalan. “Padahal pupuk kimia yang berlebih justru merusak tanah. Harusnya penggunaan pupuk yang seimbang,” jelasnya.
Sebagai jalan tengah, Bambang menyarankan, petani harus konsisten menggunakan pupuk organik. Di saat bersamaan, juga tidak meninggalkan pupuk kimia begitu saja. Penggunaan pupuk kimia tetap dianjurkan, asal tidak berlebihan. Lalu, dibantu dengan pupuk organik yang sudah matang atau yang sudah dikomposkan. “Karena kalau penggunaan pupuk kimia berlebihan bisa merusak tanah dan akan menurunkan PH tanah,” ungkapnya.
Sedianya, petani dapat menyediakan berapa pun kebutuhan pupuk organik untuk lahan sawahnya. Sebab, Bambang memaparkan, kadar pupuk organik pada tanah saat ini hanya mencapai satu persen dari kondisi ideal yang seharusnya mencapai 5 persen. “Untuk mengembalikan ke kondisi normal, dibutuhkan 80 ton per hektare pupuk organik. Makanya, harus disediakan sebanyak-banyaknya,” terangnya.
Produksi Menurun
Selama tiga tahun terakhir, produksi padi di Jember terus menurun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jember, sejak 2018 hingga 2020 produksi gabah kering giling (GKG) di Jember trennya merosot. Jika pada 2018 produksinya mencapai 55,88 kuintal per hektare, pada 2019 turun menjadi 49,91 kuintal. Angka produksi ini kembali berkurang setahun setelahnya. Pada 2020 produksi GKG hanya mencatatkan 48,72 kuintal per hektare.
Untuk memperoleh informasi mengenai produktivitas atau hasil per hektare dari komoditas tanaman padi itu, BPS Jember menggunakan metode ubinan. Metode tersebut dapat melihat luas panen beserta estimasinya. Namun, berdasarkan hasil pengamatan dari metode tersebut, penurunan hasil produksi padi lebih banyak disebabkan oleh hama dan cuaca. “Berdasarkan data yang kami himpun, penurunan hasil padi itu banyak disebabkan oleh hama, kemudian irigasi, dan dampak cuaca,” ungkap Arif Joko Sutejo, Kepala BPS Jember.
Namun, lanjut Arif, hasil produksi padi pada 2021, berdasarkan data sementara yang masih belum ditetapkan, dia memperkirakan akan ada kenaikan produktivitas yang bisa tembus lebih dari satu persen. Atau naik sebesar 30,08 kuintal per hektare GKG bila dibanding dengan 2020. “Kalau di 2020, produksi padi sebanyak 590,26 ribu ton GKG. Nah, untuk 2021 ini perkiraan akan ada kenaikan. Berdasarkan angka sementara yang kemungkinan ada revisi karena belum penetapan 2021, produksinya sebanyak 620,34 ribu ton GKG,” katanya.
Sebenarnya, selain hama dan irigasi, pupuk juga memiliki pengaruh besar terhadap hasil produksi pangan. Namun, BPS memang tidak mendata lahan yang menggunakan pupuk organik atau nonorganik. “Itu hal yang sangat teknis. Jadi, itu ada di bawah pengamatan teman-teman dinas pertanian,” lanjutnya.
Selain itu, tambah Arif, dampak cuaca juga memengaruhi terhadap hasil produksi padi. Oleh karena itu, pihaknya tidak dapat memastikan apakah kenaikan tersebut merupakan dampak dari kondisi lahan akibat penggunaan pupuk kimia berlebihan atau murni karena cuaca, irigasi, dan hama.
Reporter : Dian Cahyani/Radar Jember
Fotografer : Dokumentasi Radar Jember
Editor : Mahrus Sholih/Radar Jember

YUSMAN Arif menyapa Jawa Pos Radar Jember yang berkunjung ke kediamannya, belum lama ini. Dia masih mengenakan sarung dan wajahnya seperti baru bangun tidur. Petani muda 33 tahun ini mengaku baru saja tiba dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Tubuhnya masih terasa lelah dan butuh istirahat cukup. Di NTB, dia diminta melihat langsung lahan pertanian jagung yang kondisinya mulai kritis, serta bagaimana cara mengatasinya.
Yusman diminta ke NTB untuk berbagi pengalaman menangani lahan kritis. Sebab, sebelumnya dia pernah mengalami kasus serupa dan kini telah keluar dari persoalan itu. Sejak 2014, dia bercerita, jiwa mudanya untuk bertani menggebu-gebu. Yusman ingin menggenjot hasil produksi pertanian di lahannya yang berada di Kecamatan Tanggul. Namun, cara yang dulu dia gunakan salah. Selain pola tanam yang monoton, dirinya juga memberi pupuk berlebihan. “Padi terus, tidak dikasih jeda tanaman lain,” tuturnya.
Pola pemupukan juga serampangan. Tidak menggunakan rabuk berimbang. Sekali tanam dalam satu hektare sawah, pada pemupukan pertama setidaknya diberikan tujuh sampai delapan sak rabuk kimia. Pemupukan kedua juga sama. Dia terus menghujani sawahnya dengan urea atau pupuk kimia yang mengandung nitrogen tinggi. Hasilnya, pada awal-awal bertani mampu membuatnya tersenyum puas. Satu hektare bisa dapat 6-7 ton dalam sekali panen. “Dulu harga gabah enak. Pupuk juga gampang diperoleh,” ungkapnya.
Pada tahun kedua, Yusman semakin gila dalam memupuk. Setiap masa pemupukan ditambah dua sak, atau meningkat sekitar 9-10 sak dari pertama. Ternyata hasilnya malah zonk. Pupuk terus ditambah, tapi hasilnya justru mengkhianati. Hasil terburuk yang pernah dia alami hanya mendapat tiga ton per hektare. “Tetangga saya malah ada satu ton per satu hektare,” ucapnya.
Penyebab turunnya produksi memang bermacam. Kata dia, tidak sekadar kondisi tanah. Tapi, juga hama dan penyakit. Namun, hal yang paling disadari dirinya adalah rekomendasi tentang penggunaan pupuk berimbang dan jeda, tidak hanya tanam padi tapi diselingi palawija, adalah benar. Setelah menerapkan rekomendasi itu, sekarang sawahnya kembali sehat. “Berkat memakai pupuk berimbang dan tanam kacang serta kedelai,” katanya.
Menurut Yusman, pengolahan tanah memang tidak bisa disamakan. Bergantung pada lokasi dan kondisi geografis. Di sawahnya, dia mencontohkan, tanahnya tidak cukup dalam. Pada kedalaman sekitar 50 sentimeter sudah batu. Karenanya, ketika padi terus yang ditanam, maka kesuburan tanahnya berkurang karena terus terendam air. Apalagi, menanam padi terus-menurus juga mengakibatkan hama dan penyakit akan lebih kuat dan beragam.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jember (Faperta) Universitas Jember (Unej) Prof Soetriono mengatakan, ada sebuah riset yang pernah dilakukan dosen di Faperta Unej terkait kondisi tanah di Jember. Hasilnya, dari sampel tanah sawah atau ladang pada 31 kecamatan di Jember, unsur haranya rendah. “Rata-rata itu satu persen sekian untuk C organiknya,” terangnya.
Kondisi demikian menggambarkan bagaimana kondisi tanah sebagai media tanam yang cukup memprihatinkan. Padahal, Jember adalah daerah pertanian. Perekonomian Jember juga ditopang oleh sektor pertanian. Dan itu bisa dilihat dari sumbangsih pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jember.
Sementara itu, dari sampel tanah di 31 kecamatan se-Jember tersebut, ada delapan kecamatan yang unsur C organiknya sangat rendah. Yaitu Kecamatan Gumukmas, Sukowono, Ledokombo, Sumberjambe, Kalisat, Sukorambi, Sumbersari, dan Kaliwates. Bahan organik yang terkandung di tanah tersebut rata-rata hanya 1,76 persen. Nilai tersebut tergolong rendah. Untuk nitrogen juga bernilai rendah dengan rata-rata 0,10 persen. Menurut dia, unsur hara dalam tanah dikatakan baik atau sehat salah satunya bila C organiknya minimal 5 persen.
Untuk mengatasi kondisi demikian, kata dia, upaya penanggulangan adalah dengan menambahkan pengapuran dan penambahan bahan organik seperti dolomit 1-2 ton per hektare. Juga dengan pemupukan kalium 100 kilogram per hektare. Ada juga menambahkan bahan organik seperti pupuk kandang dua ton per hektare.
Menurut dia, petani juga akan susah bila menerapkan full organik. “Pupuk organik itu di-combine atau dicampur dulu dengan nonorganik. Kalau langsung organik, pasti akan kaget bagi petani,” tuturnya. Bila memakai pupuk organik, perlu diketahui akan terjadi penurunan produktivitas pada awal-awal tahun. Namun, perlahan tanah akan membaik sehingga jangka panjang akan meningkatkan produktivitas dan kesuburan tanah.
Dia menjelaskan, penerapan pertanian organik dengan memakai pupuk organik perlu campur tangan pemerintah. Artinya, petani yang mulai sadar dan beralih ke pupuk organik harus disertai dengan kehadiran pemerintah untuk memberikan semacam asuransi. Hal itu akan menjadi perlindungan petani, karena efek memakai pupuk organik, produksi akan turun di tahun-tahun pertama. Dan hal inilah yang biasanya menjadi alasan bagi petani ogah menggunakan pupuk nonkimia tersebut.
Candu Pupuk Kimia
Banyak faktor yang memengaruhi kesuburan tanah. Ketua Laboratorium Kesuburan Tanah Unej Bambang Helmiyanto mengatakan, pada dasarnya sifat tanah itu ada dua. Inheren dan dinamis. Inheren menjadi sifat dasar tanahnya yang memang subur. Namun yang dinamis, lebih karena pengaruh pengelolaan tanah, termasuk pupuk kimia.
Bambang menegaskan, selama ini tidak dapat dimungkiri para petani masih bergantung pada pupuk nonorganik. Mereka tidak bisa mengandalkan pupuk organik sepenuhnya. Sebab, pupuk organik memang tidak menggantikan pupuk kimia. Pupuk organik juga tidak bisa menambah unsur hara dalam skala besar dan instan. Tapi, butuh proses dan sifatnya jangka panjang.
Selain itu, saat ini petani cenderung memikirkan keuntungan secara ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan aspek lingkungannya. Sebenarnya, kata dia, para petani mulai paham tentang efek penggunaan pupuk kimia. Namun, karena orientasinya masih ekonomi saja, belum ekonomi dan lingkungan, sehingga pola pemupukan semacam itu masih terus berjalan. “Padahal pupuk kimia yang berlebih justru merusak tanah. Harusnya penggunaan pupuk yang seimbang,” jelasnya.
Sebagai jalan tengah, Bambang menyarankan, petani harus konsisten menggunakan pupuk organik. Di saat bersamaan, juga tidak meninggalkan pupuk kimia begitu saja. Penggunaan pupuk kimia tetap dianjurkan, asal tidak berlebihan. Lalu, dibantu dengan pupuk organik yang sudah matang atau yang sudah dikomposkan. “Karena kalau penggunaan pupuk kimia berlebihan bisa merusak tanah dan akan menurunkan PH tanah,” ungkapnya.
Sedianya, petani dapat menyediakan berapa pun kebutuhan pupuk organik untuk lahan sawahnya. Sebab, Bambang memaparkan, kadar pupuk organik pada tanah saat ini hanya mencapai satu persen dari kondisi ideal yang seharusnya mencapai 5 persen. “Untuk mengembalikan ke kondisi normal, dibutuhkan 80 ton per hektare pupuk organik. Makanya, harus disediakan sebanyak-banyaknya,” terangnya.
Produksi Menurun
Selama tiga tahun terakhir, produksi padi di Jember terus menurun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jember, sejak 2018 hingga 2020 produksi gabah kering giling (GKG) di Jember trennya merosot. Jika pada 2018 produksinya mencapai 55,88 kuintal per hektare, pada 2019 turun menjadi 49,91 kuintal. Angka produksi ini kembali berkurang setahun setelahnya. Pada 2020 produksi GKG hanya mencatatkan 48,72 kuintal per hektare.
Untuk memperoleh informasi mengenai produktivitas atau hasil per hektare dari komoditas tanaman padi itu, BPS Jember menggunakan metode ubinan. Metode tersebut dapat melihat luas panen beserta estimasinya. Namun, berdasarkan hasil pengamatan dari metode tersebut, penurunan hasil produksi padi lebih banyak disebabkan oleh hama dan cuaca. “Berdasarkan data yang kami himpun, penurunan hasil padi itu banyak disebabkan oleh hama, kemudian irigasi, dan dampak cuaca,” ungkap Arif Joko Sutejo, Kepala BPS Jember.
Namun, lanjut Arif, hasil produksi padi pada 2021, berdasarkan data sementara yang masih belum ditetapkan, dia memperkirakan akan ada kenaikan produktivitas yang bisa tembus lebih dari satu persen. Atau naik sebesar 30,08 kuintal per hektare GKG bila dibanding dengan 2020. “Kalau di 2020, produksi padi sebanyak 590,26 ribu ton GKG. Nah, untuk 2021 ini perkiraan akan ada kenaikan. Berdasarkan angka sementara yang kemungkinan ada revisi karena belum penetapan 2021, produksinya sebanyak 620,34 ribu ton GKG,” katanya.
Sebenarnya, selain hama dan irigasi, pupuk juga memiliki pengaruh besar terhadap hasil produksi pangan. Namun, BPS memang tidak mendata lahan yang menggunakan pupuk organik atau nonorganik. “Itu hal yang sangat teknis. Jadi, itu ada di bawah pengamatan teman-teman dinas pertanian,” lanjutnya.
Selain itu, tambah Arif, dampak cuaca juga memengaruhi terhadap hasil produksi padi. Oleh karena itu, pihaknya tidak dapat memastikan apakah kenaikan tersebut merupakan dampak dari kondisi lahan akibat penggunaan pupuk kimia berlebihan atau murni karena cuaca, irigasi, dan hama.
Reporter : Dian Cahyani/Radar Jember
Fotografer : Dokumentasi Radar Jember
Editor : Mahrus Sholih/Radar Jember

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca