JEMBER, RADARJEMBER.ID – Prediksi terjadinya lonjakan pengangguran benar-benar terjadi. Di tengah situasi sulit akibat pandemi ini, jumlah orang yang tidak bekerja di Jember meningkat 1,43 persen dibanding tahun sebelumnya. Pemerintah daerah pun diminta membuat terobosan agar jumlah pengangguran tersebut bisa ditekan. Terlebih, kenaikan angka pengangguran ini dikhawatirkan bakal memperlebar jurang ketimpangan pendapatan di masyarakat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jember mencatat, jika pada 2019 persentase angka pengangguran mencapai 3,69 persen, kini bertambah menjadi 5,12 pada 2020. Kalau dilihat dari tingkat penganggur terbuka (TPT) menurut tingkat pendidikan, lulusan SMK dan SMP menjadi penyumbang tertinggi pada 2020 ini. Masing-masing sebanyak 11,64 persen dan 6,73 persen.
Kepala BPS Jember Arif Joko Sutejo mengatakan, selain lulusan SMK dan SMP, penyumbang penganggur lain berasal dari lulusan universitas yang mencapai 5,59 persen, diploma 6,55 persen, SMA 6,61 persen, dan sekolah dasar (3,32). Menurutnya, pandemi Covid-19 sangat berdampak terhadap para pekerja di Jember, sehingga meningkatkan jumlah pengangguran. Ini juga seiring banyaknya gelombang pemutusan hubungan kerja atau kebijakan karyawan yang dirumahkan oleh sejumlah perusahaan di Jember.
Berdasar Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Arif menuturkan, ada sebanyak 170,83 ribu orang yang terdampak pandemi sejak Februari hingga Agustus 2020. Dari jumlah itu, 14,65 ribu di antaranya terpaksa menganggur dan 132,87 ribu pekerja mendapatkan pengurangan jam kerja. “Juga ada 15,26 ribu warga yang tak bisa bekerja dan 8,08 ribu bukan angkatan kerja (BAK) yang juga terdampak pandemi,” ulasnya.
Dari total penduduk usia kerja sebanyak 1,94 juta jiwa di Jember, persentase usia kerja yang terdampak pandemi sebanyak 8,83 persen. Menurut Arif, pengangguran karena Covid-19 adalah penduduk usia kerja yang termasuk pernah memiliki pengalaman berhenti bekerja akibat Covid-19. “Begitu pula dengan bukan angkatan kerja,” imbuhnya.
Terpisah, dosen Manajemen Pemasaran Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember (Unej), Edy Wahyudi menjelaskan, pada kondisi ekonomi tak menentu semacam ini, yang harus dilakukan masyarakat adalah jeli dalam melihat peluang bisnis. Ini bisa menjadi solusi mengurangi tingkat pengangguran akibat pandemi. “Kenapa? Ketika runtuh karena pandemi, mereka harus berwirausaha untuk melanjutkan hidup. Caranya bisa dengan menggali potensi ekonomi yang ada di masyarakat sekitar,” katanya.
Bagaimana dengan peluang usaha berbasis digital atau berdagang secara daring, bisakah menjadi peluang? Menurut Edy, jika dikaitkan dengan bisnis serba digital, tak semua produk bisa dijual secara daring. Untuk itu, dia meyakini, pasar luring masih tetap terbuka dan menjadi peluang bagi masyarakat dalam mengembangkan ekonomi mereka.
Para pedagang yang tak bisa melakukan bisnis secara daring, kata dia, tak perlu khawatir usahanya bakal tergerus. Mereka tetap bisa memanfaatkan model perdagangan langsung semacam kuliner atau minuman tradisional. Sebab, jenis perdagangan ini memungkinkan pedagang dan pembeli bertemu secara tatap muka. “Misalnya, warung kopi atau kafe pinggiran. Mereka tak hanya bisa menjual minuman, melainkan juga atmosfer tempat dagangnya,” ujarnya.
Kepala Program Studi (Kaprodi) S-3 Ilmu Administrasi FISIP Unej tersebut menyatakan, kewirausahaan sosial juga bisa menjadi pilihan lain bagi masyarakat yang terdampak pandemi untuk bertahan hidup. Social entrepreneurship yang berbasis kemampuan individu ini disebutnya juga dapat menggerakkan ekonomi masyarakat. Contohnya pusat jajanan serba ada (pujasera). “Model pujasera bisa menggerakkan ekonomi masyarakat menggunakan aset tak terpakai, lalu digunakan untuk berdagang bersama-sama,” lanjutnya.
Di sisi lain, Edy mengungkapkan, pelaku usaha kecil harus mampu mengangkat berbagai potensi lokal yang ada di tempat mereka masing-masing. Selanjutnya, pola pemasarannya bisa menggabungkan antara model luring dan daring. Cara semacam ini sudah tak asing lagi di masyarakat. “Nanti bisa menggunakan media sosial untuk mengenalkan ke konsumen,” imbuh warga yang tinggal di Jalan Bengawan Solo, Kecamatan Sumbersari, tersebut.
Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah? Dia menegaskan, pemerintah harus jadi akselerator, pendukung, atau pemicu supaya masyarakat memiliki peluang usaha. Pemerintah juga wajib memfasilitasi mereka yang ingin mengembangkan usahanya. “Contohnya, pemerintah membuat aplikasi bisnis online,” ujarnya..
Edy menilai, sudah saatnya Jember mempunyai bisnis digital yang tak hanya menguasai level lokal, tapi juga nasional. Namun, dia menekankan, platform model bisnis digital ini harus pro kepada usaha kecil. Dengan begitu, pemerintah bisa memberikan media pemasaran bagi usaha kecil dalam mengenalkan barang dan produk mereka ke konsumen. “Di sinilah pemerintah bisa hadir dan memberikan kontribusi kepada masyarakat,” jelasnya.
Ketika ada platform itu, Edy menambahkan, pemerintah harus giat melakukan sosialisasi dan pendampingan agar masyarakat melek teknologi. “Anggaran pasti ada. Tinggal bagaimana pemerintah mau berusaha,” ucapnya.
Hal itu diakuinya merupakan tantangan bagi pemerintah dan masyarakat dalam menumbuhkan ekonomi kreatif. Langkah ini diharapkan menjadi solusi untuk mengangkat ekonomi masyarakat yang sempat terpuruk akibat pandemi. “Terakhir, pemerintah harus bisa membuat standardisasi produk supaya tetap sama. Baik pelayanannya maupun kualitasnya. Karena dengan begitu, akan menumbuhkan kepercayaan konsumen kepada produk yang dipasarkan,” pungkasnya.