24.5 C
Jember
Tuesday, 6 June 2023

Wujudkan KLA Ternyata Masih Banyak Pekerjaan Rumah

“Jember ada penurunan secara angka. Tapi masih dianggap tinggi itu karena survei yang diambil tidak sesuai sasaran.”  Dwi Handarisasi, Kabid Kesmas Dinkes Jember

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID- Salah satu indikator Kabupaten Layak Anak adalah adanya jaminan akses kesehatan dan kesejahteraan, serta pendidikan. Pada dua indikator ini, pekerjaan rumah (PR) pemerintah daerah masih sangat banyak. Di bidang kesehatan, misalnya, tingkat stunting masih cukup tinggi, bahkan disebut tertinggi di Jawa Timur. Sedangkan sektor pendidikan, tingkat putus sekolah bagi anak masih jadi ancaman serius.

Merujuk data terakhir Dinas Kesehatan (Dinkes) Jember pada Februari 2021, angka stunting di Jember berjumlah 20.506 kasus atau setara dengan 11,74 persen dari jumlah total anak di Jember. Pendataan ini dilakukan pada Agustus 2020 hingga Februari 2021. Melalui data ini, Dinkes mengklaim bahwa penanganan stunting di Jember dapat ditekan. Meski Pemprov Jatim masih menempatkan Jember sebagai salah satu kota yang memiliki angka stunting tinggi berdasarkan survei Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2019.

“Jember ada penurunan secara angka. Tapi masih dianggap tinggi itu karena survei yang diambil tidak sesuai sasaran. Jadi, tiap kecamatan hanya 10. Sehingga jika ada stunting 10 pembandingnya hanya 300,” ungkap Dwi Handarisasi, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Jember.

Mobile_AP_Rectangle 2

Selain itu, kata dia, penempatan Jember dengan angka stunting tinggi juga karena pemprov menilai berdasarkan survei SSGBI, bukan berdasarkan data harian yang terinput dalam Elektronik Pemantauan Status Gizi Balita oleh Masyarakat (EPPGBM). Hal ini karena tidak semua kabupaten atau kota di Jatim mengakses EPPGBM tersebut. “EPPGBM ini setiap hari harus input data. Kalau angka Jember sebenarnya sudah memasukkan datanya 80 persen. Tapi, kabupaten/kota lain tidak. Sehingga kalau diambil dari EPPGBM tidak mewakili. Jadi, pakai angka dari survei SSGBI,” paparnya.

Dengan demikian, Dwi menyebut, upaya untuk pemenuhan hak anak dalam sektor kesehatan sudah mengalami peningkatan. Jika pada sebelumnya, pemenuhan kesehatan fokus untuk menurunkan angka gizi buruk, dan stunting tidak menjadi prioritas, namun mulai tahun 2000 lalu hingga kini, fokusnya pada penurunan angka stunting.

“Hak kesehatan anak memang harus dipenuhi. Permasalahannya stunting ini ibu hamil yang KEK (kekurangan energi kronis, Red). Makanya penanganannya melalui 1.000 HPK,” imbuhnya. Yang dimaksud 1.000 HPK adalah masa 1.000 hari pertama kehidupan yang terdiri atas 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pada dua tahun pertama kehidupan buah hati.

Saat ini, Dwi menambahkan, upaya penekanan angka stunting yang dilakukan pemerintah adalah dengan upaya konvergensi yang melibatkan semua sektor. Sehingga permasalahan stunting dapat teratasi dari hulu ke hilir.

Anak Putus Sekolah

Sedangkan pada sektor pendidikan, angka putus sekolah juga masih menjadi ancaman. Meski terjadi penurunan pada tahun ini, namun hal itu menunjukkan bahwa belum semua anak dapat mengakses pendidikan secara layak.

Merujuk data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, terdapat 208 angka putus sekolah di jenjang SD pada tahun ajaran 2019/2020 lalu. Sementara, di tahun ajaran 2020/2021 angka putus sekolah tercatat delapan kasus. Sedangkan pada tingkat SMP sebanyak 308 kasus pada 2019/2020 dan ada dua siswa yang putus sekolah pada tahun ajaran 2020/2021.

Selain bayang-bayang anak putus sekolah, fasilitas ramah anak di tiap satuan lembaga pendidikan juga menjadi PR tersendiri. Sebab, selama ini masih banyak sekolah yang perlu didorong agar semakin ramah anak. Mulai dari menciptakan suasana belajar yang kondusif, kondisi sekolah yang aman dan damai, hingga keterlibatan orang tua dan komite sekolah.

Kepala Bidang SD Dinas Pendidikan Jember Endang Sulistyowati  mengungkapkan, keterlibatan orang tua dalam hal ini adalah komitmen mereka untuk selaras dengan pola ajaran yang sudah diberikan sekolah. Juga tentang kepercayaan orang tua dengan pihak sekolah. Selain itu, komite sekolah yang terdiri atas perwakilan orang tua siswa, bergerak aktif untuk mencari solusi dalam memecahkan problem sekolah yang tidak dapat diatasi oleh para guru.

“Orang tua perlu terlibat dalam menciptakan ekosistem lingkungan layak anak. Jika hanya mengandalkan sekolah saja, tidak maksimal. Karena waktu anak banyak dihabiskan di rumah,” ujarnya.

Reporter : Dian Cahyani
Fotografer : Dok. Radar Jember
Editor : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID- Salah satu indikator Kabupaten Layak Anak adalah adanya jaminan akses kesehatan dan kesejahteraan, serta pendidikan. Pada dua indikator ini, pekerjaan rumah (PR) pemerintah daerah masih sangat banyak. Di bidang kesehatan, misalnya, tingkat stunting masih cukup tinggi, bahkan disebut tertinggi di Jawa Timur. Sedangkan sektor pendidikan, tingkat putus sekolah bagi anak masih jadi ancaman serius.

Merujuk data terakhir Dinas Kesehatan (Dinkes) Jember pada Februari 2021, angka stunting di Jember berjumlah 20.506 kasus atau setara dengan 11,74 persen dari jumlah total anak di Jember. Pendataan ini dilakukan pada Agustus 2020 hingga Februari 2021. Melalui data ini, Dinkes mengklaim bahwa penanganan stunting di Jember dapat ditekan. Meski Pemprov Jatim masih menempatkan Jember sebagai salah satu kota yang memiliki angka stunting tinggi berdasarkan survei Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2019.

“Jember ada penurunan secara angka. Tapi masih dianggap tinggi itu karena survei yang diambil tidak sesuai sasaran. Jadi, tiap kecamatan hanya 10. Sehingga jika ada stunting 10 pembandingnya hanya 300,” ungkap Dwi Handarisasi, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Jember.

Selain itu, kata dia, penempatan Jember dengan angka stunting tinggi juga karena pemprov menilai berdasarkan survei SSGBI, bukan berdasarkan data harian yang terinput dalam Elektronik Pemantauan Status Gizi Balita oleh Masyarakat (EPPGBM). Hal ini karena tidak semua kabupaten atau kota di Jatim mengakses EPPGBM tersebut. “EPPGBM ini setiap hari harus input data. Kalau angka Jember sebenarnya sudah memasukkan datanya 80 persen. Tapi, kabupaten/kota lain tidak. Sehingga kalau diambil dari EPPGBM tidak mewakili. Jadi, pakai angka dari survei SSGBI,” paparnya.

Dengan demikian, Dwi menyebut, upaya untuk pemenuhan hak anak dalam sektor kesehatan sudah mengalami peningkatan. Jika pada sebelumnya, pemenuhan kesehatan fokus untuk menurunkan angka gizi buruk, dan stunting tidak menjadi prioritas, namun mulai tahun 2000 lalu hingga kini, fokusnya pada penurunan angka stunting.

“Hak kesehatan anak memang harus dipenuhi. Permasalahannya stunting ini ibu hamil yang KEK (kekurangan energi kronis, Red). Makanya penanganannya melalui 1.000 HPK,” imbuhnya. Yang dimaksud 1.000 HPK adalah masa 1.000 hari pertama kehidupan yang terdiri atas 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pada dua tahun pertama kehidupan buah hati.

Saat ini, Dwi menambahkan, upaya penekanan angka stunting yang dilakukan pemerintah adalah dengan upaya konvergensi yang melibatkan semua sektor. Sehingga permasalahan stunting dapat teratasi dari hulu ke hilir.

Anak Putus Sekolah

Sedangkan pada sektor pendidikan, angka putus sekolah juga masih menjadi ancaman. Meski terjadi penurunan pada tahun ini, namun hal itu menunjukkan bahwa belum semua anak dapat mengakses pendidikan secara layak.

Merujuk data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, terdapat 208 angka putus sekolah di jenjang SD pada tahun ajaran 2019/2020 lalu. Sementara, di tahun ajaran 2020/2021 angka putus sekolah tercatat delapan kasus. Sedangkan pada tingkat SMP sebanyak 308 kasus pada 2019/2020 dan ada dua siswa yang putus sekolah pada tahun ajaran 2020/2021.

Selain bayang-bayang anak putus sekolah, fasilitas ramah anak di tiap satuan lembaga pendidikan juga menjadi PR tersendiri. Sebab, selama ini masih banyak sekolah yang perlu didorong agar semakin ramah anak. Mulai dari menciptakan suasana belajar yang kondusif, kondisi sekolah yang aman dan damai, hingga keterlibatan orang tua dan komite sekolah.

Kepala Bidang SD Dinas Pendidikan Jember Endang Sulistyowati  mengungkapkan, keterlibatan orang tua dalam hal ini adalah komitmen mereka untuk selaras dengan pola ajaran yang sudah diberikan sekolah. Juga tentang kepercayaan orang tua dengan pihak sekolah. Selain itu, komite sekolah yang terdiri atas perwakilan orang tua siswa, bergerak aktif untuk mencari solusi dalam memecahkan problem sekolah yang tidak dapat diatasi oleh para guru.

“Orang tua perlu terlibat dalam menciptakan ekosistem lingkungan layak anak. Jika hanya mengandalkan sekolah saja, tidak maksimal. Karena waktu anak banyak dihabiskan di rumah,” ujarnya.

Reporter : Dian Cahyani
Fotografer : Dok. Radar Jember
Editor : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID- Salah satu indikator Kabupaten Layak Anak adalah adanya jaminan akses kesehatan dan kesejahteraan, serta pendidikan. Pada dua indikator ini, pekerjaan rumah (PR) pemerintah daerah masih sangat banyak. Di bidang kesehatan, misalnya, tingkat stunting masih cukup tinggi, bahkan disebut tertinggi di Jawa Timur. Sedangkan sektor pendidikan, tingkat putus sekolah bagi anak masih jadi ancaman serius.

Merujuk data terakhir Dinas Kesehatan (Dinkes) Jember pada Februari 2021, angka stunting di Jember berjumlah 20.506 kasus atau setara dengan 11,74 persen dari jumlah total anak di Jember. Pendataan ini dilakukan pada Agustus 2020 hingga Februari 2021. Melalui data ini, Dinkes mengklaim bahwa penanganan stunting di Jember dapat ditekan. Meski Pemprov Jatim masih menempatkan Jember sebagai salah satu kota yang memiliki angka stunting tinggi berdasarkan survei Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2019.

“Jember ada penurunan secara angka. Tapi masih dianggap tinggi itu karena survei yang diambil tidak sesuai sasaran. Jadi, tiap kecamatan hanya 10. Sehingga jika ada stunting 10 pembandingnya hanya 300,” ungkap Dwi Handarisasi, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Jember.

Selain itu, kata dia, penempatan Jember dengan angka stunting tinggi juga karena pemprov menilai berdasarkan survei SSGBI, bukan berdasarkan data harian yang terinput dalam Elektronik Pemantauan Status Gizi Balita oleh Masyarakat (EPPGBM). Hal ini karena tidak semua kabupaten atau kota di Jatim mengakses EPPGBM tersebut. “EPPGBM ini setiap hari harus input data. Kalau angka Jember sebenarnya sudah memasukkan datanya 80 persen. Tapi, kabupaten/kota lain tidak. Sehingga kalau diambil dari EPPGBM tidak mewakili. Jadi, pakai angka dari survei SSGBI,” paparnya.

Dengan demikian, Dwi menyebut, upaya untuk pemenuhan hak anak dalam sektor kesehatan sudah mengalami peningkatan. Jika pada sebelumnya, pemenuhan kesehatan fokus untuk menurunkan angka gizi buruk, dan stunting tidak menjadi prioritas, namun mulai tahun 2000 lalu hingga kini, fokusnya pada penurunan angka stunting.

“Hak kesehatan anak memang harus dipenuhi. Permasalahannya stunting ini ibu hamil yang KEK (kekurangan energi kronis, Red). Makanya penanganannya melalui 1.000 HPK,” imbuhnya. Yang dimaksud 1.000 HPK adalah masa 1.000 hari pertama kehidupan yang terdiri atas 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pada dua tahun pertama kehidupan buah hati.

Saat ini, Dwi menambahkan, upaya penekanan angka stunting yang dilakukan pemerintah adalah dengan upaya konvergensi yang melibatkan semua sektor. Sehingga permasalahan stunting dapat teratasi dari hulu ke hilir.

Anak Putus Sekolah

Sedangkan pada sektor pendidikan, angka putus sekolah juga masih menjadi ancaman. Meski terjadi penurunan pada tahun ini, namun hal itu menunjukkan bahwa belum semua anak dapat mengakses pendidikan secara layak.

Merujuk data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, terdapat 208 angka putus sekolah di jenjang SD pada tahun ajaran 2019/2020 lalu. Sementara, di tahun ajaran 2020/2021 angka putus sekolah tercatat delapan kasus. Sedangkan pada tingkat SMP sebanyak 308 kasus pada 2019/2020 dan ada dua siswa yang putus sekolah pada tahun ajaran 2020/2021.

Selain bayang-bayang anak putus sekolah, fasilitas ramah anak di tiap satuan lembaga pendidikan juga menjadi PR tersendiri. Sebab, selama ini masih banyak sekolah yang perlu didorong agar semakin ramah anak. Mulai dari menciptakan suasana belajar yang kondusif, kondisi sekolah yang aman dan damai, hingga keterlibatan orang tua dan komite sekolah.

Kepala Bidang SD Dinas Pendidikan Jember Endang Sulistyowati  mengungkapkan, keterlibatan orang tua dalam hal ini adalah komitmen mereka untuk selaras dengan pola ajaran yang sudah diberikan sekolah. Juga tentang kepercayaan orang tua dengan pihak sekolah. Selain itu, komite sekolah yang terdiri atas perwakilan orang tua siswa, bergerak aktif untuk mencari solusi dalam memecahkan problem sekolah yang tidak dapat diatasi oleh para guru.

“Orang tua perlu terlibat dalam menciptakan ekosistem lingkungan layak anak. Jika hanya mengandalkan sekolah saja, tidak maksimal. Karena waktu anak banyak dihabiskan di rumah,” ujarnya.

Reporter : Dian Cahyani
Fotografer : Dok. Radar Jember
Editor : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca