28.4 C
Jember
Thursday, 23 March 2023

Meski Perusahaan Pailit, THR Wajib Ditunaikan

Dasarnya Aturan, Bukan Kesepakatan Perusahaan dan Pekerja

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sebagai pendapatan nonupah, tunjangan hari raya (THR) secara hukum wajib diberikan kepada buruh atau karyawan. Bahkan, dengan alasan perusahaan bangkrut atau karena pandemi pun hukumnya tetap berlaku.

Baca Juga : Nekat Cicil THR, Sanksi Menunggu Perusahaan!

Pada dasarnya, THR menjadi pengikat hubungan kerja dan bentuk apresiasi. Tidak dapat disangkal bahwa buruh telah memberikan kontribusinya bagi kelangsungan usaha perusahaan. “Sebagai wujud integritas moral pengusaha dalam kerangka Hubungan Industrial Pancasila,” terang Aries Harianto, Pakar Hukum Ketenagakerjaan Jember, saat menjelaskan urgensi pemberian THR.

Mobile_AP_Rectangle 2

Dasar hukum yang melandasi ini, kata Aries, ialah UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Dan Surat Edaran Menaker Tahun M/1/HK.04/lV/2022 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2022 bagi Pekerja atau Buruh di Perusahaan. Konstitusi telah mengamanatkan, baik buruh tetap atau tidak tetap berhak mendapatkan THR. Pembayarannya dilakukan secara tunai berdasarkan formulasi hitungan yang telah ditentukan.

Aries yang juga merupakan mitra konsultan beberapa dinas di Jember mengungkapkan, THR tidak boleh diberikan berdasarkan kesepakatan. “Tidak ada satu pun regulasi yang mengatur pembayaran THR dilakukan dengan kesepakatan,” ungkapnya, Minggu (10/4). Jika dengan berbagai pertimbangan, pembayarannya melalui kesepakatan atau perjanjian, maka otomatis batal demi hukum. Hal ini karena bertentangan dengan UU.

Tak hanya itu, dia menegaskan bahwa itu juga akan membuka ruang terjadinya perselisihan hubungan industrial karena buruh tidak sepakat. “Sangat potensial terjadinya lonjakan statistika angka perselisihan. Disnaker hingga pengadilan hubungan industrial menjadi overload perkara. Keadaan semacam ini tentu saja tidak mengindikasikan realitas industrial peace,” jelasnya.

Hak pekerja soal THR akan tetap didapat meski perusahaan pailit, karena status ini harus ditetapkan melalui pengadilan. “Status bangkrut suatu perusahaan, secara hukum tidak meniadakan hak-hak buruh, termasuk upah dan pendapatan nonupah lainnya,” papar akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember itu.

Kendati dinyatakan bangkrut, perusahaan wajib mendahulukan hak-hak buruh dengan tetap menunaikan THR. Teknis implementasinya mengikuti proses dan mekanisme yang telah ditentukan sebagai akibat hukum dari perusahaan yang dinyatakan pailit. Begitu juga pandemi yang tidak bisa dijadikan alasan penundaan THR.

“Tidak ada undang-undang yang mengatur demikian,” tuturnya. Apalagi melihat kondisi saat ini, aturan mengenai pandemi sudah mulai dilonggarkan. Hal ini artinya perusahaan kembali berjalan secara normal seperti biasanya.

Meski aturan ini dijalankan, namun secara faktual selama ini tidak semua perusahaan taat dan patuh atas kewajibannya membayar THR. “Terlambat bayar, penundaan, sepakat di bawah nominal, hingga tidak bayar sama sekali,” ungkap Aries. Untuk itu, perlu upaya preventif yang melibatkan berbagai lembaga ketenagakerjaan untuk mencegah problema ini.

Dengan sosialisasi, diskusi, serta konsultasi di tingkat bipartit dan tripartit bersama Disnaker juga akademisi sebagai ahli, diharapkan bisa menghasilkan gagasan solutif. “Sisi lain untuk membendung terjadinya preseden buruk, dibutuhkan komitmen dan konsistensi lembaga pengawas ketenagakerjaan untuk menindak perusahaan yang melanggar aturan THR,” pungkasnyanya.

 

Jurnalis : mg2
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Nur Hariri

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sebagai pendapatan nonupah, tunjangan hari raya (THR) secara hukum wajib diberikan kepada buruh atau karyawan. Bahkan, dengan alasan perusahaan bangkrut atau karena pandemi pun hukumnya tetap berlaku.

Baca Juga : Nekat Cicil THR, Sanksi Menunggu Perusahaan!

Pada dasarnya, THR menjadi pengikat hubungan kerja dan bentuk apresiasi. Tidak dapat disangkal bahwa buruh telah memberikan kontribusinya bagi kelangsungan usaha perusahaan. “Sebagai wujud integritas moral pengusaha dalam kerangka Hubungan Industrial Pancasila,” terang Aries Harianto, Pakar Hukum Ketenagakerjaan Jember, saat menjelaskan urgensi pemberian THR.

Dasar hukum yang melandasi ini, kata Aries, ialah UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Dan Surat Edaran Menaker Tahun M/1/HK.04/lV/2022 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2022 bagi Pekerja atau Buruh di Perusahaan. Konstitusi telah mengamanatkan, baik buruh tetap atau tidak tetap berhak mendapatkan THR. Pembayarannya dilakukan secara tunai berdasarkan formulasi hitungan yang telah ditentukan.

Aries yang juga merupakan mitra konsultan beberapa dinas di Jember mengungkapkan, THR tidak boleh diberikan berdasarkan kesepakatan. “Tidak ada satu pun regulasi yang mengatur pembayaran THR dilakukan dengan kesepakatan,” ungkapnya, Minggu (10/4). Jika dengan berbagai pertimbangan, pembayarannya melalui kesepakatan atau perjanjian, maka otomatis batal demi hukum. Hal ini karena bertentangan dengan UU.

Tak hanya itu, dia menegaskan bahwa itu juga akan membuka ruang terjadinya perselisihan hubungan industrial karena buruh tidak sepakat. “Sangat potensial terjadinya lonjakan statistika angka perselisihan. Disnaker hingga pengadilan hubungan industrial menjadi overload perkara. Keadaan semacam ini tentu saja tidak mengindikasikan realitas industrial peace,” jelasnya.

Hak pekerja soal THR akan tetap didapat meski perusahaan pailit, karena status ini harus ditetapkan melalui pengadilan. “Status bangkrut suatu perusahaan, secara hukum tidak meniadakan hak-hak buruh, termasuk upah dan pendapatan nonupah lainnya,” papar akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember itu.

Kendati dinyatakan bangkrut, perusahaan wajib mendahulukan hak-hak buruh dengan tetap menunaikan THR. Teknis implementasinya mengikuti proses dan mekanisme yang telah ditentukan sebagai akibat hukum dari perusahaan yang dinyatakan pailit. Begitu juga pandemi yang tidak bisa dijadikan alasan penundaan THR.

“Tidak ada undang-undang yang mengatur demikian,” tuturnya. Apalagi melihat kondisi saat ini, aturan mengenai pandemi sudah mulai dilonggarkan. Hal ini artinya perusahaan kembali berjalan secara normal seperti biasanya.

Meski aturan ini dijalankan, namun secara faktual selama ini tidak semua perusahaan taat dan patuh atas kewajibannya membayar THR. “Terlambat bayar, penundaan, sepakat di bawah nominal, hingga tidak bayar sama sekali,” ungkap Aries. Untuk itu, perlu upaya preventif yang melibatkan berbagai lembaga ketenagakerjaan untuk mencegah problema ini.

Dengan sosialisasi, diskusi, serta konsultasi di tingkat bipartit dan tripartit bersama Disnaker juga akademisi sebagai ahli, diharapkan bisa menghasilkan gagasan solutif. “Sisi lain untuk membendung terjadinya preseden buruk, dibutuhkan komitmen dan konsistensi lembaga pengawas ketenagakerjaan untuk menindak perusahaan yang melanggar aturan THR,” pungkasnyanya.

 

Jurnalis : mg2
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Nur Hariri

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sebagai pendapatan nonupah, tunjangan hari raya (THR) secara hukum wajib diberikan kepada buruh atau karyawan. Bahkan, dengan alasan perusahaan bangkrut atau karena pandemi pun hukumnya tetap berlaku.

Baca Juga : Nekat Cicil THR, Sanksi Menunggu Perusahaan!

Pada dasarnya, THR menjadi pengikat hubungan kerja dan bentuk apresiasi. Tidak dapat disangkal bahwa buruh telah memberikan kontribusinya bagi kelangsungan usaha perusahaan. “Sebagai wujud integritas moral pengusaha dalam kerangka Hubungan Industrial Pancasila,” terang Aries Harianto, Pakar Hukum Ketenagakerjaan Jember, saat menjelaskan urgensi pemberian THR.

Dasar hukum yang melandasi ini, kata Aries, ialah UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Dan Surat Edaran Menaker Tahun M/1/HK.04/lV/2022 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2022 bagi Pekerja atau Buruh di Perusahaan. Konstitusi telah mengamanatkan, baik buruh tetap atau tidak tetap berhak mendapatkan THR. Pembayarannya dilakukan secara tunai berdasarkan formulasi hitungan yang telah ditentukan.

Aries yang juga merupakan mitra konsultan beberapa dinas di Jember mengungkapkan, THR tidak boleh diberikan berdasarkan kesepakatan. “Tidak ada satu pun regulasi yang mengatur pembayaran THR dilakukan dengan kesepakatan,” ungkapnya, Minggu (10/4). Jika dengan berbagai pertimbangan, pembayarannya melalui kesepakatan atau perjanjian, maka otomatis batal demi hukum. Hal ini karena bertentangan dengan UU.

Tak hanya itu, dia menegaskan bahwa itu juga akan membuka ruang terjadinya perselisihan hubungan industrial karena buruh tidak sepakat. “Sangat potensial terjadinya lonjakan statistika angka perselisihan. Disnaker hingga pengadilan hubungan industrial menjadi overload perkara. Keadaan semacam ini tentu saja tidak mengindikasikan realitas industrial peace,” jelasnya.

Hak pekerja soal THR akan tetap didapat meski perusahaan pailit, karena status ini harus ditetapkan melalui pengadilan. “Status bangkrut suatu perusahaan, secara hukum tidak meniadakan hak-hak buruh, termasuk upah dan pendapatan nonupah lainnya,” papar akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember itu.

Kendati dinyatakan bangkrut, perusahaan wajib mendahulukan hak-hak buruh dengan tetap menunaikan THR. Teknis implementasinya mengikuti proses dan mekanisme yang telah ditentukan sebagai akibat hukum dari perusahaan yang dinyatakan pailit. Begitu juga pandemi yang tidak bisa dijadikan alasan penundaan THR.

“Tidak ada undang-undang yang mengatur demikian,” tuturnya. Apalagi melihat kondisi saat ini, aturan mengenai pandemi sudah mulai dilonggarkan. Hal ini artinya perusahaan kembali berjalan secara normal seperti biasanya.

Meski aturan ini dijalankan, namun secara faktual selama ini tidak semua perusahaan taat dan patuh atas kewajibannya membayar THR. “Terlambat bayar, penundaan, sepakat di bawah nominal, hingga tidak bayar sama sekali,” ungkap Aries. Untuk itu, perlu upaya preventif yang melibatkan berbagai lembaga ketenagakerjaan untuk mencegah problema ini.

Dengan sosialisasi, diskusi, serta konsultasi di tingkat bipartit dan tripartit bersama Disnaker juga akademisi sebagai ahli, diharapkan bisa menghasilkan gagasan solutif. “Sisi lain untuk membendung terjadinya preseden buruk, dibutuhkan komitmen dan konsistensi lembaga pengawas ketenagakerjaan untuk menindak perusahaan yang melanggar aturan THR,” pungkasnyanya.

 

Jurnalis : mg2
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Nur Hariri

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca