24.9 C
Jember
Saturday, 25 March 2023

Dari Pengalaman Pribadi, Bikin Pembaca Merinding

Dunia literasi sepertinya tak bisa lepas dari kehidupan Fera Dwi Aprilianti. Selepas menjajal profesi wartawan, kini dirinya menggeluti dunia baru sebagai seorang novelis. Bahkan, dia telah menerbitkan beberapa novel mistis yang siap membikin pembacanya merinding.

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Siang itu, aspal jalan di seputaran Pasar Kalisat terlihat seolah mencair. Pancaran sinar matahari begitu kuat hingga menimbulkan bayangan aneh di jalan. Kondisi ini, tak pelak, membuat orang kepanasan hingga tenggorokan terasa kering.

Sementara itu, aktivitas pertokoan di bekas terminal lama, tak jauh dari Pasar Kalisat, juga tidak seramai pagi hari. Bahkan, ada beberapa pemilik toko yang memilih pulang ke rumah sembari berkumpul bersama keluarga. Apalagi, saat ini pemerintah telah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan masyarakat diimbau agar tak keluar rumah.

Berjarak beberapa meter dari terminal, sebuah rumah tampak berdiri kokoh. Sepi, seolah tak ada aktivitas. Begitu pintu diketuk, seorang perempuan berjilbab keluar. Dia mempersilakan wartawan masuk ke dalam rumah. “Maaf, rumah berantakan. Maklumlah, si kecil lagi main di lantai. Setiap hari seperti ini, momong anak,” sapa Fera Dwi Aprilianti, basa-basi. Dia kemudian mempersilakan wartawan duduk di kursi ruang tamu.

Mobile_AP_Rectangle 2

Menemukan tempat tinggal Fera memang tak begitu sulit. Karena rumahnya cukup mencolok dan hanya berjarak sepelemparan batu dari terminal lama di Kalisat. Dia tinggal di Jalan Raung 50. Terlebih, sejumlah warga juga sudah familier dengan namanya. Sehingga cukup mudah untuk mencari tempat tinggal lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jember tersebut.

Sekilas, tak tampak jika penggemar warna merah muda itu merupakan seorang penulis novel. Penampilannya selayaknya ibu rumah tangga pada umumnya. Namun, ketika melihat beberapa buku yang terpajang di rumahnya, barulah diketahui jika Fera adalah seorang penulis. “Saya memang gemar menulis. Tapi sebenarnya, menjadi novelis ini berawal dari ketidaksengajaan,” ceritanya, mengisahkan awal mula dirinya terjun di dunia tulis menulis tersebut.

Semula, Fera mengisahkan, dirinya iseng-iseng menulis di media sosial tentang cerita horor. Tulisan yang diunggah itu ternyata mendapat respons positif dari warganet. Bahkan, dalam hitungan hari, terhitung ada 5.000 warganet yang menyukai tulisan itu. “Hal ini kemudian memantik keinginan penerbit dari Jawa Barat dan Jawa Timur untuk mengajak kerja sama” terang istri Fuadi Amri tersebut.

Perempuan yang sebelumnya pernah menjadi wartawan majalah Pemkab Jember itu tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dia seolah menemukan dunianya sendiri. Hingga akhirnya, kegemaran menulisnya semakin menggila. Tapi, cerita-ceritanya itu tak lagi diunggah di media sosial, melainkan sudah dibukukan ke dalam bentuk novel.

Jika biasanya novelis lebih suka memilih jalan cerita roman, Fera tidak. Dia memiliki genre sendiri, yang juga digemari oleh pembaca di tanah air, yakni cerita mistis. Dia pun menyempatkan diri di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. Fera memulai aktivitas menulis itu saat malam hari, manakala sang anak sudah tidur. “Entah kenapa aku suka sekali menulis horor. Bahkan, saya sendiri terkadang juga merinding saat menulis hingga membuat bulu kuduk berdiri,” ucapnya.

Jika sudah begitu, Fera mengaku semakin tertantang untuk membuat kisah yang lebih seru. Sebab, saat dirinya merasa merinding, dia juga meyakini pembaca juga akan merasakan hal serupa. “Saya mengangkat cerita horor ini bersumber dari pengalaman pribadi,” imbuhnya.

Beberapa novel horor hasil tulisan anak kedua pasangan Almarhum Edi Santoso dan Rukiyah ini memang bisa membuat orang merinding. Tengok saja judulnya, seperti Kamar Mayat 13 dan Dunia Lain di Balik Lensa. Tak hanya itu, dia juga mencatatkan kisahnya sendiri semasa menjadi wartawan di majalah pemkab tetap dengan genre horor, judulnya Catatan Seorang Jurnalis.

Hari ke hari, wanita kelahiran 17 April 1989 ini semakin semangat berkarya. Sebab, dia mengaku terlanjur mencintai dunia literasi. Dia pun berharap, salah satu karyanya itu bisa ditangkap oleh sineas Indonesia untuk dijadikan bahan cerita film horor. “Karena di Indonesia, penyuka film horor juga cukup banyak. Siapa tahu ada sutradara yang tertarik,” tukasnya.

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Siang itu, aspal jalan di seputaran Pasar Kalisat terlihat seolah mencair. Pancaran sinar matahari begitu kuat hingga menimbulkan bayangan aneh di jalan. Kondisi ini, tak pelak, membuat orang kepanasan hingga tenggorokan terasa kering.

Sementara itu, aktivitas pertokoan di bekas terminal lama, tak jauh dari Pasar Kalisat, juga tidak seramai pagi hari. Bahkan, ada beberapa pemilik toko yang memilih pulang ke rumah sembari berkumpul bersama keluarga. Apalagi, saat ini pemerintah telah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan masyarakat diimbau agar tak keluar rumah.

Berjarak beberapa meter dari terminal, sebuah rumah tampak berdiri kokoh. Sepi, seolah tak ada aktivitas. Begitu pintu diketuk, seorang perempuan berjilbab keluar. Dia mempersilakan wartawan masuk ke dalam rumah. “Maaf, rumah berantakan. Maklumlah, si kecil lagi main di lantai. Setiap hari seperti ini, momong anak,” sapa Fera Dwi Aprilianti, basa-basi. Dia kemudian mempersilakan wartawan duduk di kursi ruang tamu.

Menemukan tempat tinggal Fera memang tak begitu sulit. Karena rumahnya cukup mencolok dan hanya berjarak sepelemparan batu dari terminal lama di Kalisat. Dia tinggal di Jalan Raung 50. Terlebih, sejumlah warga juga sudah familier dengan namanya. Sehingga cukup mudah untuk mencari tempat tinggal lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jember tersebut.

Sekilas, tak tampak jika penggemar warna merah muda itu merupakan seorang penulis novel. Penampilannya selayaknya ibu rumah tangga pada umumnya. Namun, ketika melihat beberapa buku yang terpajang di rumahnya, barulah diketahui jika Fera adalah seorang penulis. “Saya memang gemar menulis. Tapi sebenarnya, menjadi novelis ini berawal dari ketidaksengajaan,” ceritanya, mengisahkan awal mula dirinya terjun di dunia tulis menulis tersebut.

Semula, Fera mengisahkan, dirinya iseng-iseng menulis di media sosial tentang cerita horor. Tulisan yang diunggah itu ternyata mendapat respons positif dari warganet. Bahkan, dalam hitungan hari, terhitung ada 5.000 warganet yang menyukai tulisan itu. “Hal ini kemudian memantik keinginan penerbit dari Jawa Barat dan Jawa Timur untuk mengajak kerja sama” terang istri Fuadi Amri tersebut.

Perempuan yang sebelumnya pernah menjadi wartawan majalah Pemkab Jember itu tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dia seolah menemukan dunianya sendiri. Hingga akhirnya, kegemaran menulisnya semakin menggila. Tapi, cerita-ceritanya itu tak lagi diunggah di media sosial, melainkan sudah dibukukan ke dalam bentuk novel.

Jika biasanya novelis lebih suka memilih jalan cerita roman, Fera tidak. Dia memiliki genre sendiri, yang juga digemari oleh pembaca di tanah air, yakni cerita mistis. Dia pun menyempatkan diri di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. Fera memulai aktivitas menulis itu saat malam hari, manakala sang anak sudah tidur. “Entah kenapa aku suka sekali menulis horor. Bahkan, saya sendiri terkadang juga merinding saat menulis hingga membuat bulu kuduk berdiri,” ucapnya.

Jika sudah begitu, Fera mengaku semakin tertantang untuk membuat kisah yang lebih seru. Sebab, saat dirinya merasa merinding, dia juga meyakini pembaca juga akan merasakan hal serupa. “Saya mengangkat cerita horor ini bersumber dari pengalaman pribadi,” imbuhnya.

Beberapa novel horor hasil tulisan anak kedua pasangan Almarhum Edi Santoso dan Rukiyah ini memang bisa membuat orang merinding. Tengok saja judulnya, seperti Kamar Mayat 13 dan Dunia Lain di Balik Lensa. Tak hanya itu, dia juga mencatatkan kisahnya sendiri semasa menjadi wartawan di majalah pemkab tetap dengan genre horor, judulnya Catatan Seorang Jurnalis.

Hari ke hari, wanita kelahiran 17 April 1989 ini semakin semangat berkarya. Sebab, dia mengaku terlanjur mencintai dunia literasi. Dia pun berharap, salah satu karyanya itu bisa ditangkap oleh sineas Indonesia untuk dijadikan bahan cerita film horor. “Karena di Indonesia, penyuka film horor juga cukup banyak. Siapa tahu ada sutradara yang tertarik,” tukasnya.

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Siang itu, aspal jalan di seputaran Pasar Kalisat terlihat seolah mencair. Pancaran sinar matahari begitu kuat hingga menimbulkan bayangan aneh di jalan. Kondisi ini, tak pelak, membuat orang kepanasan hingga tenggorokan terasa kering.

Sementara itu, aktivitas pertokoan di bekas terminal lama, tak jauh dari Pasar Kalisat, juga tidak seramai pagi hari. Bahkan, ada beberapa pemilik toko yang memilih pulang ke rumah sembari berkumpul bersama keluarga. Apalagi, saat ini pemerintah telah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan masyarakat diimbau agar tak keluar rumah.

Berjarak beberapa meter dari terminal, sebuah rumah tampak berdiri kokoh. Sepi, seolah tak ada aktivitas. Begitu pintu diketuk, seorang perempuan berjilbab keluar. Dia mempersilakan wartawan masuk ke dalam rumah. “Maaf, rumah berantakan. Maklumlah, si kecil lagi main di lantai. Setiap hari seperti ini, momong anak,” sapa Fera Dwi Aprilianti, basa-basi. Dia kemudian mempersilakan wartawan duduk di kursi ruang tamu.

Menemukan tempat tinggal Fera memang tak begitu sulit. Karena rumahnya cukup mencolok dan hanya berjarak sepelemparan batu dari terminal lama di Kalisat. Dia tinggal di Jalan Raung 50. Terlebih, sejumlah warga juga sudah familier dengan namanya. Sehingga cukup mudah untuk mencari tempat tinggal lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jember tersebut.

Sekilas, tak tampak jika penggemar warna merah muda itu merupakan seorang penulis novel. Penampilannya selayaknya ibu rumah tangga pada umumnya. Namun, ketika melihat beberapa buku yang terpajang di rumahnya, barulah diketahui jika Fera adalah seorang penulis. “Saya memang gemar menulis. Tapi sebenarnya, menjadi novelis ini berawal dari ketidaksengajaan,” ceritanya, mengisahkan awal mula dirinya terjun di dunia tulis menulis tersebut.

Semula, Fera mengisahkan, dirinya iseng-iseng menulis di media sosial tentang cerita horor. Tulisan yang diunggah itu ternyata mendapat respons positif dari warganet. Bahkan, dalam hitungan hari, terhitung ada 5.000 warganet yang menyukai tulisan itu. “Hal ini kemudian memantik keinginan penerbit dari Jawa Barat dan Jawa Timur untuk mengajak kerja sama” terang istri Fuadi Amri tersebut.

Perempuan yang sebelumnya pernah menjadi wartawan majalah Pemkab Jember itu tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dia seolah menemukan dunianya sendiri. Hingga akhirnya, kegemaran menulisnya semakin menggila. Tapi, cerita-ceritanya itu tak lagi diunggah di media sosial, melainkan sudah dibukukan ke dalam bentuk novel.

Jika biasanya novelis lebih suka memilih jalan cerita roman, Fera tidak. Dia memiliki genre sendiri, yang juga digemari oleh pembaca di tanah air, yakni cerita mistis. Dia pun menyempatkan diri di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. Fera memulai aktivitas menulis itu saat malam hari, manakala sang anak sudah tidur. “Entah kenapa aku suka sekali menulis horor. Bahkan, saya sendiri terkadang juga merinding saat menulis hingga membuat bulu kuduk berdiri,” ucapnya.

Jika sudah begitu, Fera mengaku semakin tertantang untuk membuat kisah yang lebih seru. Sebab, saat dirinya merasa merinding, dia juga meyakini pembaca juga akan merasakan hal serupa. “Saya mengangkat cerita horor ini bersumber dari pengalaman pribadi,” imbuhnya.

Beberapa novel horor hasil tulisan anak kedua pasangan Almarhum Edi Santoso dan Rukiyah ini memang bisa membuat orang merinding. Tengok saja judulnya, seperti Kamar Mayat 13 dan Dunia Lain di Balik Lensa. Tak hanya itu, dia juga mencatatkan kisahnya sendiri semasa menjadi wartawan di majalah pemkab tetap dengan genre horor, judulnya Catatan Seorang Jurnalis.

Hari ke hari, wanita kelahiran 17 April 1989 ini semakin semangat berkarya. Sebab, dia mengaku terlanjur mencintai dunia literasi. Dia pun berharap, salah satu karyanya itu bisa ditangkap oleh sineas Indonesia untuk dijadikan bahan cerita film horor. “Karena di Indonesia, penyuka film horor juga cukup banyak. Siapa tahu ada sutradara yang tertarik,” tukasnya.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca