JEMBER, RADARJEMBER.ID – Persoalan sampah seakan tiada habisnya. Tercecer ke sana kemari, dikumpulkan di tempat penampungan, lalu diambil kembali oleh pemulung sampah. Belum lagi sampah-sampah yang dibuang ke sembarang tempat seperti di pinggir jalan, sungai, dan lainnya.
Akibatnya, sampah tidak hanya berpotensi mencemari lingkungan, tapi juga merusak pemandangan. Banyak pihak menyayangkan, seiring berjalannya waktu, sampah seolah belum menjadi prioritas untuk dikelola lebih bijak.
Dosen Program Studi Sumber Daya Air dan Lingkungan Pascasarjana Universitas Jember Yenny Dhokhikoh menjelaskan, sebenarnya sampah masih dapat dikelola lebih optimal. Bahkan bisa mendatangkan keuntungan lebih dan pemasukan sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Namun, yang jadi persoalan, pengolahan sampah sejauh ini belum mendapat porsi tepat. Sehingga cenderung berjalan seperti sebelum-sebelumnya,” ujarnya.
Menurutnya, pengolahan sampah yang berjalan secara dipungut, dikumpulkan, lalu ditimbun di satu tempat itu dinilai kurang efektif. Selain karena tidak ada upaya daur ulang, juga memicu pencemaran lingkungan. Lebih jauh, wanita yang juga mengajar di Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Jember itu menilai, sulit jika hanya mengandalkan kesadaran masyarakat tanpa adanya campur tangan dari pihak ketiga, seperti masyarakat, aktivis lingkungan, atau perusahaan pengolah sampah.
Dirinya membeberkan, ada beberapa upaya yang bisa didorong dari lapisan masyarakat bawah. Seperti adanya bank sampah, fasilitas daur ulang, hingga penegasan melalui regulasi khusus pengelolaan sampah. “Sulit jika hanya menunggu kesadaran masyarakat untuk bijak mengolah sampah, jika tanpa ada regulasi yang dituangkan melalui perda, misalnya. Jadi, tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, tapi pemerintah, masyarakat, atau pihak ketiga harus barengan,” ulasnya.
Namun, ada juga masyarakat yang sudah sadar pentingnya pengolahan sampah. Di beberapa tempat sebenarnya sudah ada upaya pengelolaan sampah mandiri yang diinisiasi masyarakat desa. Seperti yang dilakukan di Desa Balung Kulon, Kecamatan Balung.
Tempat yang baru sepekan kemarin diresmikan itu dinilai cukup efektif mengolah sampah. Mereka sudah memiliki alat pengolah sampah secara mandiri, yang didukung penuh oleh pemerintah desa, meskipun baru skala kecil untuk sekitar desa saja.
“Kita ingin menghidupkan spirit mengolah sampah lebih bijak. Dengan adanya TPA mandiri di desa kita ini, mungkin bisa jadi percontohan oleh desa-desa lain atau aktivis lingkungan,” ujar Kepala Desa Balung Kulon Samsul Hadi.
Sementara itu, Ketua World Clean Day Internasional (WCDI) Wilayah Jember Parmuji sempat membeberkan poin penting kepada Jawa Pos Radar Jember. Menurut dia, di setiap daerah, sampah sudah memang jadi problem laten tak berkesudahan. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Mulai dari kesadaran masyarakat, ketersediaan tempat atau alat pengolah sampah, hingga lemahnya regulasi.
Sebagai aktivis lingkungan, pemuda asal Panti itu mengakui butuh model pengolahan sampah lebih bijak, dari konvensional ke arah modern. Seperti yang sudah dilakukan di kota-kota besar. Salah satunya Malang yang sudah memiliki sistem pengolahan yang modern, atau di Surabaya yang TPA-nya disulap jadi taman. “Di Jember sebenarnya bisa. Tinggal sejauh mana kemauan itu diupayakan,” pungkasnya.