JEMBER, RADARJEMBER.ID –Â Jember peringkat tiga sebagai kabupaten dengan tingkat kekerasan anak di Jatim. Urutan ini berdasarkan versi aplikasi Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak.
BACA JUGA :Â Broken Home Kerap Picu Anak Putus Sekolah
Poedji Boedi Santoso, Kepala Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jember, membeberkan jumlah kasus yang terlapor. “Ada 93 korban kekerasan anak di Jember selama 2021,” sebutnya.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, angka ini dikatakan meningkat. Jumlah korban kekerasan anak pada 2020 sebanyak 81 anak. Namun, kata Boedi, angka ini hanya yang melakukan aduan. “Bisa jadi lebih banyak, karena mereka tidak membuat laporan kepada kami,” ungkapnya.
Kasus kekerasan anak ini meliputi banyak jenis. Pada 2021 terdapat 90 kekerasan psikis, 65 kekerasan seksual, 8 kasus kekerasan fisik, 2 penelantaran, 1 kasus anak berhadapan dengan hukum atau disebut ABH, dan 5 kekerasan lainnya. Jumlah ini tentunya mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya.
Dia menjelaskan, rata-rata anak mengalami kekerasan fisik akibat permasalahan keluarga dan perceraian orang tua. “Penyebabnya rata-rata karena broken home, sampai 70 persen,” kata Boedi.
Meski mendapati laporan kasus yang tinggi, pihaknya tidak lantas khawatir berlebihan. Justru, kata Boedi, semakin banyak yang melapor semakin baik. “Artinya masyarakat Jember sudah mulai sadar dan mengerti jika ada kasus ke mana akan melapor,” tanggapnya.
Joko Sutriswanto, Kabid Perlindungan Anak DP3AKB Jember, mengatakan, anak menjadi pihak yang rentan selain perempuan dalam tindak kekerasan. Selain karena mereka kurang bisa speak up atau melapor, juga belum memahami hak-haknya sebagai anak yang seharusnya dilindungi dengan aman. Oleh karena itu, peran orang tua dan guru sangat dibutuhkan. “Dalam hal ini, negara juga menjadi payung pelindung anak,” serunya.
Pemahaman kepada anak mengenai organ reproduksi perlu dilakukan sejak dini. Cara penyampaiannya, kata Joko, bisa memakai lagu-lagu sebagai perkenalannya. “Tidak perlu ragu-ragu membicarakan mengenai alat reproduksi dan penamaannya kepada anak, ini bentuk edukasi,” terang Joko. (mg8/c2/dwi)