23.2 C
Jember
Friday, 24 March 2023

Perjuangan Nenek Maadi di TPA Pakusari

Nenek Maadi merupakan perempuan tangguh yang ikhlas dan sabar. Selama ini, dirinya bekerja menjadi pemulung. Salah satu berkahnya 20 tahun terakhir justru jarang sakit.

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sinar matahari tampak redup siang itu. Tepat pukul 12.00, Nenek Maadi baru saja selesai memilah botol plastik dan kaleng bekas yang ada di sekitar tumpukan sampah, di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Pakusari. Barang bekas yang dia kumpulkan itulah yang selama ini menjadi mata pencarian perempuan tujuh cucu tersebut.

Tangan keriput Maadi juga terlihat cekatan di bawah gubuk di atas lautan sampah. Satu per satu sampah plastik dikumpulkan dalam keranjang berbahan bambu yang biasa menemaninya bekerja. Tak lama setelah itu, sampah hasil buruannya beberapa jam lalu selesai dipilah.

Wajah nenek ini terlihat cukup semringah. Di pelipisnya, keringat masih mengucur. Maadi pun tampak santai, duduk di bawah gubuk sederhananya yang terbuat dari plastik. Di gubuk itulah nenek ini menghirup napas panjang di antara bau busuk sampah. Sesekali, dirinya merebahkan badan sebagai tanda bahwa fisiknya harus beristirahat.

Mobile_AP_Rectangle 2

Nenek Maadi dan banyak orang di sana hampir setiap hari harus melakukan aktivitas yang sama. Memungut sampah, mendekati truk untuk memungut sampah, memilah sampah, beristirahat, dan kembali memungut sampah, sebelum hasilnya dijual.

Proses yang demikian itu dijalani Maadi setidaknya 20 tahun terakhir. Dia banyak menghabiskan waktu untuk mengais rezeki dari tempat terkotor tersebut. “Paling banyak Rp 40 ribu,” katanya. Hasil itu pun karena dibantu anaknya yang datang. Nenek ini dapat hasil tak sebanyak dulu saat muda. Namun, uang Rp 40 ribu bisa dibilang cukup, bahkan lebih, untuk kehidupannya sehari penuh.

Pada usia 76 tahun, seseorang seharusnya banyak beristirahat dan menghabiskan waktu bersama keluarga dan cucunya. Tapi, tidak dengan Maadi. Sebab, ekonomi keluarga yang tak mendukung dan dirinya juga tidak nyaman diam di rumah. “Alhamdulillah, ini saja sudah cukup, yang penting bisa makan dan sehat,” katanya sambil menyunggingkan senyum kepada Jawa Pos Radar Jember.

Nenek Maadi mengaku, dirinya sangat jarang sakit. Kalaupun badannya merasa sakit, dirinya hanya membeli obat-obatan sederhana di warung dan beristirahat sejenak. Bagi Maadi, kuman bisa jadi sudah menjadi teman yang hanya akan dibersihkan pada waktu sore menjelang malam.

Nenek tujuh cucu ini pun mengaku bersyukur karena selama menjadi pemulung, banyak mendapatkan barang. Misalnya, sayuran yang masih terbungkus rapi, uang, serta peralatan rumah tangga bekas namun layak pakai.

Bagi Maadi dan sejumlah pemulung lain, bau tak sedap di tengah sampah yang menggunung hingga 14 meter tersebut bukanlah sebuah penghalang. Setiap hari, mereka akan tetap bergelut dan mengarungi tumpukan sampah demi mendapatkan sesuap nasi dari rezeki barang bekas yang dijual. (c2/nur)

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sinar matahari tampak redup siang itu. Tepat pukul 12.00, Nenek Maadi baru saja selesai memilah botol plastik dan kaleng bekas yang ada di sekitar tumpukan sampah, di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Pakusari. Barang bekas yang dia kumpulkan itulah yang selama ini menjadi mata pencarian perempuan tujuh cucu tersebut.

Tangan keriput Maadi juga terlihat cekatan di bawah gubuk di atas lautan sampah. Satu per satu sampah plastik dikumpulkan dalam keranjang berbahan bambu yang biasa menemaninya bekerja. Tak lama setelah itu, sampah hasil buruannya beberapa jam lalu selesai dipilah.

Wajah nenek ini terlihat cukup semringah. Di pelipisnya, keringat masih mengucur. Maadi pun tampak santai, duduk di bawah gubuk sederhananya yang terbuat dari plastik. Di gubuk itulah nenek ini menghirup napas panjang di antara bau busuk sampah. Sesekali, dirinya merebahkan badan sebagai tanda bahwa fisiknya harus beristirahat.

Nenek Maadi dan banyak orang di sana hampir setiap hari harus melakukan aktivitas yang sama. Memungut sampah, mendekati truk untuk memungut sampah, memilah sampah, beristirahat, dan kembali memungut sampah, sebelum hasilnya dijual.

Proses yang demikian itu dijalani Maadi setidaknya 20 tahun terakhir. Dia banyak menghabiskan waktu untuk mengais rezeki dari tempat terkotor tersebut. “Paling banyak Rp 40 ribu,” katanya. Hasil itu pun karena dibantu anaknya yang datang. Nenek ini dapat hasil tak sebanyak dulu saat muda. Namun, uang Rp 40 ribu bisa dibilang cukup, bahkan lebih, untuk kehidupannya sehari penuh.

Pada usia 76 tahun, seseorang seharusnya banyak beristirahat dan menghabiskan waktu bersama keluarga dan cucunya. Tapi, tidak dengan Maadi. Sebab, ekonomi keluarga yang tak mendukung dan dirinya juga tidak nyaman diam di rumah. “Alhamdulillah, ini saja sudah cukup, yang penting bisa makan dan sehat,” katanya sambil menyunggingkan senyum kepada Jawa Pos Radar Jember.

Nenek Maadi mengaku, dirinya sangat jarang sakit. Kalaupun badannya merasa sakit, dirinya hanya membeli obat-obatan sederhana di warung dan beristirahat sejenak. Bagi Maadi, kuman bisa jadi sudah menjadi teman yang hanya akan dibersihkan pada waktu sore menjelang malam.

Nenek tujuh cucu ini pun mengaku bersyukur karena selama menjadi pemulung, banyak mendapatkan barang. Misalnya, sayuran yang masih terbungkus rapi, uang, serta peralatan rumah tangga bekas namun layak pakai.

Bagi Maadi dan sejumlah pemulung lain, bau tak sedap di tengah sampah yang menggunung hingga 14 meter tersebut bukanlah sebuah penghalang. Setiap hari, mereka akan tetap bergelut dan mengarungi tumpukan sampah demi mendapatkan sesuap nasi dari rezeki barang bekas yang dijual. (c2/nur)

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sinar matahari tampak redup siang itu. Tepat pukul 12.00, Nenek Maadi baru saja selesai memilah botol plastik dan kaleng bekas yang ada di sekitar tumpukan sampah, di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Pakusari. Barang bekas yang dia kumpulkan itulah yang selama ini menjadi mata pencarian perempuan tujuh cucu tersebut.

Tangan keriput Maadi juga terlihat cekatan di bawah gubuk di atas lautan sampah. Satu per satu sampah plastik dikumpulkan dalam keranjang berbahan bambu yang biasa menemaninya bekerja. Tak lama setelah itu, sampah hasil buruannya beberapa jam lalu selesai dipilah.

Wajah nenek ini terlihat cukup semringah. Di pelipisnya, keringat masih mengucur. Maadi pun tampak santai, duduk di bawah gubuk sederhananya yang terbuat dari plastik. Di gubuk itulah nenek ini menghirup napas panjang di antara bau busuk sampah. Sesekali, dirinya merebahkan badan sebagai tanda bahwa fisiknya harus beristirahat.

Nenek Maadi dan banyak orang di sana hampir setiap hari harus melakukan aktivitas yang sama. Memungut sampah, mendekati truk untuk memungut sampah, memilah sampah, beristirahat, dan kembali memungut sampah, sebelum hasilnya dijual.

Proses yang demikian itu dijalani Maadi setidaknya 20 tahun terakhir. Dia banyak menghabiskan waktu untuk mengais rezeki dari tempat terkotor tersebut. “Paling banyak Rp 40 ribu,” katanya. Hasil itu pun karena dibantu anaknya yang datang. Nenek ini dapat hasil tak sebanyak dulu saat muda. Namun, uang Rp 40 ribu bisa dibilang cukup, bahkan lebih, untuk kehidupannya sehari penuh.

Pada usia 76 tahun, seseorang seharusnya banyak beristirahat dan menghabiskan waktu bersama keluarga dan cucunya. Tapi, tidak dengan Maadi. Sebab, ekonomi keluarga yang tak mendukung dan dirinya juga tidak nyaman diam di rumah. “Alhamdulillah, ini saja sudah cukup, yang penting bisa makan dan sehat,” katanya sambil menyunggingkan senyum kepada Jawa Pos Radar Jember.

Nenek Maadi mengaku, dirinya sangat jarang sakit. Kalaupun badannya merasa sakit, dirinya hanya membeli obat-obatan sederhana di warung dan beristirahat sejenak. Bagi Maadi, kuman bisa jadi sudah menjadi teman yang hanya akan dibersihkan pada waktu sore menjelang malam.

Nenek tujuh cucu ini pun mengaku bersyukur karena selama menjadi pemulung, banyak mendapatkan barang. Misalnya, sayuran yang masih terbungkus rapi, uang, serta peralatan rumah tangga bekas namun layak pakai.

Bagi Maadi dan sejumlah pemulung lain, bau tak sedap di tengah sampah yang menggunung hingga 14 meter tersebut bukanlah sebuah penghalang. Setiap hari, mereka akan tetap bergelut dan mengarungi tumpukan sampah demi mendapatkan sesuap nasi dari rezeki barang bekas yang dijual. (c2/nur)

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca