24.4 C
Jember
Wednesday, 29 March 2023

Relasi Kuasa Masih Menjadi Penyebab Utama

Pengaduan Kasus Predator Kampus Selama 2020

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus hampir pernah tidak surut. Pun halnya ketika pandemi merebak. Seperti yang terjadi pada pertengahan 2020 lalu. LBH Jentera sempat menerima pengaduan dari mahasiswa yang dilecehkan oleh seorang petinggi perguruan tinggi swasta di Jember.

Sayangnya, penanganannya menjadi tidak optimal lantaran ketika korban melaporkan kasus ini kepada salah satu LBH, pihak kampus tidak bersedia untuk mengklarifikasi dan menolak tuduhan tersebut. Akibatnya, korban pun tidak bersedia kasus ini diusut. “Terpaksa kasus ditutup. Tidak ada tindak lanjut,” ungkap Direktur LBH Jentera Yamini.

Modusnya cukup banyak. Mulai dari finishing tugas kuliah, bimbingan skripsi, dan lainnya. Menurut Yamini, kasus pelecehan seksual yang terjadi di kampus tak hanya melibatkan dosen dan mahasiswa. Namun juga bisa terjadi antara sesama mahasiswa. Umumnya, mereka yang masih dalam satu lingkup organisasi. “Hubungan senioritas dan junior. Biasanya kalau mereka berbaur di base camp,” imbuh Yamini.

Mobile_AP_Rectangle 2

Yamini melanjutkan, pengaduan terhadap kasus ini masih minim karena kurangnya edukasi. Dari beberapa pengaduan mahasiswa yang dia terima, sering kali si pengadu tak memahami pelecehan seksual yang telah menimpa mereka. “Kadang mereka tidak tahu atau tidak sadar kalau perlakuan yang mereka terima adalah pelecehan seksual,” ungkapnya.

Selain itu, relasi kuasa masih menjadi penyebab utama adanya kasus pelecehan seksual dan eksistensi predator kampus. Umumnya, mahasiswa masih memiliki rasa takut untuk speak up atas perlakuan yang tidak menyenangkan.

Lebih lanjut, Yamini memaparkan bahwa umumnya kasus bermula ketika dosen atau para senior kampus melakukan obrolan yang cukup intens dan di luar topik pembahasan. Obrolan berlangsung melalui daring, lalu lanjut dalam pertemuan. Jika sudah demikian, siklus selanjutnya adalah beberapa dosen akan mengajak untuk pergi berdua. “Ajakan ini tidak wajar. Modusnya bermacam-macam. Salah satunya adalah pemenuhan referensi kuliah,” tegasnya.

Sementara itu, akademisi IAIN Jember sekaligus pemerhati isu perempuan, Nurul Widyawati, mengungkapkan bahwa dalam hal ini kampus perlu melakukan penyegaran kebijakan yang berbasis gender. Serta optimalisasi eksistensi Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) di perguruan tinggi. “Selebihnya, kampus bisa membuat kebijakan sesuai dengan kondisi mereka,” tegas Nurul.

Jawa Pos Radar Jember sempat melakukan polling kepada 23 mahasiswa yang tersebar di tiga perguruan tinggi di Jember. Hasilnya, hampir semuanya mengaku mengalami pelecehan seksual dari senior dan temannya di kampus. Perlakuan pelecehan tersebut didapat dari dosen dan karyawan kampus seperti petugas TU dan cleaning service. Bentuknya pun beragam. Mulai dalam bentuk lisan, melakukan sentuhan kepada tubuh mahasiswa, hingga mengajak ke hotel.

Sayangnya, 22 koresponden menyatakan tidak tahu mengenai adanya pengaduan pelecehan seksual di kampus. Hanya satu koresponden yang mengetahui eksistensi lembaga pengaduan kasus pelecehan seksual. Sementara, jika ditanya intensitas edukasi seksual dan sosialisasi di kampus, 21 koresponden menjawab tidak pernah. Hanya ada dua koresponden yang menyatakan pernah mendapatkan sosialisasi dari dosen yang mengajar di kelas, bukan dari lembaga yang menangani masalah tersebut.

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus hampir pernah tidak surut. Pun halnya ketika pandemi merebak. Seperti yang terjadi pada pertengahan 2020 lalu. LBH Jentera sempat menerima pengaduan dari mahasiswa yang dilecehkan oleh seorang petinggi perguruan tinggi swasta di Jember.

Sayangnya, penanganannya menjadi tidak optimal lantaran ketika korban melaporkan kasus ini kepada salah satu LBH, pihak kampus tidak bersedia untuk mengklarifikasi dan menolak tuduhan tersebut. Akibatnya, korban pun tidak bersedia kasus ini diusut. “Terpaksa kasus ditutup. Tidak ada tindak lanjut,” ungkap Direktur LBH Jentera Yamini.

Modusnya cukup banyak. Mulai dari finishing tugas kuliah, bimbingan skripsi, dan lainnya. Menurut Yamini, kasus pelecehan seksual yang terjadi di kampus tak hanya melibatkan dosen dan mahasiswa. Namun juga bisa terjadi antara sesama mahasiswa. Umumnya, mereka yang masih dalam satu lingkup organisasi. “Hubungan senioritas dan junior. Biasanya kalau mereka berbaur di base camp,” imbuh Yamini.

Yamini melanjutkan, pengaduan terhadap kasus ini masih minim karena kurangnya edukasi. Dari beberapa pengaduan mahasiswa yang dia terima, sering kali si pengadu tak memahami pelecehan seksual yang telah menimpa mereka. “Kadang mereka tidak tahu atau tidak sadar kalau perlakuan yang mereka terima adalah pelecehan seksual,” ungkapnya.

Selain itu, relasi kuasa masih menjadi penyebab utama adanya kasus pelecehan seksual dan eksistensi predator kampus. Umumnya, mahasiswa masih memiliki rasa takut untuk speak up atas perlakuan yang tidak menyenangkan.

Lebih lanjut, Yamini memaparkan bahwa umumnya kasus bermula ketika dosen atau para senior kampus melakukan obrolan yang cukup intens dan di luar topik pembahasan. Obrolan berlangsung melalui daring, lalu lanjut dalam pertemuan. Jika sudah demikian, siklus selanjutnya adalah beberapa dosen akan mengajak untuk pergi berdua. “Ajakan ini tidak wajar. Modusnya bermacam-macam. Salah satunya adalah pemenuhan referensi kuliah,” tegasnya.

Sementara itu, akademisi IAIN Jember sekaligus pemerhati isu perempuan, Nurul Widyawati, mengungkapkan bahwa dalam hal ini kampus perlu melakukan penyegaran kebijakan yang berbasis gender. Serta optimalisasi eksistensi Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) di perguruan tinggi. “Selebihnya, kampus bisa membuat kebijakan sesuai dengan kondisi mereka,” tegas Nurul.

Jawa Pos Radar Jember sempat melakukan polling kepada 23 mahasiswa yang tersebar di tiga perguruan tinggi di Jember. Hasilnya, hampir semuanya mengaku mengalami pelecehan seksual dari senior dan temannya di kampus. Perlakuan pelecehan tersebut didapat dari dosen dan karyawan kampus seperti petugas TU dan cleaning service. Bentuknya pun beragam. Mulai dalam bentuk lisan, melakukan sentuhan kepada tubuh mahasiswa, hingga mengajak ke hotel.

Sayangnya, 22 koresponden menyatakan tidak tahu mengenai adanya pengaduan pelecehan seksual di kampus. Hanya satu koresponden yang mengetahui eksistensi lembaga pengaduan kasus pelecehan seksual. Sementara, jika ditanya intensitas edukasi seksual dan sosialisasi di kampus, 21 koresponden menjawab tidak pernah. Hanya ada dua koresponden yang menyatakan pernah mendapatkan sosialisasi dari dosen yang mengajar di kelas, bukan dari lembaga yang menangani masalah tersebut.

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus hampir pernah tidak surut. Pun halnya ketika pandemi merebak. Seperti yang terjadi pada pertengahan 2020 lalu. LBH Jentera sempat menerima pengaduan dari mahasiswa yang dilecehkan oleh seorang petinggi perguruan tinggi swasta di Jember.

Sayangnya, penanganannya menjadi tidak optimal lantaran ketika korban melaporkan kasus ini kepada salah satu LBH, pihak kampus tidak bersedia untuk mengklarifikasi dan menolak tuduhan tersebut. Akibatnya, korban pun tidak bersedia kasus ini diusut. “Terpaksa kasus ditutup. Tidak ada tindak lanjut,” ungkap Direktur LBH Jentera Yamini.

Modusnya cukup banyak. Mulai dari finishing tugas kuliah, bimbingan skripsi, dan lainnya. Menurut Yamini, kasus pelecehan seksual yang terjadi di kampus tak hanya melibatkan dosen dan mahasiswa. Namun juga bisa terjadi antara sesama mahasiswa. Umumnya, mereka yang masih dalam satu lingkup organisasi. “Hubungan senioritas dan junior. Biasanya kalau mereka berbaur di base camp,” imbuh Yamini.

Yamini melanjutkan, pengaduan terhadap kasus ini masih minim karena kurangnya edukasi. Dari beberapa pengaduan mahasiswa yang dia terima, sering kali si pengadu tak memahami pelecehan seksual yang telah menimpa mereka. “Kadang mereka tidak tahu atau tidak sadar kalau perlakuan yang mereka terima adalah pelecehan seksual,” ungkapnya.

Selain itu, relasi kuasa masih menjadi penyebab utama adanya kasus pelecehan seksual dan eksistensi predator kampus. Umumnya, mahasiswa masih memiliki rasa takut untuk speak up atas perlakuan yang tidak menyenangkan.

Lebih lanjut, Yamini memaparkan bahwa umumnya kasus bermula ketika dosen atau para senior kampus melakukan obrolan yang cukup intens dan di luar topik pembahasan. Obrolan berlangsung melalui daring, lalu lanjut dalam pertemuan. Jika sudah demikian, siklus selanjutnya adalah beberapa dosen akan mengajak untuk pergi berdua. “Ajakan ini tidak wajar. Modusnya bermacam-macam. Salah satunya adalah pemenuhan referensi kuliah,” tegasnya.

Sementara itu, akademisi IAIN Jember sekaligus pemerhati isu perempuan, Nurul Widyawati, mengungkapkan bahwa dalam hal ini kampus perlu melakukan penyegaran kebijakan yang berbasis gender. Serta optimalisasi eksistensi Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) di perguruan tinggi. “Selebihnya, kampus bisa membuat kebijakan sesuai dengan kondisi mereka,” tegas Nurul.

Jawa Pos Radar Jember sempat melakukan polling kepada 23 mahasiswa yang tersebar di tiga perguruan tinggi di Jember. Hasilnya, hampir semuanya mengaku mengalami pelecehan seksual dari senior dan temannya di kampus. Perlakuan pelecehan tersebut didapat dari dosen dan karyawan kampus seperti petugas TU dan cleaning service. Bentuknya pun beragam. Mulai dalam bentuk lisan, melakukan sentuhan kepada tubuh mahasiswa, hingga mengajak ke hotel.

Sayangnya, 22 koresponden menyatakan tidak tahu mengenai adanya pengaduan pelecehan seksual di kampus. Hanya satu koresponden yang mengetahui eksistensi lembaga pengaduan kasus pelecehan seksual. Sementara, jika ditanya intensitas edukasi seksual dan sosialisasi di kampus, 21 koresponden menjawab tidak pernah. Hanya ada dua koresponden yang menyatakan pernah mendapatkan sosialisasi dari dosen yang mengajar di kelas, bukan dari lembaga yang menangani masalah tersebut.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca