JEMBER, RADARJEMBER.ID – Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU) mendapat perlawanan para buruh. Mereka menilai, UU itu merugikan pekerja. Untuk itu, para buruh dan serikat pekerja menuntut pemerintah mencabut undang-undang tersebut.
Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kabupaten Jember Koster Sianipar menilai, banyak pasal dalam UU itu yang merugikan kaum buruh. Di antaranya, terkait dengan status pekerja, hak cuti, kebijakan upah, dan pesangon. “Apa pun dalih pemerintah yang menjadi sasaran akhir UU Omnibus Law Cipta Kerja, tetap merugikan para pekerja,” tuturnya.
Menurutnya, dalam UU lama, ada status yang jelas untuk para buruh. Mulai pekerja harian lepas, magang, kontrak, hingga karyawan tetap. Namun pada UU Omnibus Law, status kontrak berubah menjadi seumur hidup. Sedangkan sistem outsourcing atau alih daya juga diperbolehkan di segala jenis pekerjaan. “Tentu saja, itu sangat merugikan,” lanjutnya.
Terkait dengan cuti juga sama. Ada banyak perubahan. Jika sebelumnya pekerja perempuan memiliki hak cuti haid, cuti hamil, hingga cuti melahirkan, tapi pada UU yang baru hak cuti itu dipangkas demi efisiensi. Selanjutnya, mekanisme penentuan besaran upah juga berubah. Dewan Pengupahan Kabupaten (Depekab) yang bertugas menentukan besar upah sudah tidak ada lagi. Sebab, penetapan besaran upah berada di tingkat provinsi. “Jadi, tidak ada lagi mekanisme yang membedakan besaran upah per kabupaten. Tentu saja, ini akan rawan, karena kebutuhan tiap kabupaten berbeda,” jelasnya.
Terpisah, Ketua DPC Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Kabupaten Jember Umar Faruk menjelaskan, banyak alasan yang membuat UU Omnibus Law ditolak oleh pekerja. Salah satunya adalah hilangnya hak pesangon untuk pekerja yang di-PHK. Padahal, ketentuan tersebut sudah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. “Dalam UU yang baru upah dihitung per jam,” katanya.
Faruk menuturkan, pada UU Ketenagakerjaan juga sudah diatur bahwa seseorang yang telah bekerja dalam kurun satu bulan, harus menerima gaji sesuai batasan upah minimum kabupaten (UMK). Jadi, pihak perusahaan tak bisa memberikan di bawah UMK. Sementara, jika gaji buruh diatur per jam sesuai ketentuan yang baru, maka dia menilai upah yang diterima dalam sebulan tak akan sesuai dengan harapan. “Otomatis di bawah UMK,” ungkapnya.
Di sisi lain, Faruk juga menyoroti hilangnya jaminan sosial tenaga kerja. Hal itu, kata dia, merupakan dampak adanya ketentuan tentang tenaga kerja kontrak dan pekerja alih daya yang diberlakukan seumur hidup atau tanpa batasan. “Juga, tidak adanya kepastian dalam bekerja. Apalagi PHK akan dipermudah,” imbuhnya.
Dia pun meminta, jangan karena berdalih mempermudah investor asing, pemerintah dan DPR tidak mendengarkan aspirasi pekerja di seluruh Indonesia. Atas nama buruh, Faruk menuntut pemerintah membatalkan atau mencabut UU Omnibus Law tersebut, yang disebutnya tidak mengakomodasi kepentingan pekerja. “Belum lagi pada era Covid-19 ini, jutaan banyak yang di-PHK. Juga dirumahkan tanpa ada pembelaan dan solusi baik dari pemerintah maupun DPR,” ucapnya.