JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sifat air akan selalu mencari jalannya untuk mengalir. Bahkan, bila jalan itu tersumbat, air bakal tetap memaksa lewat. Tak ubahnya Sungai Bedadung. Meski memiliki tangkis dari hulu sampai hilir, tapi tetap saja meluap. Tentu ada sebab. Dan sebab inilah yang tengah menjadi permasalahan yang harus dicari solusinya bersama-sama.
Terlebih, sungai yang membelah Kota Tembakau dari ujung utara hingga Pantai Puger ini cukup besar dan panjang. Bahkan terbesar dan terpanjang di Kabupaten Jember. Tak heran, saat banjir, dalam asesmen Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jember, dampak luar biasa. Sedikitnya, terdapat 411 kepala keluarga (KK) yang terdampak. Jumlah itu tersebar pada 13 desa/kelurahan di 7 kecamatan.
Plt Kepala BPBD Jember Mat Satuki mengatakan, kondisi Bedadung belakangan ini memang sesuai prediksi Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) yang menyebut, awal tahun 2021 bakal terjadi cuaca ekstrem. “Berdasarkan prediksi, puncaknya di Februari ini. Dan kebetulan juga di Sungai Bedadung banyak yang tinggal di berem atau bantaran sungai. Jadi, banyak yang terdampak,” ujarnya.
Satuki juga membenarkan faktor lain penyebab banjir. Menurut dia, sebenarnya warga yang tinggal di bantaran sungai itu menyalahi aturan. Akibatnya, saat terjadi luapan, warga yang tinggal di bantaran yang kali pertama terdampak. Ia meyakini, jika tidak ada hunian di sekitarnya, tanggul atau tangkis sungai itu sebenarnya cukup efektif memberikan perlindungan dari luapan. “Namun, penghuninya ada yang sampai di bibir sungai. Sehingga terdampaklah mereka,” imbuhnya, saat ditemui Jawa Pos Radar Jember, belum lama ini.
Dalam asesmen BPBD Jember juga disebutkan, sekitar 7 kecamatan yang terdampak banjir luapan sungai itu rata-rata adalah warga yang tinggal berdekatan dengan area sungai. Selanjutnya, kata Satuki, pihaknya memang tidak memiliki wewenang dalam menegakkan aturan atau regulasi yang sudah baku terkait aliran Sungai Bedadung itu. Namun, langkah-langkah strategis bisa diupayakan. Ini untuk mencegah kejadian serupa terulang.
Salah satunya, dia menyatakan, membikin regulasi melalui peraturan daerah (perda) atau aturan di atasnya. Meski hal itu diakui bukan menjadi kewenangannya. “Mungkin selanjutnya, bisa lebih tegas menyosialisasikan aturan yang ada. Insyaallah bisa berjalan lebih baik,” tutupnya.
Sungai Bedadung secara kewenangan dan pengelolaan berada di Dinas PU Bina Marga dan Sumber Daya Air (SDA) Provinsi Jawa Timur. Sementara, pemerintah daerah hanya dilibatkan untuk pengawasan dan pengendalian melalui kontrak kerja sama atau MoU antara pemda dengan pemprov.
Pelaksana Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal) dari Balai Besar Pengawasan Sungai Wilayah Malang Selatan, Lumajang, Jember, Banyuwangi, PU Bina Marga dan SDA Provinsi Jawa Timur Samsul Arifin membenarkan hal itu. Ia membeberkan sejumlah fakta-fakta lain mengenai Bedadung. Termasuk adanya banjir dari luapan akhir Januari lalu itu.
Jika karena faktor cuaca, di tiap daerah dinilainya hampir sama. Cuaca ekstrem dengan intensitas hujan tinggi membuat kenaikan signifikan pada volume air sungai. “Musim hujan hampir terjadi di tiap wilayah. Ada yang bisa bertahan dan tidak sampai banjir. Dan begitupun sebaliknya,” ujarnya.
Samsul menjelaskan, sebenarnya sungai itu sudah terdapat besaran kapasitas maksimalnya dan besaran volume maksimalnya. Hal itu memang didesain apabila sewaktu-waktu ada air besar atau melebihi kapasitas yang tidak wajar. Bahkan sejak zaman Hindia-Belanda, abad ke-19, Sungai Bedadung didesain dengan kekuatan tangkisnya yang bakal bertahan selama 100 tahun ke depan. “Sungai Bedadung itu sudah mengantongi perencanaan selama 100 tahun lamanya untuk tangkisnya itu. Jadi, misalnya ada banjir yang lebih besar dari kurun waktu itu, berarti perlu ditinjau ulang potensi hulunya juga. Gundul tidak alasnya itu dan alih fungsi lahan berapa,” ungkapnya kepada Jawa Pos Radar Jember, Sabtu (6/2).
Jika sudah terjadi banjir, air melimpas di atas tangkis, atau bahkan jebol, kata Samsul, jangan keburu disalahkan Sungai Bedadung-nya. Sebab, ia meyakini, Sungai Bedadung itu sudah ada dan eksis sejak Belanda dengan fungsi utama untuk irigasi. Dan lagi, di daerah lain juga ada sungai yang lebih besar dan lebar dari Bedadung, yang saat musim hujan mampu menyelamatkan warga dari kepungan banjir.
Namun, dia menambahkan, jika banjir luapan sudah terjadi seperti kemarin itu, maka hal itu memang sudah sewajarnya menjadi tanggung jawab bersama, pemprov dan kabupaten, serta dinas-dinas terkait lainnya. “Kami selaku pemegang kewenangan, sementara ini masih koordinasi dan memantau curah hujan di tiap daerah dan tiap sungai. Ini untuk deteksi awal sekaligus mitigasi dini bencana,” sambungnya.
Selain itu, ia menyinggung seputar peraturan turunan atau ketentuan mengenai Sungai Bedadung itu. Hal itu sudah tertuang dalam kerja sama (MoU) yang diperbarui tiap tahun antara Pemprov Jatim dan Pemerintah Daerah Jember. Meliputi kerja sama pemeliharaan sungai dan saluran. Bahkan, ketentuan dan segala regulasi itu sudah dimiliki oleh Pemprov Jatim, termasuk kewenangannya. “Namun, jika Jember ingin menginisiasi itu, ada rancangan kerja samanya, bahkan sampai ke perda. Tentu juga perlu koordinasi dengan provinsi,” paparnya.
Selanjutnya, untuk mengupayakan adanya perbaikan dengan harapan tidak lagi banjir, hal itu diakui Samsul sulit diurai. Meski bencana banjir itu sudah menjadi bahan evaluasi, namun ruang untuk melakukan perbaikan seperti normalisasi sampai relokasi permukiman di bantaran, belum begitu memungkinkan. Sebab, ada banyak pertimbangan yang sulit dilalui. Utamanya soal sosial masyarakat. “Catatannya, kami punya ruang tidak untuk itu? Dari sisi ruang, perbaikan, anggaran, dan sejenisnya,” jelasnya.
Selain itu, kondisi Sungai Bedadung di Jember sebagaimana diketahui, banyak ditumbuhi bangunan-bangunan milik warga sampai pemerintah sendiri. Hal itu yang disebutnya sulit memiliki ruang. Apalagi, sampai ada upaya normalisasi tangkis atau bahkan relokasi warga di bantaran sungai. “Dasarnya, sungai itu gampang saja kita kendalikan. Tapi sosialnya ini yang sulit,” tambahnya.
Lebih jauh, Samsul menambahkan, problem sosial semacam itu menjadi fakta sekaligus masalah laten tak berkesudahan. Wajar, mengurai problem itu cukup sulit. Bahkan kalaupun bisa, butuh waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. “Paling mudah adalah optimalisasi pada warning system-nya. Jadi, banjir datang, ayo warga ramai-ramai segera ngungsi. Gitu saja,” tukasnya.