TEGAL BESAR, RADARJEMBER.ID – Kasus kekerasan perempuan di Jember terbilang masih cukup tinggi. Laporan yang paling banyak diadukan adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), disusul kekerasan berbasis gender online (KBGO), kekerasan seksual, dan pemerkosaan.
Menurut Sri Sulistiyani, Direktur Lembaga Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember, antara kekerasan seksual dengan pemerkosaan ini sengaja dibedakan penyebutannya. Ini karena pemerkosaan memiliki dampak yang sangat luar biasa. “Pengalaman pemerkosaan akan menyisakan traumatik yang mendalam bagi korban,” jelasnya.
Yang sedang marak terjadi saat ini ialah KBGO. Kekerasan ini dilakukan secara daring melalui sosial media. Bisa berawal perkenalan di Facebook, lalu menjalin komunikasi lebih jauh hingga memiliki hubungan khusus. Ketika sudah mulai memahami target (korban, Red), laki-laki akan memperdaya dengan cara-cara yang mengarah pada seksualitas sampai ancaman dan pemerasan.
Kebanyakan, kata Sulis, pihak yang paling rentan menjadi korban adalah perempuan. Hal ini karena ada risiko kehamilan dan sifat penyayang perempuan yang malah dimanfaatkan oleh laki-laki. “Ada ketimpangan kekuasaan dalam hubungan, dan laki-lakilah yang dominan berkuasa,” tambah Sulis yang juga seorang guru matematika pada salah satu SMP di Balung ini.
Pelaku kekerasan biasanya adalah orang-orang terdekat, atau minimal telah mengenal korbannya. Ini alasan mengapa kasus KDRT laporannya sangat tinggi. Ditambah dengan pandemi yang membuat pasangan suami istri sering di rumah bersama karena harus bekerja dari rumah.
Sementara itu, Yamini, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jentera Perempuan Indonesia, membenarkan alasan tersebut. Jumlah laporan kasus KDRT yang masuk LBH ini yang paling tinggi. “Tahun 2020 saja kami menangani kasus KDRT lebih dari 100 kasus,” sebutnya.
Perempuan yang juga advokat ini menuturkan, laporan KDRT yang masuk ke LBH akan segera ditangani secara hukum. Sebelumnya, aduan bisa dilakukan secara langsung dengan datang ke kantor LBH Jentera Perempuan Indonesia Jember atau secara daring melalui WhatsApp, telepon, atau website. Ada beberapa tahapan penanganan.
Penyintas akan diberikan pandangan analisis hukum mengenai kasus yang menimpanya. Di situ akan terjadi diskusi lebih dalam. Sebagai subjek, penyintas akan diberikan hak memilih. “Kami hanya membantu, mereka yang mempunyai hak untuk melanjutkan kasus ke meja hijau atau menyelesaikannya sendiri,” papar Yamini. (mg8/c2/bud)
Kasus Kekerasan Perempuan di Jember Didominasi KDRT

TEGAL BESAR, RADARJEMBER.ID – Kasus kekerasan perempuan di Jember terbilang masih cukup tinggi. Laporan yang paling banyak diadukan adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), disusul kekerasan berbasis gender online (KBGO), kekerasan seksual, dan pemerkosaan.
Menurut Sri Sulistiyani, Direktur Lembaga Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember, antara kekerasan seksual dengan pemerkosaan ini sengaja dibedakan penyebutannya. Ini karena pemerkosaan memiliki dampak yang sangat luar biasa. “Pengalaman pemerkosaan akan menyisakan traumatik yang mendalam bagi korban,” jelasnya.
Yang sedang marak terjadi saat ini ialah KBGO. Kekerasan ini dilakukan secara daring melalui sosial media. Bisa berawal perkenalan di Facebook, lalu menjalin komunikasi lebih jauh hingga memiliki hubungan khusus. Ketika sudah mulai memahami target (korban, Red), laki-laki akan memperdaya dengan cara-cara yang mengarah pada seksualitas sampai ancaman dan pemerasan.
Kebanyakan, kata Sulis, pihak yang paling rentan menjadi korban adalah perempuan. Hal ini karena ada risiko kehamilan dan sifat penyayang perempuan yang malah dimanfaatkan oleh laki-laki. “Ada ketimpangan kekuasaan dalam hubungan, dan laki-lakilah yang dominan berkuasa,” tambah Sulis yang juga seorang guru matematika pada salah satu SMP di Balung ini.
Pelaku kekerasan biasanya adalah orang-orang terdekat, atau minimal telah mengenal korbannya. Ini alasan mengapa kasus KDRT laporannya sangat tinggi. Ditambah dengan pandemi yang membuat pasangan suami istri sering di rumah bersama karena harus bekerja dari rumah.
Sementara itu, Yamini, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jentera Perempuan Indonesia, membenarkan alasan tersebut. Jumlah laporan kasus KDRT yang masuk LBH ini yang paling tinggi. “Tahun 2020 saja kami menangani kasus KDRT lebih dari 100 kasus,” sebutnya.
Perempuan yang juga advokat ini menuturkan, laporan KDRT yang masuk ke LBH akan segera ditangani secara hukum. Sebelumnya, aduan bisa dilakukan secara langsung dengan datang ke kantor LBH Jentera Perempuan Indonesia Jember atau secara daring melalui WhatsApp, telepon, atau website. Ada beberapa tahapan penanganan.
Penyintas akan diberikan pandangan analisis hukum mengenai kasus yang menimpanya. Di situ akan terjadi diskusi lebih dalam. Sebagai subjek, penyintas akan diberikan hak memilih. “Kami hanya membantu, mereka yang mempunyai hak untuk melanjutkan kasus ke meja hijau atau menyelesaikannya sendiri,” papar Yamini. (mg8/c2/bud)
TEGAL BESAR, RADARJEMBER.ID – Kasus kekerasan perempuan di Jember terbilang masih cukup tinggi. Laporan yang paling banyak diadukan adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), disusul kekerasan berbasis gender online (KBGO), kekerasan seksual, dan pemerkosaan.
Menurut Sri Sulistiyani, Direktur Lembaga Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember, antara kekerasan seksual dengan pemerkosaan ini sengaja dibedakan penyebutannya. Ini karena pemerkosaan memiliki dampak yang sangat luar biasa. “Pengalaman pemerkosaan akan menyisakan traumatik yang mendalam bagi korban,” jelasnya.
Yang sedang marak terjadi saat ini ialah KBGO. Kekerasan ini dilakukan secara daring melalui sosial media. Bisa berawal perkenalan di Facebook, lalu menjalin komunikasi lebih jauh hingga memiliki hubungan khusus. Ketika sudah mulai memahami target (korban, Red), laki-laki akan memperdaya dengan cara-cara yang mengarah pada seksualitas sampai ancaman dan pemerasan.
Kebanyakan, kata Sulis, pihak yang paling rentan menjadi korban adalah perempuan. Hal ini karena ada risiko kehamilan dan sifat penyayang perempuan yang malah dimanfaatkan oleh laki-laki. “Ada ketimpangan kekuasaan dalam hubungan, dan laki-lakilah yang dominan berkuasa,” tambah Sulis yang juga seorang guru matematika pada salah satu SMP di Balung ini.
Pelaku kekerasan biasanya adalah orang-orang terdekat, atau minimal telah mengenal korbannya. Ini alasan mengapa kasus KDRT laporannya sangat tinggi. Ditambah dengan pandemi yang membuat pasangan suami istri sering di rumah bersama karena harus bekerja dari rumah.
Sementara itu, Yamini, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jentera Perempuan Indonesia, membenarkan alasan tersebut. Jumlah laporan kasus KDRT yang masuk LBH ini yang paling tinggi. “Tahun 2020 saja kami menangani kasus KDRT lebih dari 100 kasus,” sebutnya.
Perempuan yang juga advokat ini menuturkan, laporan KDRT yang masuk ke LBH akan segera ditangani secara hukum. Sebelumnya, aduan bisa dilakukan secara langsung dengan datang ke kantor LBH Jentera Perempuan Indonesia Jember atau secara daring melalui WhatsApp, telepon, atau website. Ada beberapa tahapan penanganan.
Penyintas akan diberikan pandangan analisis hukum mengenai kasus yang menimpanya. Di situ akan terjadi diskusi lebih dalam. Sebagai subjek, penyintas akan diberikan hak memilih. “Kami hanya membantu, mereka yang mempunyai hak untuk melanjutkan kasus ke meja hijau atau menyelesaikannya sendiri,” papar Yamini. (mg8/c2/bud)