JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sampah menjadi masalah utama yang sampai saat ini menjadi PR besar bagi pemerintah. Jika dihitung, volume sampah yang masuk ke TPA Pakusari setiap harinya mencapai 1.400 ton atau sekitar satu juta kilogram per minggu.
Penting diketahui, sampah di Jember sampai saat ini yang terkelola baru sekitar 23 persen dari jumlah keseluruhannya. Sedangkan tumpukan sampah di TPA Pakusari hingga saat ini mencapai 14 meter, tanpa ada perluasan lahan TPA. Kondisi ini cukup memprihatinkan seiring dengan meningkatnya volume sampah.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Muhamad Sigit Boedi. “Akhirnya sampah yang ada di sungai larinya ke laut semuanya,” ungkap Sigit.
Untuk menanggulangi masalah sampah yang tidak kunjung usai, saat ini Sigit memfokuskan pada program pengolahan sampah. Menekankan kembali, bagaimana sampah dapat diolah oleh rumah tangga. Yakni dengan memperbanyak adanya bank sampah, yang nantinya menjadi muara pembuangan sampah rumah tangga. Untuk selanjutnya dapat diolah menjadi barang yang memiliki nilai. “Sekarang yang kita fokuskan adalah pemilahan sampah dari hulu, yaitu dari rumah ke rumah,” tambah Sigit.
Ide ini direalisasikan melalui program satu desa satu bank sampah. Hingga saat ini sudah ada 54 desa atau bank sampah yang nantinya akan melakukan aktivitas daur ulang sampah pada rumah tangga.
Dia tidak memungkiri jumlah SDM atau petugas sampah sangatlah minim jumlahnya. Termasuk petugas armada dan sarana prasarananya. Namun, dirinya menegaskan bahwa mengatasi permasalahan sampah tidak hanya tugas DLH. “Tapi, masyarakat juga,” ungkapnya.
Permasalahan mengenai sampah memang cukup kompleks. Menurutnya, masyarakat cukup ada rasa kemalasan untuk membuang di tempat pembuangan sampah sementara. Kendalanya adalah jarak yang terlampau jauh. Hal inilah yang menyebabkan populasi orang membuang sampah di sungai cukup banyak.
“Kita juga kesulitan mencari lokasi untuk dijadikan TPS (tempat pembuangan sementara, Red). Karena tidak semuanya ditempati TPS. Idealnya, TPS itu lahan aset pemkab. Cuma, aset pemkab juga terbatas,” paparnya.
Minimnya TPS juga dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat yang minim. Meskipun DLH mendapatkan wakaf bidang tanah untuk dijadikan TPS, namun kendala selanjutnya yang dihadapi adalah kemauan masyarakat untuk menerima eksistensi TPS di sekitar tempat tinggalnya. Sedangkan jumlah TPS di Jember cukup terbatas. Sigit tak menyebut dengan pasti jumlah TPS keseluruhan yang ada di Jember. “Kemarin juga ada orang yang menawarkan lahan. Ternyata diprotes dengan tetangga kanan kirinya,” kisahnya.
Adapun perda tentang sampah, lanjut Sigit, masih dalam proses di provinsi. Asumsinya, jika perda itu sudah rampung, namun tidak dibarengi dengan kesadaran masyarakat, maka upaya-upaya untuk menertibkan pembuangan sampah akan berakhir percuma. Soal kesadaran masyarakat akan membuang sampah, Sigit membayangkan jika ada hukuman sosial yang diberlakukan pada masyarakat. Misalnya, dengan memberikan hukuman denda bagi masyarakat yang melanggar aturan pembuangan sampah. “Dalam menyadarkan masyarakat memang perlu paksaan. Kita ingin menggalakkan budaya malu pada masyarakat yang membuang sampah sembarangan,” tambahnya.
Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Delfi Nihayah
Redaktur : Nur Hariri