SUMBEREJO, RADARJEMBER.ID – SIANG itu, angin yang berembus di sekitar rumah Katiran cukup kencang. Kondisi ini membuat dirinya waswas. Khawatir rumahnya yang terbuat dari rangkaian kayu dan pelepah kelapa itu bakal roboh. Beberapa kali, dia tampak keluar rumah dan mengecek atap. Memastikan plastik yang menutupi atap rumahnya tidak copot. Sebab, biasanya akan beterbangan lantaran tersapu angin kencang. Angin pesisir pantai selatan Jember memang nakal. Ia bisa dengan mudah mengobrak-abrik kediaman Katiran. Apalagi ketika datang bersamaan dengan hujan.
Rumah warga Jember kelahiran Juli 1957 tersebut berada dekat hamparan sawah, persis di selatan Pantai Watu Ulo Jember. Bangunan usang itu berbatasan dengan sawah milik warga dan lahan milik Perhutani. Lokasinya jauh dari permukiman warga. “Kami terpaksa tinggal di alas karena tak memiliki tempat tinggal lain,” ungkap pria yang bekerja sebagai buruh tani itu.
Sebagai buruh tani, upah yang dia dapat jika bekerja seharian hanya Rp 60 ribu. Itu pun dia tak selalu kerja penuh seharian. Terkadang hanya setengah hari. “Kalau setengah hari, ya, setengahnya, Rp 30 ribu,” lanjutnya.
Belum lagi, bayaran yang dia terima juga sering telat. Mulai dua hari sekali, bahkan pernah satu minggu kemudian. Karena itu, dia bertahan hidup dengan memelihara ayam dan menanam empon-empon supaya bisa dijual jika tak ada beras untuk dimasak. Beruntung, di tengah hidup serba keterbatasan itu, para tetangga yang tinggal cukup jauh masih peduli kepadanya. Dirinya kerap mendapat bantuan dari warga sekitar. “Kadang beras, kadang uang Rp 100 ribu. Ndak mesti,” ucapnya.
Meski begitu, selama ini dia mengaku belum pernah sekalipun mendapatkan bantuan dari pemerintah. Padahal, keluarganya sering didata, namun bantuannya tidak pernah sampai. Sebenarnya, warga kelahiran Dusun Bregoh, Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu Jember itu, mengungkapkan, dia pernah sekali bakal mendapatkan bantuan. Namun, syaratnya tidak memungkinkan, sehingga batal.
Administrasi kependudukan menjadi penghambat. Dan dia diminta mengurusnya secara langsung ke kantor kecamatan. Karena tidak memiliki kendaraan, Katiran pun enggan datang. Apalagi jarak rumahnya dengan kantor kecamatan sekitar 12 kilometer. “Gampang kalau untuk orang lain, tapi susah bagi saya. Karena saya sungkan kalau mau pinjam. Tidak apa-apa wes tidak dapat bantuan, mau bagaimana lagi? Hidup seadanya saja,” ucapnya.
Namun, jika ada kesempatan, dia berharap bantuan itu benar-benar tepat sasaran. Artinya, jatuh kepada orang yang tepat, juga tidak memberatkan dengan berbagai persyaratan
Reporter : Isnein Purnomo
Fotografer : Isnein Purnomo
Editor : Mahrus Sholih