JEMBER, RADARJEMBER.ID – Pondok Pesantren Assunniyyah adalah sebuah pondok pesantren yang berdiri di Jember sebelum Indonesia merdeka. Pondok pesantren ini jaraknya kurang lebih 45 kilometer dari pusat kota Jember. Tepatnya berada di Desa/Kecamatan Kencong.
Baca Juga :Â Lulusan Pesantren Harus Siap Bersaing
Ponpes ini diasuh oleh Ahmad Ghonim Johari. Bagi dunia pesantren, nama tokoh itu sudah tidak asing lagi. Apalagi ponpesnya sudah berdiri sejak tahun 1942.
Pesantren Assunniyyah Kencong ini merupakan salah satu pondok pesantren yang masih mempertahankan sistem salaf dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam arti lebih memprioritaskan pendidikan agama dan pendalaman kitab kuning. Memisahkan antara santri putra dengan santri putri dalam ruangan yang berbeda.
Selain itu, para santri dilarang menggunakan handphone hingga jenjang yang telah ditentukan. “Kami terapkan para santri untuk tidak menggunakan handphone. Sebab, jika tidak diterapkan seperti itu, maka pembelajaran akan tidak maksimal,” kata Gus Ghoni, sapaan akrabnya.
Kemudian, madrasah yang awalnya hanya disebut tingkat imrithi, alfiyah awwal atau alfiyah tsani, dan sebagainya, diubah dan dibentuk menjadi madrasah dengan sistem yang klasik. Madrasah dibagi menjadi tiga tingkatan, yakni shifir, ibtidaiyah, dan tsanawiyah. Menurut Gus Ghonim, pesantren yang sudah sejak lama dibangun ini tetap mengusung atau mempertahankan sistem salaf. Namun, tetap memodifikasi dengan sistem formal agar tetap ada keseimbangan antara pesantren dengan dunia di luar pesantren.
Hal tersebut tentunya mengingat kebutuhan yang ada, sehingga kolaborasi sistem formal diterapkan, namun tidak menghilangkan sistem salaf. “Kami yang dulunya murni salaf, kini memodifikasi atau mengembangkan dengan formal. Bagi kami, tidak ada program yang harus menjurus pada titik tertentu. Akan tetapi, kami mengupayakan sistem yang kurang baik menjadi lebih baik lagi,” jelasnya saat dijumpai di kediamannya.
Selain pendidikan salaf yang masih diterapkan tersebut, bagaimana sistem operasional yang diterapkan? Gus Ghoni menjelaskan, biaya operasional tidak mengandalkan biaya dari pemerintah. Artinya, pembiayaan dari lokasi, tanah, merupakan milik pribadi, sehingga tidak mengandalkan bantuan dari pemerintah.
Kendati demikian, melihat jumlah santri yang banyak juga menambah pemasukan tersendiri bagi pesantren tersebut. Pembiayaannya pun cukup murah, dengan setiap santri dibebankan 350 ribu setiap bulan. Hal itu sudah termasuk dalam sistem pembelajaran, makan, hingga gedung.
Salah satu santri yang sudah tujuh tahun nyantri, Ibrahim, mengaku sangat murah, karena itu sudah termasuk semuanya. Ibrahim berharap nantinya bisa meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi di Pesantren Assunniyyah tersebut, karena pesantren ini merupakan rumah keduanya. (c2/nur)