22.4 C
Jember
Wednesday, 31 May 2023

Pria dari Jember ini Siap Saingi Robot Google

Cita-citanya Saingi Robot Google dengan Suara Penuh Rasa

Mobile_AP_Rectangle 1

AJUNG, RADARJEMBER.ID – SEJAK duduk di sekolah dasar, Wildan yakin suaranya mirip dengan Proklamator RI, Sukarno. Wildan kecil cukup antusias menirukan gaya Sukarno saat membacakan teks proklamasi dan kala berpidato. Selain itu, dia juga gemar dengan public speaking. Ia cukup pede tampil di depan publik dalam berbagai kesempatan. Misalnya saat ikut ajang lomba pidato.

“Aku juga banyak ikut organisasi. Sampai akhirnya sering mengikuti pelatihan MC,” tutur mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) itu. Di dunia perfilman lokal, Wildan adalah seorang desainer grafis dan sutradara film. Namun, kini dirinya juga menjadi seorang penyulih suara.

Wildan, Graphic Designer yang Kepincut Jadi Dubber

Selama mengikuti pelatihan dan organisasi, Wildan pun sadar jika kemampuan berbicara dan mengendalikan tone suara memiliki dampak bagi pendengar secara psikologis. Menurutnya, untuk menarik audiens tidak cukup hanya dengan konten. Namun, juga karakter dan kuat tidaknya suara yang dimiliki.

Mobile_AP_Rectangle 2

Wildan juga menganggap kemampuan orasi dan karakter suara yang dimilikinya adalah aset yang ia temukan secara autodidak. Kemudian, dia mulai mengasah kemampuan suaranya itu ketika menempuh kuliah di Malang. Saat itu, Wildan mengambil jurusan desain grafis. Namun, ia sering kongkow dan mengikuti kegiatan mahasiswa komunikasi. Kebetulan saat itu, kampusnya telah berafiliasi dengan salah satu radio terkemuka di Indonesia yang memiliki kantor biro di Malang.

“Beberapa dosen dan teman-teman juga banyak yang mengatakan kalau aku punya bakat di situ,” kisah laki-laki kelahiran Lumajang, 13 Juni 1995, yang kini tinggal di Kecamatan Ajung itu.

Namun, kemampuan suaranya sempat tidak berkembang setelah ia menyelesaikan studi di Malang yang hanya setahun itu. Sebab, fokusnya teralihkan pada kesibukan desain. Sampai akhirnya pada 2015 lalu ia masuk kuliah di IAIN Jember atau sekarang menjadi Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) dengan mengambil Program Studi Komunikasi dan Penyiaran.

Namun, lagi-agi, bakatnya tidak berkembang dengan baik karena dunia sulih suara di Jember masih minim. Walaupun saat itu radio kampus sudah eksis, tapi Wildan lebih memilih fokus pada dunia perfilman. Mulai saat itu, dirinya mulai pesimistis dengan kemampuan dan bakatnya tersebut. “Radio ada di kampus. Tapi, aku tidak minat di sana. Aku malah minat di film karena bisa banyak belajar di sana. Lebih general,” kata Wildan.

Kemampuan suaranya itu mulai terasah ketika Wildan menjalani kuliah praktik kerja lapangan di salah satu stasiun TV swasta di Surabaya. Salah satu pimpinan di sana mengatakan bahwa suara Wildan memiliki karakter. “Dilalah, aku ditangani langsung sama direkturnya. Aku respek sama beliau karena tetap mendampingi di salah satu privat kelas, meski banyak kesibukan,” tuturnya.

Hingga akhirnya, suara Wildan terbentuk dan memiliki karakter suara yang cocok sebagai pengisi dalam berita kriminal dan hard news. Pulang dari magang, dia mulai menekuni profesi itu secara freelance. Ia juga sempat dikontrak beberapa agensi tersohor untuk mengisi suara program horor. Beberapa tahapan casting pun ia lewati. “Dari proses itu, aku yakin meskipun dari kampus Islam, di dunia penyiaran tetap tidak tertinggal kok,” ujarnya.

Gayung bersambut, salah seorang temannya merekomendasikan Wildan untuk mengikuti komunitas virtual, yaitu Surabaya Voice Over. Anggotanya adalah para penyiar dan pengisi suara latar papan atas se-Jawa Timur. Inilah yang memicunya terus belajar dan berkreasi dengan membuat konten suara di beberapa platform saluran digital, tanpa meninggalkan fokusnya menjadi seorang graphic designer. “Saat pandemi juga meledak konten-konten podcast dan lebih variatif. Aku tertarik untuk mengikuti itu,” ungkap pemuda jebolan Pondok Pesantren Al Yasini, Pasuruan, itu.

Kini, cita-citanya dalam bidang sulih suara adalah menciptakan bank suara untuk memenuhi kebutuhan perusahaan. Ia ingin menciptakan dan mengumpulkan suara-suara yang berbeda dengan suara Google. Sebab, menurutnya, dalam kurun waktu lima tahun mendatang, kebutuhan suara untuk keperluan artificial intelligence akan sangat dibutuhkan. Terlebih, saat ini Indonesia masih belum punya start up yang bergerak di bidang suara.

Saat ini, kata dia, dunia masih belum punya pengisi suara robot dengan perasaan. Yakni pengisi suara produk digital dengan ada intonasinya. Ada rasanya. “Feel-nya kan beda. Kami juga bisa menyalurkan ekspresi dari suara itu. Misalnya, untuk pengguna aplikasi tunanetra. Kalau suara Google itu robot banget,” pungkasnya.

Reporter : Dian Cahyani

Fotografer : Wildan For Radar Jember

Editor : Mahrus Sholih

- Advertisement -

AJUNG, RADARJEMBER.ID – SEJAK duduk di sekolah dasar, Wildan yakin suaranya mirip dengan Proklamator RI, Sukarno. Wildan kecil cukup antusias menirukan gaya Sukarno saat membacakan teks proklamasi dan kala berpidato. Selain itu, dia juga gemar dengan public speaking. Ia cukup pede tampil di depan publik dalam berbagai kesempatan. Misalnya saat ikut ajang lomba pidato.

“Aku juga banyak ikut organisasi. Sampai akhirnya sering mengikuti pelatihan MC,” tutur mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) itu. Di dunia perfilman lokal, Wildan adalah seorang desainer grafis dan sutradara film. Namun, kini dirinya juga menjadi seorang penyulih suara.

Wildan, Graphic Designer yang Kepincut Jadi Dubber

Selama mengikuti pelatihan dan organisasi, Wildan pun sadar jika kemampuan berbicara dan mengendalikan tone suara memiliki dampak bagi pendengar secara psikologis. Menurutnya, untuk menarik audiens tidak cukup hanya dengan konten. Namun, juga karakter dan kuat tidaknya suara yang dimiliki.

Wildan juga menganggap kemampuan orasi dan karakter suara yang dimilikinya adalah aset yang ia temukan secara autodidak. Kemudian, dia mulai mengasah kemampuan suaranya itu ketika menempuh kuliah di Malang. Saat itu, Wildan mengambil jurusan desain grafis. Namun, ia sering kongkow dan mengikuti kegiatan mahasiswa komunikasi. Kebetulan saat itu, kampusnya telah berafiliasi dengan salah satu radio terkemuka di Indonesia yang memiliki kantor biro di Malang.

“Beberapa dosen dan teman-teman juga banyak yang mengatakan kalau aku punya bakat di situ,” kisah laki-laki kelahiran Lumajang, 13 Juni 1995, yang kini tinggal di Kecamatan Ajung itu.

Namun, kemampuan suaranya sempat tidak berkembang setelah ia menyelesaikan studi di Malang yang hanya setahun itu. Sebab, fokusnya teralihkan pada kesibukan desain. Sampai akhirnya pada 2015 lalu ia masuk kuliah di IAIN Jember atau sekarang menjadi Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) dengan mengambil Program Studi Komunikasi dan Penyiaran.

Namun, lagi-agi, bakatnya tidak berkembang dengan baik karena dunia sulih suara di Jember masih minim. Walaupun saat itu radio kampus sudah eksis, tapi Wildan lebih memilih fokus pada dunia perfilman. Mulai saat itu, dirinya mulai pesimistis dengan kemampuan dan bakatnya tersebut. “Radio ada di kampus. Tapi, aku tidak minat di sana. Aku malah minat di film karena bisa banyak belajar di sana. Lebih general,” kata Wildan.

Kemampuan suaranya itu mulai terasah ketika Wildan menjalani kuliah praktik kerja lapangan di salah satu stasiun TV swasta di Surabaya. Salah satu pimpinan di sana mengatakan bahwa suara Wildan memiliki karakter. “Dilalah, aku ditangani langsung sama direkturnya. Aku respek sama beliau karena tetap mendampingi di salah satu privat kelas, meski banyak kesibukan,” tuturnya.

Hingga akhirnya, suara Wildan terbentuk dan memiliki karakter suara yang cocok sebagai pengisi dalam berita kriminal dan hard news. Pulang dari magang, dia mulai menekuni profesi itu secara freelance. Ia juga sempat dikontrak beberapa agensi tersohor untuk mengisi suara program horor. Beberapa tahapan casting pun ia lewati. “Dari proses itu, aku yakin meskipun dari kampus Islam, di dunia penyiaran tetap tidak tertinggal kok,” ujarnya.

Gayung bersambut, salah seorang temannya merekomendasikan Wildan untuk mengikuti komunitas virtual, yaitu Surabaya Voice Over. Anggotanya adalah para penyiar dan pengisi suara latar papan atas se-Jawa Timur. Inilah yang memicunya terus belajar dan berkreasi dengan membuat konten suara di beberapa platform saluran digital, tanpa meninggalkan fokusnya menjadi seorang graphic designer. “Saat pandemi juga meledak konten-konten podcast dan lebih variatif. Aku tertarik untuk mengikuti itu,” ungkap pemuda jebolan Pondok Pesantren Al Yasini, Pasuruan, itu.

Kini, cita-citanya dalam bidang sulih suara adalah menciptakan bank suara untuk memenuhi kebutuhan perusahaan. Ia ingin menciptakan dan mengumpulkan suara-suara yang berbeda dengan suara Google. Sebab, menurutnya, dalam kurun waktu lima tahun mendatang, kebutuhan suara untuk keperluan artificial intelligence akan sangat dibutuhkan. Terlebih, saat ini Indonesia masih belum punya start up yang bergerak di bidang suara.

Saat ini, kata dia, dunia masih belum punya pengisi suara robot dengan perasaan. Yakni pengisi suara produk digital dengan ada intonasinya. Ada rasanya. “Feel-nya kan beda. Kami juga bisa menyalurkan ekspresi dari suara itu. Misalnya, untuk pengguna aplikasi tunanetra. Kalau suara Google itu robot banget,” pungkasnya.

Reporter : Dian Cahyani

Fotografer : Wildan For Radar Jember

Editor : Mahrus Sholih

AJUNG, RADARJEMBER.ID – SEJAK duduk di sekolah dasar, Wildan yakin suaranya mirip dengan Proklamator RI, Sukarno. Wildan kecil cukup antusias menirukan gaya Sukarno saat membacakan teks proklamasi dan kala berpidato. Selain itu, dia juga gemar dengan public speaking. Ia cukup pede tampil di depan publik dalam berbagai kesempatan. Misalnya saat ikut ajang lomba pidato.

“Aku juga banyak ikut organisasi. Sampai akhirnya sering mengikuti pelatihan MC,” tutur mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) itu. Di dunia perfilman lokal, Wildan adalah seorang desainer grafis dan sutradara film. Namun, kini dirinya juga menjadi seorang penyulih suara.

Wildan, Graphic Designer yang Kepincut Jadi Dubber

Selama mengikuti pelatihan dan organisasi, Wildan pun sadar jika kemampuan berbicara dan mengendalikan tone suara memiliki dampak bagi pendengar secara psikologis. Menurutnya, untuk menarik audiens tidak cukup hanya dengan konten. Namun, juga karakter dan kuat tidaknya suara yang dimiliki.

Wildan juga menganggap kemampuan orasi dan karakter suara yang dimilikinya adalah aset yang ia temukan secara autodidak. Kemudian, dia mulai mengasah kemampuan suaranya itu ketika menempuh kuliah di Malang. Saat itu, Wildan mengambil jurusan desain grafis. Namun, ia sering kongkow dan mengikuti kegiatan mahasiswa komunikasi. Kebetulan saat itu, kampusnya telah berafiliasi dengan salah satu radio terkemuka di Indonesia yang memiliki kantor biro di Malang.

“Beberapa dosen dan teman-teman juga banyak yang mengatakan kalau aku punya bakat di situ,” kisah laki-laki kelahiran Lumajang, 13 Juni 1995, yang kini tinggal di Kecamatan Ajung itu.

Namun, kemampuan suaranya sempat tidak berkembang setelah ia menyelesaikan studi di Malang yang hanya setahun itu. Sebab, fokusnya teralihkan pada kesibukan desain. Sampai akhirnya pada 2015 lalu ia masuk kuliah di IAIN Jember atau sekarang menjadi Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) dengan mengambil Program Studi Komunikasi dan Penyiaran.

Namun, lagi-agi, bakatnya tidak berkembang dengan baik karena dunia sulih suara di Jember masih minim. Walaupun saat itu radio kampus sudah eksis, tapi Wildan lebih memilih fokus pada dunia perfilman. Mulai saat itu, dirinya mulai pesimistis dengan kemampuan dan bakatnya tersebut. “Radio ada di kampus. Tapi, aku tidak minat di sana. Aku malah minat di film karena bisa banyak belajar di sana. Lebih general,” kata Wildan.

Kemampuan suaranya itu mulai terasah ketika Wildan menjalani kuliah praktik kerja lapangan di salah satu stasiun TV swasta di Surabaya. Salah satu pimpinan di sana mengatakan bahwa suara Wildan memiliki karakter. “Dilalah, aku ditangani langsung sama direkturnya. Aku respek sama beliau karena tetap mendampingi di salah satu privat kelas, meski banyak kesibukan,” tuturnya.

Hingga akhirnya, suara Wildan terbentuk dan memiliki karakter suara yang cocok sebagai pengisi dalam berita kriminal dan hard news. Pulang dari magang, dia mulai menekuni profesi itu secara freelance. Ia juga sempat dikontrak beberapa agensi tersohor untuk mengisi suara program horor. Beberapa tahapan casting pun ia lewati. “Dari proses itu, aku yakin meskipun dari kampus Islam, di dunia penyiaran tetap tidak tertinggal kok,” ujarnya.

Gayung bersambut, salah seorang temannya merekomendasikan Wildan untuk mengikuti komunitas virtual, yaitu Surabaya Voice Over. Anggotanya adalah para penyiar dan pengisi suara latar papan atas se-Jawa Timur. Inilah yang memicunya terus belajar dan berkreasi dengan membuat konten suara di beberapa platform saluran digital, tanpa meninggalkan fokusnya menjadi seorang graphic designer. “Saat pandemi juga meledak konten-konten podcast dan lebih variatif. Aku tertarik untuk mengikuti itu,” ungkap pemuda jebolan Pondok Pesantren Al Yasini, Pasuruan, itu.

Kini, cita-citanya dalam bidang sulih suara adalah menciptakan bank suara untuk memenuhi kebutuhan perusahaan. Ia ingin menciptakan dan mengumpulkan suara-suara yang berbeda dengan suara Google. Sebab, menurutnya, dalam kurun waktu lima tahun mendatang, kebutuhan suara untuk keperluan artificial intelligence akan sangat dibutuhkan. Terlebih, saat ini Indonesia masih belum punya start up yang bergerak di bidang suara.

Saat ini, kata dia, dunia masih belum punya pengisi suara robot dengan perasaan. Yakni pengisi suara produk digital dengan ada intonasinya. Ada rasanya. “Feel-nya kan beda. Kami juga bisa menyalurkan ekspresi dari suara itu. Misalnya, untuk pengguna aplikasi tunanetra. Kalau suara Google itu robot banget,” pungkasnya.

Reporter : Dian Cahyani

Fotografer : Wildan For Radar Jember

Editor : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca