JEMBER, RADARJEMBER.ID – Lokasi base camp Barongsai Naga Langit Jember ini berada di Bintoro, Kecamatan Patrang. “Ancer-ancer-nya dekat SDN Bintoro 1,” ucap Rosi melalui pesan singkat kepada Jawa Pos Radar Jember.
Namun, saat menanyakan kepada warga di mana lokasi sanggar atau tempat latihan barongsai, tidak semua paham. “Apa itu barongsai. Apa macan-macanan?” tanya warga setempat yang tengah duduk di sekitar SDN Bintoro 1 itu.
Dia pun menunjukkan sebuah rumah, agar tanya di sana, lantaran di sekitarnya ada kesenian macan-macanan. “Kalau macan-macanan memang ada di sini, di belakang rumah saya. Tapi, kalau barongsai, itu masih lurus saja. Nanti ada rumah kanan jalan, biasanya ada yang latihan,” terang Munawaroh.
Dari SDN Bintoro 1 menuju ke arah utara, sekitar 2 kilometer, barulah ada rumah sederhana yang banyak pemuda sibuk menyiapkan pementasan barongsai. Rumah itu sederhana seperti rumah bersubsidi tanpa renovasi. Namun, ada halaman cukup luas di sampingnya. “Ini memang rumah dinas, tapi bukan rumah sendiri. Ini ngontrak,” papar Rosi Saputra, pengelola kelompok Barongsai Naga Langit.
Pria asli Jalan Samahudi, Jember Kidul, Kaliwates, itu sedikit bercerita, Barongsai Naga Langit telah berdiri sejak 2015 lalu. Namun, awalnya di Banyuwangi, kemudian hijrah ke tanah kelahirannya di Jember. Dia tidak memilih di daerah kota sebagai lokasi latihannya lantaran tidak memiliki tanah yang cukup luas. “Makanya, di sini ini cocok. Ada tanah kosong untuk latihan. Tapi, bila hujan, tidak bisa latihan,” paparnya. Memiliki keahlian mengelas, Rosi juga berencana membuat atap di tanah kosong tersebut agar saat hujan bisa tetap latihan.
Di tengah-tengah pembicaraan, dua tambur, alat musik tabuh untuk pertunjukan barongsai menyerupai beduk, dikeluarkan oleh Alfin, 21, dan M Iqbal, 23. Dua pemuda itu latihan agar lebih matang lagi dalam pertunjukan nanti. “Yang ini langsung beli di Cina,” ucap M Iqbal, yang menunjukan satu tambur tersebut. Dari bentuknya, memang sama antara tambur yang dibeli langsung di Cina dengan yang dibeli di Jakarta. “Suaranya itu lebih empuk, lebih enak,” paparnya.
Rosi mengaku, hampir seluruh peralatan barongsai itu diimpor dari Tiongkok. “Simbal saja itu dari Cina. Pernah pakai simbal drum, tapi gak maksimal dan mudah retak. Kalau alat musik yang bisa didapat di sini, ya gong saja,” terangnya. Dia mengaku pernah mencoba mengganti kulit tambur dengan kulit sapi. Ternyata suara yang dihasilkan berbeda. “Padahal saya ganti ke perajin beduk. Ternyata suaranya berbeda,” ucapnya.
Dari sekian banyak perlengkapan barongsai, hanya satu yang mampu diproduksi sendiri oleh Rosi, yaitu kepala barongsai. Kerangka kepala barongsai itu terbuat dari bambu. Kemudian, kulitnya berbahan dasar plastik spons yang tahan air. “Kalau bahan baku kulitnya, seperti plastik itu, baru dari Cina,” imbuhnya.
Dia juga menerangkan, kepala barongsai itu ada yang melambangkan singa selatan dan singa utara, makhluk mitologi dalam kebudayaan Tionghoa. “Singa utara disebut peking sai. Kalau yang selatan, paling familier bagi warga Indonesia, seperti barongsai pada umumnya,” tuturnya.
Bahkan, barongsai singa utara juga ada macam-macamnya. Salah satu contohnya adalah dari bentuk mulut. “Kalau barongsai dengan mulut mendatar seperti bebek itu dari Malaya atau Malaysia. Jadi, Malaysia lebih banyak pakai barongsai model mulut mendatar,” jelasnya.
Rosi, yang pada awalnya tidak menyukai barongsai dan lebih suka pada ilmu bela diri wushu, kemudian jatuh cinta pada barongsai. Diajak oleh orang tuanya untuk bermain barongsai, Rosi mulai paham bahwa gerakan wushu itu sangat penting dalam bermain barongsai. “Dasarnya barongsai itu dari wushu,” tuturnya.
Lantaran senang dengan barongsai tersebut, Rosi mulai coba-coba membuat kepala barongsai. Tapi, ternyata membuatnya tidak semudah yang dia bayangkan. Satu dua kali, kepala barongsai buatan Rosi gagal. Bahkan, total ada sekitar tujuh kepala barongsai yang menurutnya gagal. “Total itu tujuh yang tidak layak. Bentuknya tidak sesuai yang saya inginkan,” paparnya. Kepala barongsai buatannya pun kerap kali dipesan konsumen dari luar pulau, seperti Bali hingga daerah Nusa Tenggara Timur.
Jurnalis: Dwi Siswanto
Fotografer: Dwi Siswanto
Editor: Nur Hariri