JEMBER, RADARJEMBER.ID – Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) nyatanya masih terjadi, khususnya di Jember. Hal ini muncul dari dua pengaduan yang diterima oleh Migrant Center di Jember sepanjang 2020 silam. Tepatnya di bulan Mei yang dialami oleh warga Ledokombo, dan Juni dialami oleh warga Puger.
Koordinator Migrant Center di Jember Bambang mengungkapkan bahwa pengaduan TPPO yang dialami warga Puger diketahui saat yang bersangkutan tidak lolos dalam medical check up untuk perizinan pemberangkatan tujuan Malaysia. Setelah tidak mendapat izin medical check up, yang bersangkutan mencoba untuk menempuh jalur perizinan di Banyuwangi. “Beberapa hari kemudian surat perizinannya keluar, dan diberangkatkan ke Malaysia. Sampai di sana mendapat penyiksaan dari majikan dan hidup tidak layak,” kata Bambang, Senin (1/2).
Tidak jauh berbeda dengan warga dari Ledokombo. Secara kronologis, keduanya merupakan PMI tanpa prosedur resmi. Dokumen yang dikantongi juga dinyatakan sebagai dokumen ilegal. Warga Ledokombo ini dipekerjakan di Malaysia sebagai tukang kebun. “Kondisinya hampir sama dengan warga Puger. Namun, sampai saat ini dia tidak mendapat upah, hingga sulit untuk pulang,” imbuh Bambang.
TPPO tidak hanya berlaku pada kasus prostitusi terhadap calon pekerja migran secara ilegal. Lebih jauh, indikator TPPO juga menyasar pekerja migran yang tidak memiliki dokumen perjanjian kerja serta tidak memiliki keterangan gaji dan asuransi pekerjaan secara jelas. “Pekerjaan yang dijanjikan pun tidak sesuai,” imbuhnya.
Terpisah, Ketua BP2MI Wilayah Jember Muhammad Iqbal mengungkapkan bahwa tren TPPO meningkat selama 2020. Sebab, disokong dengan kondisi pandemi. Karenanya, saat awal pandemi banyak pemberangkatan calon pekerja migran secara ilegal. “Bukan hanya suratnya ilegal, tapi yang bersangkutan juga tidak mendapat kejelasan perjanjian kerja,” kata Iqbal.
Selama ini, pihaknya hanya menangani kasus sekaligus mengurus kepulangannya. Iqbal mengaku, selama ini pihaknya menghadapi banyak kendala. Salah satunya pelapor yang tidak kooperatif. “Kami juga sulit untuk menempuh ranah hukum. Karena yang bersangkutan tidak kooperatif dalam menyelesaikan kasus,” ungkap Iqbal.
Dirinya berharap, ke depan bisa ada campur tangan dari pemerintah daerah untuk memangkas eksistensi calo PMI secara ilegal yang berpotensi adanya TPPO pada calon pekerja migran. “Kami tidak bisa sekedar memadamkan api, kalau misalnya pemilik hutannya tidak bergerak. Artinya, kami tidak bisa melakukan gerakan yang masif, jika tidak ada campur tangan pemda,” pungkasnya.