BONDOWOSO, RADARJEMBER.ID – Kopi Bondowoso diketahui sudah punya nama di Indonesia, bahkan di mancanegara. Pada 2013 silam, kopi Ijen Raung mengantongi sertifikat dari Kementerian Hukum dan HAM dengan nama “Klaster Kopi Arabica Java Ijen Raung”.
Tahun 2020, kawasan lereng Argopuro juga mengantongi sertifikat melalui “Klaster Arabica Hyang Argopuro”. Total lahan kebun kopi di Bondowoso mencapai 13.649 hektare. Adapun brand BRK sudah memiliki hak kekayaan intelektual (HKI) dari Kementerian Hukum dan HAM. Namun di lapangan, berdasarkan pengakuan petani, selama ini tak ada pembinaan. Khususnya dalam dua tahun terakhir.
Pembinaan SDM pelaku kopi, baik yang berada di hulu ataupun hilir, menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan pemkab jika ingin membuat Bondowoso Republik Kopi (BRK) kembali bersinar. Oleh sebab itu, wacana tersebut tentu harus dibarengi langkah konkret untuk meningkatkan perkopian di Bumi Ki Ronggo.
Terlebih, mengingat dalam kepemimpinan Bupati Salwa-Irwan, perhatian terhadap sektor perkopian nyaris tidak ada sama sekali. Bahkan di awal pemerintahannya brand BRK sempat tidak muncul dalam acara Festival Kopi Nusantara (FKN).
Tapi, beberapa waktu terakhir, Pemkab Bondowoso melalui Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disparpora) menyiapkan gelaran Kopi Rakyat yang akan diselenggarakan awal Oktober mendatang. Hal itu sebagai langkah awal reaktivasi BRK.
Salah seorang pengamat ekonomi Universitas Jember, Dr Fathorrazi, mengatakan, rencana Pemkab Bondowoso itu harus disokong dengan pembinaan terhadap pelaku usaha kopi di hulu dan hilir. Mulai dari petani, pemilik kafe, dan seterusnya.
Menurut dia, untuk menjaga kualitas dan jumlah produksi kopi di Bondowoso, petani harus terus dibina agar tetap sesuai standard operating procedure (SOP). “Jadi, off farm dan on farm atau sebelum dan pascapanen harus juga diperhatikan,” jelasnya.
Sementara itu, berdasarkan data Koperasi Petani Kopi Rejo Tani, saat ini total ada 44 kelompok tani. Dari total tersebut sudah ada 25 kelompok tani yang mempunyai unit pengolahan hasil (UPH) hilir. Seperti usaha bubuk kopi, kafe, dan semacamnya.
Selain pembinaan di hulu atau petani, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), khususnya yang bergerak di bidang perkopian. “Kalau pandemi sudah berakhir, UMKM diberikan pelatihan, yakni berupa pengelolaan kafe di Bondowoso,” bebernya.
Salah satu yang menjadi titik tekan pada kafe yakni kenyamanan pengunjung dan proses penyajiannya. “Intinya pengembangan kualitas SDM pelayanan,” tegas Fathorrazi.
Selain itu, hal penting lainnya adalah ketersediaan fasilitas seperti kamar mandi dan sebagainya. Serta pemberian pelayanan kepada pelanggan harus prima. Misalnya, dalam memberikan pelayanan memakai sarung tangan. Menurut dia, kafe yang sudah memberikan pelayanan dengan bagus yakni kafe yang ada di Kampung Kopi Jalan Pelita. “Itu sudah bagus, seperti kafe-kafe di Jakarta,” imbuhnya.
Sementara itu, salah seorang petani kopi di lereng Ijen Raung, Suyitno, mengaku bahwa saat ini pangsa pasar masih lemah dan harga jual kopi juga menurun. Salah satu faktornya adalah pandemi Covid-19. Biasanya dia menjual satu kilogram kopi green bean seharga Rp 85 ribu. Tetapi, saat ini mau menembus di harga Rp 60 ribu saja sulit. “Padahal pengeluaran diambilkan dari penjualan,” jelasnya.
Pihaknya pun menyambut baik upaya untuk menghidupkan kembali BRK. Sebab, kata dia, BRK-lah yang mengantarkan Bondowoso bisa dikenal oleh dunia. Menurut dia, sudah merupakan kewajiban bagi Pemkab Bondowoso untuk melakukan pembinaan, sentuhan, atau paling tidak selalu memberikan dukungan moral sehingga para pelaku tetap semangat dan tetap memperhatikan SOP. “Dengan begitu, kualitas kopi yang dihasilkan tetap sesuai yang diharapkan atau sesuai dengan yang diinginkan oleh konsumen. Baik konsumen dari dalam maupun dari luar negeri,” paparnya.
Jurnalis : Ilham Wahyudi
Fotografer : Istimewa
Redaktur : Lintang Anis Bena Kinanti