24.4 C
Jember
Thursday, 1 June 2023

Rangkaian Mutasi Bentuk Lemahnya Kepala Daerah

Mobile_AP_Rectangle 1

BONDOWOSO, RADARJEMBER.ID – Rangkaian kebijakan mutasi promosi di Bondowoso dinilai hampir tak pernah lepas dari problem. Hal itu disampaikan oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Bondowoso, Abrori, seusai mendengar beberapa kebijakan mutasi ASN oleh Pemkab Bondowoso. Secara umum, proses itu mengerucut pada lemahnya kepemimpinan kepala daerah, yaitu Bupati Bondowoso Salwa Arifin bersama Wabup Irwan Bachtiar Rahmat.

Ada Penerima Dapat Bantuan Terus-menerus, Urai Dana Hibah ke Ponpes

Menurut Abrori, dalam manajemen kepegawaian, pimpinan tertinggi di kabupaten adalah bupati. Dalam konteks tersebut, peraturan perundang-undangan menyebutnya sebagai pejabat pembina kepegawaian atau PPK. Sesuai dengan kebutuhan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), PPK adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai ASN sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mobile_AP_Rectangle 2

Menurutnya, di situlah peran sentral Bupati Salwa cukup jelas. Seluruh kebijakan tentang pegawai di perangkat daerah berada di tangan bupati. Namun demikian, setiap dilakukan mutasi pegawai, selalu terjadi masalah.

Bahkan, dia juga menyebut antarlembaga mengalami kebuntuan komunikasi. Sehingga perjalanan kepemimpinan sampai saat ini pun dinilai kurang harmonis. “Kebuntuan komunikasi politik yang tak pernah cair menjadi trigger (pemicu, Red) pertikaian yang terjadi. Sehingga kondisi harmonis tak kunjung tercipta,” terangnya.

Lebih jauh, dia menjelaskan, solidnya koalisi pendukung pemerintahan di Bondowoso juga berkurang. Sehingga, pengambilan keputusan kerap tidak mempertimbangkan kepentingan koalisi. “Ini patut dipertanyakan, dari berbagai indikasi faktanya sangat lemah dan tidak ada kesamaan langkah dan agregasi kepentingan. Sehingga semua keputusan strategis, termasuk soal manajemen kepegawaian, output-nya sangat ringkih, karena tak dapat membendung intervensi politik,” tegasnya.

Banyaknya persoalan yang mengelilingi pemerintahan Salwa Arifin dan Irwan Bachtiar Rahmat itu disimpulkan sebagai kepemimpinan yang lemah. Keduanya terkesan tidak memiliki satu misi yang sama dalam membangun Kota Tape ini. “Justru yang lebih mengemuka dan muncul ke ranah publik adalah aroma persaingan dan perebutan pengaruh dalam melahirkan kebijakan,” tandasnya.

Selain itu, dia juga menyebut pucuk pimpinan birokrasi, yakni sekretaris daerah (sekda). Menurutnya, proses menjalankan pemerintahan saat ini tampak tidak mampu mengambil posisi strategis sesuai dengan tugas pokoknya. “Sejauh ini tidak ada figur pimpinan, terutama perangkat daerah yang kuat secara karakter, punya integritas, dan penguasaan yang memadai terhadap peraturan kepegawaian,” pungkasnya.

Sebelumnya, DPRD Bondowoso juga melayangkan surat kepada Gubernur Jatim hingga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI tentang batasan kewenangan menjelang masa berakhirnya Bupati Bondowoso, karena telah melalukan mutasi. “Saya selaku pimpinan DPRD melakukan sesuai dengan amanah konstitusi, yakni berkirim surat ke Kemendagri, Gubernur Jatim, bahwa masa jabatan kepemimpinan di Bondowoso sudah sisa enam bulan, dengan tembusan bupati,” kata Ahmad Dhafir, Ketua DPRD Bondowoso, di Pendapa Bondowoso, Jumat (24/3).

Menurutnya, mutasi jabatan tersebut dinilai akan mengganggu kondusivitas birokrasi menjelang akhir jabatan. Apalagi memasuki tahun politik. Sebab, masa jabatan Bupati Bondowoso saat ini sudah tinggal enam bulan lagi.

Diketahui, pada Maret ini saja, Bupati Bondowoso telah melakukan dua kali pengangkatan sumpah jabatan. Mulai dari ASN eselon IV sampai eselon III. “Oleh karena itu, di masa ini, selama enam bulan terakhir sampai akhir jabatan nanti, untuk menciptakan kondusivitas di Bondowoso, dengan cara tidak melakukan mutasi,” harap Dhafir. (mun/c2/dwi)

- Advertisement -

BONDOWOSO, RADARJEMBER.ID – Rangkaian kebijakan mutasi promosi di Bondowoso dinilai hampir tak pernah lepas dari problem. Hal itu disampaikan oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Bondowoso, Abrori, seusai mendengar beberapa kebijakan mutasi ASN oleh Pemkab Bondowoso. Secara umum, proses itu mengerucut pada lemahnya kepemimpinan kepala daerah, yaitu Bupati Bondowoso Salwa Arifin bersama Wabup Irwan Bachtiar Rahmat.

Ada Penerima Dapat Bantuan Terus-menerus, Urai Dana Hibah ke Ponpes

Menurut Abrori, dalam manajemen kepegawaian, pimpinan tertinggi di kabupaten adalah bupati. Dalam konteks tersebut, peraturan perundang-undangan menyebutnya sebagai pejabat pembina kepegawaian atau PPK. Sesuai dengan kebutuhan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), PPK adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai ASN sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurutnya, di situlah peran sentral Bupati Salwa cukup jelas. Seluruh kebijakan tentang pegawai di perangkat daerah berada di tangan bupati. Namun demikian, setiap dilakukan mutasi pegawai, selalu terjadi masalah.

Bahkan, dia juga menyebut antarlembaga mengalami kebuntuan komunikasi. Sehingga perjalanan kepemimpinan sampai saat ini pun dinilai kurang harmonis. “Kebuntuan komunikasi politik yang tak pernah cair menjadi trigger (pemicu, Red) pertikaian yang terjadi. Sehingga kondisi harmonis tak kunjung tercipta,” terangnya.

Lebih jauh, dia menjelaskan, solidnya koalisi pendukung pemerintahan di Bondowoso juga berkurang. Sehingga, pengambilan keputusan kerap tidak mempertimbangkan kepentingan koalisi. “Ini patut dipertanyakan, dari berbagai indikasi faktanya sangat lemah dan tidak ada kesamaan langkah dan agregasi kepentingan. Sehingga semua keputusan strategis, termasuk soal manajemen kepegawaian, output-nya sangat ringkih, karena tak dapat membendung intervensi politik,” tegasnya.

Banyaknya persoalan yang mengelilingi pemerintahan Salwa Arifin dan Irwan Bachtiar Rahmat itu disimpulkan sebagai kepemimpinan yang lemah. Keduanya terkesan tidak memiliki satu misi yang sama dalam membangun Kota Tape ini. “Justru yang lebih mengemuka dan muncul ke ranah publik adalah aroma persaingan dan perebutan pengaruh dalam melahirkan kebijakan,” tandasnya.

Selain itu, dia juga menyebut pucuk pimpinan birokrasi, yakni sekretaris daerah (sekda). Menurutnya, proses menjalankan pemerintahan saat ini tampak tidak mampu mengambil posisi strategis sesuai dengan tugas pokoknya. “Sejauh ini tidak ada figur pimpinan, terutama perangkat daerah yang kuat secara karakter, punya integritas, dan penguasaan yang memadai terhadap peraturan kepegawaian,” pungkasnya.

Sebelumnya, DPRD Bondowoso juga melayangkan surat kepada Gubernur Jatim hingga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI tentang batasan kewenangan menjelang masa berakhirnya Bupati Bondowoso, karena telah melalukan mutasi. “Saya selaku pimpinan DPRD melakukan sesuai dengan amanah konstitusi, yakni berkirim surat ke Kemendagri, Gubernur Jatim, bahwa masa jabatan kepemimpinan di Bondowoso sudah sisa enam bulan, dengan tembusan bupati,” kata Ahmad Dhafir, Ketua DPRD Bondowoso, di Pendapa Bondowoso, Jumat (24/3).

Menurutnya, mutasi jabatan tersebut dinilai akan mengganggu kondusivitas birokrasi menjelang akhir jabatan. Apalagi memasuki tahun politik. Sebab, masa jabatan Bupati Bondowoso saat ini sudah tinggal enam bulan lagi.

Diketahui, pada Maret ini saja, Bupati Bondowoso telah melakukan dua kali pengangkatan sumpah jabatan. Mulai dari ASN eselon IV sampai eselon III. “Oleh karena itu, di masa ini, selama enam bulan terakhir sampai akhir jabatan nanti, untuk menciptakan kondusivitas di Bondowoso, dengan cara tidak melakukan mutasi,” harap Dhafir. (mun/c2/dwi)

BONDOWOSO, RADARJEMBER.ID – Rangkaian kebijakan mutasi promosi di Bondowoso dinilai hampir tak pernah lepas dari problem. Hal itu disampaikan oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Bondowoso, Abrori, seusai mendengar beberapa kebijakan mutasi ASN oleh Pemkab Bondowoso. Secara umum, proses itu mengerucut pada lemahnya kepemimpinan kepala daerah, yaitu Bupati Bondowoso Salwa Arifin bersama Wabup Irwan Bachtiar Rahmat.

Ada Penerima Dapat Bantuan Terus-menerus, Urai Dana Hibah ke Ponpes

Menurut Abrori, dalam manajemen kepegawaian, pimpinan tertinggi di kabupaten adalah bupati. Dalam konteks tersebut, peraturan perundang-undangan menyebutnya sebagai pejabat pembina kepegawaian atau PPK. Sesuai dengan kebutuhan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), PPK adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai ASN sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurutnya, di situlah peran sentral Bupati Salwa cukup jelas. Seluruh kebijakan tentang pegawai di perangkat daerah berada di tangan bupati. Namun demikian, setiap dilakukan mutasi pegawai, selalu terjadi masalah.

Bahkan, dia juga menyebut antarlembaga mengalami kebuntuan komunikasi. Sehingga perjalanan kepemimpinan sampai saat ini pun dinilai kurang harmonis. “Kebuntuan komunikasi politik yang tak pernah cair menjadi trigger (pemicu, Red) pertikaian yang terjadi. Sehingga kondisi harmonis tak kunjung tercipta,” terangnya.

Lebih jauh, dia menjelaskan, solidnya koalisi pendukung pemerintahan di Bondowoso juga berkurang. Sehingga, pengambilan keputusan kerap tidak mempertimbangkan kepentingan koalisi. “Ini patut dipertanyakan, dari berbagai indikasi faktanya sangat lemah dan tidak ada kesamaan langkah dan agregasi kepentingan. Sehingga semua keputusan strategis, termasuk soal manajemen kepegawaian, output-nya sangat ringkih, karena tak dapat membendung intervensi politik,” tegasnya.

Banyaknya persoalan yang mengelilingi pemerintahan Salwa Arifin dan Irwan Bachtiar Rahmat itu disimpulkan sebagai kepemimpinan yang lemah. Keduanya terkesan tidak memiliki satu misi yang sama dalam membangun Kota Tape ini. “Justru yang lebih mengemuka dan muncul ke ranah publik adalah aroma persaingan dan perebutan pengaruh dalam melahirkan kebijakan,” tandasnya.

Selain itu, dia juga menyebut pucuk pimpinan birokrasi, yakni sekretaris daerah (sekda). Menurutnya, proses menjalankan pemerintahan saat ini tampak tidak mampu mengambil posisi strategis sesuai dengan tugas pokoknya. “Sejauh ini tidak ada figur pimpinan, terutama perangkat daerah yang kuat secara karakter, punya integritas, dan penguasaan yang memadai terhadap peraturan kepegawaian,” pungkasnya.

Sebelumnya, DPRD Bondowoso juga melayangkan surat kepada Gubernur Jatim hingga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI tentang batasan kewenangan menjelang masa berakhirnya Bupati Bondowoso, karena telah melalukan mutasi. “Saya selaku pimpinan DPRD melakukan sesuai dengan amanah konstitusi, yakni berkirim surat ke Kemendagri, Gubernur Jatim, bahwa masa jabatan kepemimpinan di Bondowoso sudah sisa enam bulan, dengan tembusan bupati,” kata Ahmad Dhafir, Ketua DPRD Bondowoso, di Pendapa Bondowoso, Jumat (24/3).

Menurutnya, mutasi jabatan tersebut dinilai akan mengganggu kondusivitas birokrasi menjelang akhir jabatan. Apalagi memasuki tahun politik. Sebab, masa jabatan Bupati Bondowoso saat ini sudah tinggal enam bulan lagi.

Diketahui, pada Maret ini saja, Bupati Bondowoso telah melakukan dua kali pengangkatan sumpah jabatan. Mulai dari ASN eselon IV sampai eselon III. “Oleh karena itu, di masa ini, selama enam bulan terakhir sampai akhir jabatan nanti, untuk menciptakan kondusivitas di Bondowoso, dengan cara tidak melakukan mutasi,” harap Dhafir. (mun/c2/dwi)

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca