BONDOWOSO, RADARJEMBER.IDÂ – Ketika melintas di Desa Pejaten, Kecamatan Bondowoso, mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan para perajin mebel yang berjajar di sepanjang jalan. Desa itu memang rata-rata penduduknya memiliki usaha mebel. Bahkan, bukan hanya yang berada di pinggir jalan, para perajin juga tersebar di berbagai pelosok desa. Ironisnya, para pekerja mebel di sana belum memiliki wadah persatuan. Hal itu membuat para pengusaha kesulitan menyeragamkan harga jual dari hasil produksinya.
Imam Subari, salah seorang pengusaha mebel, menyampaikan, di tempatnya sampai saat ini memang belum ada paguyuban atau organisasi yang bisa membuat harga jual seragam. Berbeda dengan kabupaten/kota lain yang rata-rata warganya berprofesi sebagai pengusaha mebel. Dirinya mencontohkan Kabupaten Pasuruan sebagai salah satu yang sudah memiliki persatuan untuk para pengusaha.
“Kalau di sana, misal harga barang itu kesepakatan satu juta, terus ada salah satu pengusaha yang menjual di bawahnya, terus ketahuan sama teman-teman yang lain, langsung didatangi orang itu,” jelasnya.
Menurut Imam, adanya paguyuban atau organisasi bisa menguntungkan para pengusaha mebel di tempatnya. Hal itu karena harga jual ke toko ataupun ke konsumen langsung akan seragam. Permainan harga akan disesuaikan dengan kesepakatan dari seluruh anggota paguyuban itu.
Sementara, saat ini yang masih sering terjadi di tempatnya gara-gara tidak adanya paguyuban, banyak persaingan antarpengusaha yang kurang sehat. Ia mencontohkan, misal ada pengusaha yang memiliki niat untuk menghancurkan usahanya, maka tidak segan-segan untuk menurunkan harganya. Hal itu membuat toko tidak akan mengambil barang darinya lagi. “Ya gak laku otomatis barang saya,” katanya.
“Seandainya saingan itu, misal harganya satu juta, ya jual ke toko rata satu juta. Kan bagus. Jadi, toko itu cari barang gak hancur-hancuran. Mereka akan membeli barang berdasarkan kualitas,” tambahnya.
Dengan adanya persaingan seperti itu, lanjut Imam, menjadi catatan tersendiri. Selain itu, yang diuntungkan dari hal tersebut adalah pihak toko. Sebab, pihak toko bisa menjual dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga yang diberikan oleh para pengusaha. “Kalau ngirim ke toko, paling banyak 100 ribu penghasilannya. Kalau toko bisa dua kali lipat,” ujarnya.
Akibat dari persaingan semacam itu, menurutnya, tidak jarang para pengusaha yang terus-menerus menambah modal usahanya. Bahkan, sampai ada yang menjual hewan peliharaannya, seperti sapi. Untuk dijadikan tambahan modal dan mengimbangi pengusaha lainnya.
Lebih lanjut, Imam berharap, suatu saat di tempatnya bisa ada paguyuban yang bisa menyeragamkan harga. Sehingga tidak ada lagi pengusaha yang merasa dirugikan akibat permainan harga yang seenaknya. Apalagi dengan niatan memang mau menghancurkan para pengusaha yang lain. “Semoga saja nanti ada, Mas,” pungkasnya.
Jurnalis : mg3
Fotografer : mg3
Redaktur : Solikhul Huda