DABASAH, Radar Ijen – Perbedaan pandangan antarfraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bondowoso terhadap Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Anggaran Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) Bondowoso masih berlanjut. Ada yang menganggap pansus tersebut hanya membebani anggaran. Di sisi lain, ada pandangan bahwa pansus tersebut harus dilakukan karena ada temuan dari Komisi III.
Seperti yang dikatakan oleh Ketua Fraksi Amanat Golongan Karya (Golkar) Bondowoso Kukuh Raharjo. Dia mengatakan, semua pansus penting untuk dilakukan, termasuk Pansus Anggaran TP2D, tapi harus melihat situasi dan kondisinya.
Selama ini, pihaknya mengaku sudah menghormati keputusan Bamus (Badan Musyawarah). Bahkan sebelum pembentukan pansus itu, menurutnya, sudah menjadi kesepakatan di Bamus untuk diajukan ke pansus. “Pansus RTRW penting, Pansus TP2D juga penting. Misal kita menunggu Pansus RTRW, padahal harus menunggu keputusan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang,” katanya.
Kukuh juga menegaskan, meskipun anggapan pansus ini di masyarakat beragam. Termasuk anggapan bahwa ada unsur politis. Hal itu dinilai menjadi sebuah kewajaran, karena menurutnya semua unsur kehidupan itu terdapat unsur politisnya. Artinya, politis bukan mencari cari kesalahan atau menjatuhkan seseorang. “Kami hanya menjalankan fungsi kami di DPRD, yaitu sebagai pengawasan,” tegasnya.
Kukuh menerangkan, perjalanan Pansus Pencairan Anggaran TP2D itu berawal dari temuan Komisi II dari bagian Administrasi Pembangunan dan Keuangan (AP). Pergeseran anggaran fasilitasi TP2D yang sebelumnya di Bappeda setelah PAPBD pindah ke bagian AP. “Kami di Bamus itu tidak bisa untuk klarifikasi, karena lintas OPD (organisasi perangkat daerah, Red) yang bukan mitra dan itu hanya pansus yang bisa melakukannya,” bebernya.
Terbentuknya pansus itu, lanjut Kukuh, untuk mengklarifikasi, meluruskan, dan mencari informasi yang detail apakah terjadi pelanggaran dengan pencairan honor TP2D, karena ini berasal dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). “Jangankan jutaan, Rp 50 pun pencairan APBD itu harus sesuai dengan prosedur,” ucapnya.
Lebih lanjut, pria yang juga menjadi anggota pansus ini mengutarakan, belum bisa memprediksi atau meraba bagaimana hasil dari pansus nantinya. Sebab, keputusan akhir nantinya akan dilakukan bersama oleh pimpinan dan anggota. Usia pansus sendiri terbilang cukup lama, yakni selama enam bulan.
Kukuh sendiri belum bisa meraba atau memutuskan hasil dari pansus kali ini, karena keputusan bersama pansus itu dari pimpinan dan anggota. “Target kami, pansus ini segera tuntas dan memberikan rekomendasi. Biar masyarakat diberikan informasi yang jelas dan klir,” imbuhnya.
Sementara ,itu Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Bondowoso Barri Sahlawi Zain menilai pembentukan Pansus Pencairan Anggaran TP2D hanya menambah beban anggaran. Walaupun pihaknya menyadari bahwa pembentukan pansus merupakan tugas yang melekat dari legislatif. “Urgensinya tidak terlalu penting,” ujarnya.
Menurut Sahlawi, yang dipermasalahkan dalam pansus kali ini adalah fasilitasi gubernur yang tidak diakomodasi dalam Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 49 tentang TP2D. Pembentukan Pansus TP2D sendiri telah dilakukan dua kali. Pertama, karena unsur pimpinan TP2D bukan dari kepala OPD, dan pansus kali ini tentang pencairan anggarannya. “Bagi saya, ini membuang energi. Belum lagi kekhawatiran saya, ini bisa mengurangi kepercayaan publik pada instansi DPRD,” ungkapnya.
Pencairan anggaran TP2D, kata Sahlawi, merupakan bagian pertanggungjawaban melalui audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Oleh sebab itu, menurutnya, tidak perlu ada Pansus TP2D. “Biar kita tunggu hasil audit dari BPK. Kalaupun ada temuan, biarlah BPK yang menindaklanjuti. Entah pengembalian atau apalah hasilnya,” ucapnya.
Sahlawi menilai, masih banyak pansus lain yang memiliki urgensi lebih penting. Salah satunya pansus pendistribusian pupuk. Hal tersebut dinilai lebih penting untuk dilakukan karena bersentuhan langsung dengan masyarakat. Mengingat, masyarakat Bondowoso banyak yang bekerja sebagai petani.
Selain itu, dia juga menyebut, eksekutif masih memiliki banyak pekerjaan yang menanti. Salah satunya pembentukan Pansus Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang dianggap kurang maksimal. Kemudian, masih ada 14 Propemperda yang masih perlu dilakukan pembahasan. Empat di antaranya, perda inisiatif dari DPRD. Serta hasil evaluasi gubernur tentang perubahan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) yang perlu direvisi. “Ini yang perlu disinkronisasi antara eksekutif dan legislatif. Serta banyak sekali agenda lain yang penting dan menyentuh pada masyarakat,” tandasnya. (ham/c2/lin)