TAMANAN, Radar Ijen – Batik merupakan warisan budaya tak benda milik Indonesia, yang sudah ditetapkan oleh UNESCO pada 2009 lalu. Perajin batik di Indonesia memang tersebar hampir di seluruh pelosok negeri. Termasuk di Kabupaten Bondowoso.
Salah satunya Andriyanto, seorang pengrajin batik yang dikenal dengan nama Ijen Batik. Selain dikenal karena karya-karyanya, dia juga dikenal kerap memberikan pengalaman atau ilmunya kepada orang lain. Baik melalui seminar ataupun workshop dalam acara tertentu.
Bahkan beberapa waktu lalu, pria kelahiran Kecamatan Tamanan ini memberikan pelatihan kepada ibu-ibu di Palu. Tepatnya di Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Pelatihan yang merupakan program dari kementerian tersebut dilakukan dengan jangka waktu cukup lama, yakni satu pekan.
Andriyanto mengatakan, pelatihan tersebut diberikan dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat. Terlebih, di tempat itu memang belum ada sama sekali sanggar batik. Desa Pombewe memang agak jauh dari kota, sehingga pelatihan itu dilakukan sederhana, bahkan tidak memakai banner saat pelatihan. Tetapi antusiasme warga sangat luar biasa. “Saya sangat kagumi semangat mereka. Mungkin karena tidak ada batik,” jelas Andri.
Selama ini, kata dia, seragam di sana menggunakan tenun dari Donggala. Sementara untuk batik, warga memesan dari Pulau Jawa. Mereka sebenarnya memesan batik tulis, tetapi ternyata yang dikirim batik printing. Karena warga di sana tidak tahu bedanya. “Setelah dikasih tahu, mereka sadar kalau selama ini yang dipakai itu batik printing,” jelas dia.
Mereka juga tidak mengetahui bahan untuk membatik. “Jadi, mereka betul-betul dari nol,” imbuhnya. Karena itu, pelatihan itu lebih pada pelatihan batik dasar dan pembuatan motif. Termasuk batik tulis dan batik cap.
Dalam pelatihan itu Andri mengusung motif dari potensi yang ada di sana. Salah satunya adalah motif sayur kelor. “Jadi, kita buat motif daun kelor,” imbuh dia. Kemudian juga motif taiganja, barang antik kuno yang biasa digunakan untuk lamaran. taiganja adalah benda yang melambangkan status sosial Suku Kaili dan menjadi maskawin untuk perempuan. Adapun motif lainnya di antaranya parang khas Palu, yakni guma.
Mereka juga diajari pembuatan batik cap. Tetapi dalam teknik pengecapannya menggunakan alat seadanya. “Di sana tidak ada wajannya. Jadi, meja capnya kita pakai baki, wajannya kita pakai piring makan. Keterbatasan alat bukan sebuah penghalang. Alhamdulillah, hasil juga bagus,” imbuhnya.
Adapun untuk hasil batik tulis, lanjut dia, sudah cukup baik dan hasilnya layak dijual. Nama brand dari karya sanggar tersebut adalah Batik Pombewe Nusantara. Mereka diajari desain secara manual di kertas. Kemudian, Andri menyarankan untuk mengangkat motif sesuai daerah setempat. Baik kelor, taiganja, maupun guma. “Kalau seumpama sudah berjalan, motifnya akan diajukan untuk hak paten,” bebernya.
Namun, ada kendala dalam pembuatan batik itu. Di mana kondisi geografis jauh dari sumber air. Sementara, untuk membatik butuh air untuk mencuci kainnya. “Jadi, kita mencari air jauh banget menggunakan ember, kita bawa ke sana. Kita cari sungai atau sumber air, sejauh tiga kilometer. Kalau bagi ibu-ibu sini biasa, tapi buat saya luar biasa,” pungkasnya. (ham/c2/lin)