NANGKAAN, Radar Ijen – Rendahnya indeks pembangunan masyarakat (IPM) di Bondowoso salah satu komponen pembentuknya adalah rata-rata lama sekolah (RLS) yang masih rendah. Dinas Pendidikan Bondowoso menganggap rendahnya RLS itu dipicu oleh kultur masyarakat yang masih tertinggal.
BACA JUGA : Fenomena Hari tanpa Bayangan di Banda Aceh
Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Bondowoso Sugiono Eksantoso mengatakan, kultur masyarakat saat ini masih terbelakang. Menurutnya, sering kali terjadi pelajar putus sekolah akibat dinikahkan oleh orang tuanya. “Kultur masyarakat masih tertinggal. Kadang orang tua memilih untuk menikahkan anaknya daripada melanjutkan pendidikan,” terangnya kepada Jawa Pos Radar Ijen.
Sugiono menyatakan, tak jarang di lapangan anak yang masih berada di bangku SD sudah bertunangan. Hal itu terjadi juga ada peran dari orang tua. Padahal, mereka masih perlu difokuskan untuk keberlangsungan pendidikannya. “Itu yang juga menjadi penyebab angka rata-rata lama sekolah di Bondowoso masih rendah,” urainya.
Sugiono melanjutkan, indeks pembangunan manusia (IPM) di Bondowoso jauh berada di bawah kabupaten lain. Belum lagi soal angka buta huruf di Bondowoso yang masih tinggi. Melalui Kurikulum Merdeka, dia berharap angka putus sekolah bisa semakin kecil dan RLS meningkat. “Dengan kurikulum baru ini, para pelajar bisa lebih betah saat belajar di sekolah,” bebernya.
Kurikulum baru dengan pendekatan yang menyenangkan tersebut akan berdampak pada RLS di Bondowoso. Selain itu, Sugiono mengupayakan agar lembaga sekolah di Bondowoso melahirkan inovasi baru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bagi peserta didik.
Dirinya menambahkan, ke depan, setiap orang tua peserta didik diwajibkan membuat pernyataan untuk tidak memutuskan pendidikan anaknya. Pernyataan itu dibuat antara orang tua dengan sekolah. Diketahui langsung oleh Dispendik. “Tidak ada alasan apa pun. Pihak sekolah dan keluarga harus dipaksa melakukan itu. Untuk yang sudah lulus bisa dilanjutkan melalui paket B dan C,” jelasnya.
Pihaknya berharap semua elemen pendidikan bisa saling sinergis untuk sama-sama menaikkan IPM melalui dimensi pengetahuan. “Terutama menekan RLS yang masih berada di tingkat SD,” paparnya.
Ketua Komisi IV DPRD Bondowoso Kukuh Rahardjo mengatakan, RLS Bondowoso masih tergolong rendah dibandingkan dengan daerah lain. Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) Bondowoso, pada tahun 2019, RLS mencapai angka 5,71 tahun. Angka itu meningkat perlahan hingga 5,94 tahun pada 2021.
Menurut Kukuh, pada bidang pendidikan ini, terdapat beberapa target yang akan dikejar sebagai solusi untuk menaikkan RLS. “Kami mendorong Dinas Pendidikan selaku mitra kerja kami untuk memberikan beasiswa,” ungkapnya.
Selain itu, tentang RLS masyarakat Bondowoso yang berkisar di angka 6 tahun, menurutnya, beberapa pemicu yang menjadi penyebabnya adalah kondisi ekonomi masyarakat yang masih berada di kelas menengah ke bawah. Dengan kondisi itu masyarakat tidak mampu menjangkau pembiayaan pendidikan di sekolah. “Bagi yang memang tidak mampu, bisa mengajukan melalui Diknas (Dispendik Bondowoso, Red). Agar tidak ditarik biaya pendidikan di sekolah,” tegasnya.
Pihaknya menegaskan telah menyepakati dengan Dispendik Bondowoso untuk tidak menarik biaya bagi keluarga tidak mampu. Menurutnya, hal tersebut dilanjutkan dengan adanya MoU antara pihak sekolah, keluarga siswa, dan Dispendik. “Dispendik bisa memberikan bantuan kebutuhan sekolah, seperti seragam, buku tulis, dan beberapa perlengkapan sekolah lainnya,” urainya.
Menurutnya, seorang anak memilih tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs untuk membantu ekonomi keluarganya. “Jangan sampai ada anak putus sekolah hanya karena biaya,” ucapnya.
Dirinya menambahkan, untuk memaksimalkan kembali program dari pusat. Seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP). Menurutnya, jumlah dari penerima program tersebut berkisar 2.000 pelajar. Menurut dia, harus dimanfaatkan secara benar oleh siswa untuk kebutuhan pendidikan. “KIP itu wajib digunakan untuk kepentingan pendidikan anak. Dan Sekolah tidak boleh melakukan pemotongan,” pungkasnya. (aln/c2/dwi)