BONDOWOSO, RADARJEMBER.ID – Penanganan DBD di Kecamatan Cermee memang cukup tinggi tiap tahunnya. Hal itu juga dikonfirmasi oleh Kepala Puskesmas Cermee dr M. Habib Muzakki. “Karena di Desa Cermee itu salah satu kawasan padat penduduk. Apalagi kalau hujan terdapat banyak genangan air di wilayah itu,” ungkap Habib.
Pihaknya pun terus memberikan sosialisasi 3M, yakni menguras, menutup, dan memanfaatkan kembali limbah bekas. “Selain itu, kami selalu siapkan petugas di wilayah bidan desa. Turun hingga ke tingkat RT dan RW,” imbuhnya.
Di sisi lain, mindset warga mengenai fogging pun masih beragam. Rata-rata mereka menganggap bahwa fogging menjadi salah satu penanganan serius pemerintah. “Kalau belum di-fogging dianggap belum ada penanganan. Sedangkan, fogging tetap kami terima, tapi harus koordinasi dengan Dinas Kesehatan. Syarat fogging juga harus ada hasil uji lab mengenai trombosit. Di sisi lain, warga mengusulkan kepada kami, lalu ditindaklanjuti,” jelasnya.
Namun, sampai saat ini belum ada pasien DBD di Cermee yang mendapat rawat inap di Puskesmas Cermee. “Biasanya puncak kasus DBD terjadi di akhir tahun dan awal tahun. Puncaknya bisa di Bulan Desember nanti, hingga memasuki bulan Januari, Februari, dan Maret,” lanjutnya.
Beberapa waktu lalu, kasus DBD sudah muncul di Cermee, dengan kasus status import. “Si pasien ini dari pondok pesantren, terus pulang ke rumah. Jadi, terkenanya bukan di kediamannya,” ujarnya.
Selain Desa Cermee, dua desa lainnya pun dianggap menjadi desa tertinggi kasus DBD-nya di Kecamatan Cermee. “Ada desa Ramban Kulon dan Ramban Wetan. Karena penduduknya juga padat. Tetapi, paling banyak, ya, di Desa Cermee,” pungkas Habib.
Jurnalis : Muchammad Ainul Budi
Fotografer : Istimewa
Redaktur : Lintang Anis Bena Kinanti