Mobile_AP_Rectangle 1
KOTAKULON, Radar Ijen – Maraknya perkawinan di bawah umur di Kota Tape bukan main. Data yang dikantongi Pengadilan Agama (PA) Bondowoso, dispensasi kawin nyaris mencapai seribu pemohon dalam satu tahun. Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (P3AKB) Bondowoso menyimpulkan bahwa itu disebabkan oleh budaya masyarakat yang sudah melekat.
BACA JUGA :Â Kebijakan Baru Pengurusan SIM di Lumajang, Coba Tiga Kali Waktu yang Sama
Kepala Dinsos DP3AKB Bondowoso Anisatul Hamidah mengatakan, dispensasi kawin menjadi ujung dari budaya masyarakat. Sebab, mereka mempunyai kebiasaan menjodohkan putra-putrinya meski belum cukup umur. “Bondowoso ini banyak sekali anak yang belum lulus SMP sudah ditunangkan. Bahkan ada yang belum lulus SD sudah tunangan,” katanya.
Mobile_AP_Rectangle 2
Budaya saling menjodohkan buah dari pola pikir orang tua. Seolah pernikahan putra-putrinya adalah tujuan dari hidup. Padahal, mereka juga mempunyai kesempatan menata masa depan lebih baik. “Memang mindset mayoritas orang sini begitu. Jadi, masa depan anaknya kurang dipikirkan matang-matang,” imbuhnya.
Lebih unik lagi, budaya tunangan di Kota Tape ini cukup ekstrem. Meskipun belum sah melalui akad nikah, keduanya sudah bisa menginap satu atap. “Uniknya, di sini kalau sudah tunangan, budayanya itu boleh dibawa ke mana-mana. Bahkan yang laki-laki bermalam di rumahnya. Begitu pula sebaliknya,” terang Anisa saat ditemui di ruang kerjanya.
- Advertisement -
KOTAKULON, Radar Ijen – Maraknya perkawinan di bawah umur di Kota Tape bukan main. Data yang dikantongi Pengadilan Agama (PA) Bondowoso, dispensasi kawin nyaris mencapai seribu pemohon dalam satu tahun. Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (P3AKB) Bondowoso menyimpulkan bahwa itu disebabkan oleh budaya masyarakat yang sudah melekat.
BACA JUGA :Â Kebijakan Baru Pengurusan SIM di Lumajang, Coba Tiga Kali Waktu yang Sama
Kepala Dinsos DP3AKB Bondowoso Anisatul Hamidah mengatakan, dispensasi kawin menjadi ujung dari budaya masyarakat. Sebab, mereka mempunyai kebiasaan menjodohkan putra-putrinya meski belum cukup umur. “Bondowoso ini banyak sekali anak yang belum lulus SMP sudah ditunangkan. Bahkan ada yang belum lulus SD sudah tunangan,” katanya.
Budaya saling menjodohkan buah dari pola pikir orang tua. Seolah pernikahan putra-putrinya adalah tujuan dari hidup. Padahal, mereka juga mempunyai kesempatan menata masa depan lebih baik. “Memang mindset mayoritas orang sini begitu. Jadi, masa depan anaknya kurang dipikirkan matang-matang,” imbuhnya.
Lebih unik lagi, budaya tunangan di Kota Tape ini cukup ekstrem. Meskipun belum sah melalui akad nikah, keduanya sudah bisa menginap satu atap. “Uniknya, di sini kalau sudah tunangan, budayanya itu boleh dibawa ke mana-mana. Bahkan yang laki-laki bermalam di rumahnya. Begitu pula sebaliknya,” terang Anisa saat ditemui di ruang kerjanya.
KOTAKULON, Radar Ijen – Maraknya perkawinan di bawah umur di Kota Tape bukan main. Data yang dikantongi Pengadilan Agama (PA) Bondowoso, dispensasi kawin nyaris mencapai seribu pemohon dalam satu tahun. Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (P3AKB) Bondowoso menyimpulkan bahwa itu disebabkan oleh budaya masyarakat yang sudah melekat.
BACA JUGA :Â Kebijakan Baru Pengurusan SIM di Lumajang, Coba Tiga Kali Waktu yang Sama
Kepala Dinsos DP3AKB Bondowoso Anisatul Hamidah mengatakan, dispensasi kawin menjadi ujung dari budaya masyarakat. Sebab, mereka mempunyai kebiasaan menjodohkan putra-putrinya meski belum cukup umur. “Bondowoso ini banyak sekali anak yang belum lulus SMP sudah ditunangkan. Bahkan ada yang belum lulus SD sudah tunangan,” katanya.
Budaya saling menjodohkan buah dari pola pikir orang tua. Seolah pernikahan putra-putrinya adalah tujuan dari hidup. Padahal, mereka juga mempunyai kesempatan menata masa depan lebih baik. “Memang mindset mayoritas orang sini begitu. Jadi, masa depan anaknya kurang dipikirkan matang-matang,” imbuhnya.
Lebih unik lagi, budaya tunangan di Kota Tape ini cukup ekstrem. Meskipun belum sah melalui akad nikah, keduanya sudah bisa menginap satu atap. “Uniknya, di sini kalau sudah tunangan, budayanya itu boleh dibawa ke mana-mana. Bahkan yang laki-laki bermalam di rumahnya. Begitu pula sebaliknya,” terang Anisa saat ditemui di ruang kerjanya.