24.9 C
Jember
Saturday, 25 March 2023

Di Bondowoso, Anak Belum Lulus SD Sudah Ada yang Ditunangkan

Budaya Jadi Penyebab Tingginya Angka Perkawinan Anak di Bondowoso

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID- Angka perkawinan anak di Bondowoso cukup tinggi. Data Pengadilan Agama (PA) Bondowoso, dispensasi kawin nyaris mencapai seribu anak dalam setahun. Dinas sosial dan pemberdayaan perempuan, perlindungan anak dan keluarga berencana (P3AKB) kabupaten setempat menyimpulkan, budaya menjadi faktor dominan yang menyebabkan perkawinan anak di Kota Tape ini cukup tinggi.

Kepala Dinas Sosial dan P3AKB Bondowoso Anisatul Hamidah mengatakan, dispensasi kawin menjadi ujung dari budaya masyarakat. Sebab, mereka mempunyai kebiasaan menjodohkan putra putrinya, meski belum cukup umur. “Bondowoso ini, banyak sekali anak yang belum lulus SMP sudah ditunangkan. Bahkan ada yang belum lulus SD sudah tunangan,” katanya.

BACA JUGA: Turunkan Angka Perkawinan Anak

Mobile_AP_Rectangle 2

Budaya saling menjodohkan itu didominasi oleh mindset orang tua, seolah pernikahan putra putrinya adalah tujuan hidup. Padahal, mereka juga mempunyai kesempatan menata masa depan lebih baik. “Memang mindset mayoritas orang sini begitu. Jadi, masa depan anaknya kurang dipikirkan matang-matang,” imbuhnya.

Menurutnya, budaya tunangan di Kota Tape ini cukup ekstrem. Meski belum sah melalui akad nikah, keduanya sudah bisa saling menginap di satu atap. “Di sini, kalau sudah tunangan, budayanya itu boleh dibawa ke mana-mana. Bahkan yang laki laki bermalam di rumahnya. Begitu pula sebaliknya,” terang Anisa saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (3/2).

Setelah itu, kebiasaan berikutnya, dilanjutkan dengan nikah siri. Hal ini merupakan langkah akhir sebelum mengajukan dispensasi kawin. Setelah si perempuan mengandung, mereka akan ancang-ancang menghadap ke PA. “Kalau sudah nikah siri, karena sudah merasa sah, sehingga melakukan hubungan suami istri. Akhirnya hamil. Dan setelah itu mengajukan dispensasi nikah ke PA,” paparnya.

Anisa menjelaskan, budaya itu cukup sulit dibendung. Sejauh ini, pengalaman sosialisasi di lapangan belum cukup membantu mengurangi angka perkawinan dini. Padahal, seluruh sekolah di Bondowoso telah melakukan pendataan dan memberi materi tentang perkawinan dan stunting. “Di Bondowoso ada Sekolah Siaga Kependidikan (SSK). Sudah ada 100. Sudah bekerja sama dengan berbagai pihak. Salah satu poinnya adalah integrasi mata pelajaran dengan materi pendewasaan,” jelasnya.

Menurutnya, secara berkala, siswa di Bondowoso juga telah diberi materi tentang perkawinan, stunting dan kesehatan reproduksi. Targetnya, agar tidak terjadi perkawinan dini. Selain itu, kehidupan anak di perdesaan juga terus disuplai dengan materi perkawinan. “Tujuan kami materi itu bisa sampai kepada anak, kemudian ada deklarasi forum anak agar tidak menikah sebelum usia 19 tahun,” tegas Anisa. (*)

Reporter: Ahmad Ma’mun

Foto      : Ahmad Ma’mun

Editor    : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID- Angka perkawinan anak di Bondowoso cukup tinggi. Data Pengadilan Agama (PA) Bondowoso, dispensasi kawin nyaris mencapai seribu anak dalam setahun. Dinas sosial dan pemberdayaan perempuan, perlindungan anak dan keluarga berencana (P3AKB) kabupaten setempat menyimpulkan, budaya menjadi faktor dominan yang menyebabkan perkawinan anak di Kota Tape ini cukup tinggi.

Kepala Dinas Sosial dan P3AKB Bondowoso Anisatul Hamidah mengatakan, dispensasi kawin menjadi ujung dari budaya masyarakat. Sebab, mereka mempunyai kebiasaan menjodohkan putra putrinya, meski belum cukup umur. “Bondowoso ini, banyak sekali anak yang belum lulus SMP sudah ditunangkan. Bahkan ada yang belum lulus SD sudah tunangan,” katanya.

BACA JUGA: Turunkan Angka Perkawinan Anak

Budaya saling menjodohkan itu didominasi oleh mindset orang tua, seolah pernikahan putra putrinya adalah tujuan hidup. Padahal, mereka juga mempunyai kesempatan menata masa depan lebih baik. “Memang mindset mayoritas orang sini begitu. Jadi, masa depan anaknya kurang dipikirkan matang-matang,” imbuhnya.

Menurutnya, budaya tunangan di Kota Tape ini cukup ekstrem. Meski belum sah melalui akad nikah, keduanya sudah bisa saling menginap di satu atap. “Di sini, kalau sudah tunangan, budayanya itu boleh dibawa ke mana-mana. Bahkan yang laki laki bermalam di rumahnya. Begitu pula sebaliknya,” terang Anisa saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (3/2).

Setelah itu, kebiasaan berikutnya, dilanjutkan dengan nikah siri. Hal ini merupakan langkah akhir sebelum mengajukan dispensasi kawin. Setelah si perempuan mengandung, mereka akan ancang-ancang menghadap ke PA. “Kalau sudah nikah siri, karena sudah merasa sah, sehingga melakukan hubungan suami istri. Akhirnya hamil. Dan setelah itu mengajukan dispensasi nikah ke PA,” paparnya.

Anisa menjelaskan, budaya itu cukup sulit dibendung. Sejauh ini, pengalaman sosialisasi di lapangan belum cukup membantu mengurangi angka perkawinan dini. Padahal, seluruh sekolah di Bondowoso telah melakukan pendataan dan memberi materi tentang perkawinan dan stunting. “Di Bondowoso ada Sekolah Siaga Kependidikan (SSK). Sudah ada 100. Sudah bekerja sama dengan berbagai pihak. Salah satu poinnya adalah integrasi mata pelajaran dengan materi pendewasaan,” jelasnya.

Menurutnya, secara berkala, siswa di Bondowoso juga telah diberi materi tentang perkawinan, stunting dan kesehatan reproduksi. Targetnya, agar tidak terjadi perkawinan dini. Selain itu, kehidupan anak di perdesaan juga terus disuplai dengan materi perkawinan. “Tujuan kami materi itu bisa sampai kepada anak, kemudian ada deklarasi forum anak agar tidak menikah sebelum usia 19 tahun,” tegas Anisa. (*)

Reporter: Ahmad Ma’mun

Foto      : Ahmad Ma’mun

Editor    : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID- Angka perkawinan anak di Bondowoso cukup tinggi. Data Pengadilan Agama (PA) Bondowoso, dispensasi kawin nyaris mencapai seribu anak dalam setahun. Dinas sosial dan pemberdayaan perempuan, perlindungan anak dan keluarga berencana (P3AKB) kabupaten setempat menyimpulkan, budaya menjadi faktor dominan yang menyebabkan perkawinan anak di Kota Tape ini cukup tinggi.

Kepala Dinas Sosial dan P3AKB Bondowoso Anisatul Hamidah mengatakan, dispensasi kawin menjadi ujung dari budaya masyarakat. Sebab, mereka mempunyai kebiasaan menjodohkan putra putrinya, meski belum cukup umur. “Bondowoso ini, banyak sekali anak yang belum lulus SMP sudah ditunangkan. Bahkan ada yang belum lulus SD sudah tunangan,” katanya.

BACA JUGA: Turunkan Angka Perkawinan Anak

Budaya saling menjodohkan itu didominasi oleh mindset orang tua, seolah pernikahan putra putrinya adalah tujuan hidup. Padahal, mereka juga mempunyai kesempatan menata masa depan lebih baik. “Memang mindset mayoritas orang sini begitu. Jadi, masa depan anaknya kurang dipikirkan matang-matang,” imbuhnya.

Menurutnya, budaya tunangan di Kota Tape ini cukup ekstrem. Meski belum sah melalui akad nikah, keduanya sudah bisa saling menginap di satu atap. “Di sini, kalau sudah tunangan, budayanya itu boleh dibawa ke mana-mana. Bahkan yang laki laki bermalam di rumahnya. Begitu pula sebaliknya,” terang Anisa saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (3/2).

Setelah itu, kebiasaan berikutnya, dilanjutkan dengan nikah siri. Hal ini merupakan langkah akhir sebelum mengajukan dispensasi kawin. Setelah si perempuan mengandung, mereka akan ancang-ancang menghadap ke PA. “Kalau sudah nikah siri, karena sudah merasa sah, sehingga melakukan hubungan suami istri. Akhirnya hamil. Dan setelah itu mengajukan dispensasi nikah ke PA,” paparnya.

Anisa menjelaskan, budaya itu cukup sulit dibendung. Sejauh ini, pengalaman sosialisasi di lapangan belum cukup membantu mengurangi angka perkawinan dini. Padahal, seluruh sekolah di Bondowoso telah melakukan pendataan dan memberi materi tentang perkawinan dan stunting. “Di Bondowoso ada Sekolah Siaga Kependidikan (SSK). Sudah ada 100. Sudah bekerja sama dengan berbagai pihak. Salah satu poinnya adalah integrasi mata pelajaran dengan materi pendewasaan,” jelasnya.

Menurutnya, secara berkala, siswa di Bondowoso juga telah diberi materi tentang perkawinan, stunting dan kesehatan reproduksi. Targetnya, agar tidak terjadi perkawinan dini. Selain itu, kehidupan anak di perdesaan juga terus disuplai dengan materi perkawinan. “Tujuan kami materi itu bisa sampai kepada anak, kemudian ada deklarasi forum anak agar tidak menikah sebelum usia 19 tahun,” tegas Anisa. (*)

Reporter: Ahmad Ma’mun

Foto      : Ahmad Ma’mun

Editor    : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca